Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mau Dapat Sepeda Baru? Sunat Dulu!

19 Juni 2015   23:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:16 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Saya selalu teringat keriangan masa kecil saat melihat orang bersepeda (ilustrasi: goodwp.com)

Kring kring kring ada sepeda

Sepedaku roda tiga

kudapat dari ayah

karena rajin bekerja

 

Potongan lagu ciptaan Pak Kasur tersebut mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Saya baru masuk SD waktu itu. Sebuah fase baru di mana saya berangkat sekolah bersama teman sebaya, menanggalkan kaos dan celana yang biasa dipakai untuk bermain dan menggantinya dengan seragam putih-merah. Tak jarang, beberapa teman berangkat ke sekolah dengan bersepeda. Saya yang belum bisa mengendarai dan belum punya sepeda hanya melihat mereka dengan tatapan penuh harap semata. Kapan saya bisa bersepeda? Atau kapan saya punya sepeda?   

Hingga saat saya duduk di kelas 3 SD, saya memberanikan diri berlatih bersepeda. Masih kuat ingatan saya saat suatu hari sepulang sekolah waktu itu saya melihat sepeda tetangga tergeletak di halaman rumahnya begitu saja. Dengan rasa penasaran yang membumbung, saya mencoba mengayuh pedal sepeda untuk kali pertama. Sebagai pembuka, saya berlatih "anja-anja", istilah di kampungku untuk menyebut gerakan awalan saat berlatih sepeda dengan menggerak-gerakan pedal agar sepeda berjalan. 

Bruuuuuk!!! begitu suara pagar bambu yang menjadi batas rumah tetangga saat ambruk. Saya menabrak pagar rumah tetangga, dengan sepeda yang kupinjam dari anaknya pula. Kaki lecet, darah segar mengalir di atasnya. Bapak langsung membopong dan membaringkan saya saat tiba di rumah.

"Sudahlah, tak perlu belajar bersepeda dulu. Nanti juga ada waktunya kamu bisa.", Ibu menasihati sambil memijat kakiku.

"Aku ingin punya sepeda, Bu.", saya berseru.

Kondisi ekonomi keluarga yang masih apa adanya membuat orang tua belum bisa memberi ruang keuangan untuk membeli sepeda saat itu. Tapi namanya juga anak-anak, saya seolah tak mau tahu bagaimana keadaan orang tua. Tetap keras kepala dan terus merengek dibelikan sepeda.

Meskipun belum memiliki sepeda, hari-hari sepanjang kelas 3 saya isi dengan berlatih bersepeda bersama teman-teman hingga akhirnya saya benar-benar bisa mengendarainya. Saya selalu menantikan saat teman-teman meminta untuk giliran mengemudikan sepeda. Walaupun belum bebas memainkan sepeda karena bukan milik sendiri, setidaknya saya merasakan berbagai sensasi yang berbeda saat menaiki sepeda teman-teman yang jenisnya tak seragam. Ada model sepeda mini yang tampak manis dengan keranjang di depan yang biasa dipakai anak perempuan, ada pula yang dimodifikasi ala motor gede lengkap dengan "jalu" di bagian poros ban belakang yang biasanya ada di sepeda teman laki-laki.  

Mungkin melihat kemauan keras atau karena bosan mendengar keluhan yang sering saya tunjukkan, akhirnya orang tua menyanggupi keinginan terbesar saya saat itu. Dengan penuh perhatian, bapak dan ibu memberanikan diri untuk meminjam sepeda milik anak dari teman kerja bapak. Beruntungnya, rekan seperjuangan bapak yang relatif berkecukupan tersebut berbaikhati dan meminjamkan sepeda anaknya kepada saya. 

Sepeda pinjaman dengan dominasi warna kuning dan merah akhirnya menghias rumah. Meskipun statusnya masih pinjaman, sepeda ini bebas saya bawa ke mana saja, sampai batas waktu yang tidak dibatasi. 

Tiga tahun kemudian, tiba saatnya saya disunat. Awalnya agak takut saat tahu akan disunat. Sakit, pastinya. Namun saat momentum disunat ini, biasanya orang tua begitu baik dengan menuruti apapun yang dimaui anak lelakinya. Pikiran tersebut kemudian memotivasi saya agar secepatnya disunat. 

"Kamu pengen apa Jang?", Ibu menanyaiku selesai prosesi sunat selesai.  

"Sepeda!" Saya menjawabnya mantap.

"Sudah bisa ditebak!", sahut Ibu. 

Benar saja, orang tua langsung memenuhi hasrat kuat anaknya. Beberapa hari setelah acara sunatan selesai, ibu mengajak saya ke kota. Dan betul-betul tak disangka saat ibu menarik tanganku memasuki toko sepeda.  

Girang luar biasa perasaan saya kala itu. Karena terlalu bahagia, saya bahkan menaiki sepeda pertama yang dibelikan orang tua tersebut dari toko hingga sampai di rumah. Sementara Ibu mengamati dari belakang di atas becak langganannya. Padahal jarak toko sepeda di pusat kota ke rumah kami sekitar 5 km.

Sayapun segera meluapkan kebahagiaan dengan memacu sepeda baru menyusuri tepian sungai. Sesekali sepeda kuarahkan dengan mencoba medan yang menantang dengan menjelajah kebun-kebun warga yang dirimbuni berbagai macam pohon yang menjulang.

"Ayo nge-trill!", saya menantang teman sebaya saat melihat gundukan tanah di ladang milik saudara.

"Wah Arif sekarang nggaya sudah punya sepeda baru.", seru teman-teman sambil tertawa.

Sepeda ‘kado sunatan’ ini kemudian menemaniku saat berangkat sekolah sewaktu duduk di bangku SMP. Jarak dari rumah ke SMP yang relatif jauh memaksa saya harus menaiki angkutan umum untuk pergi dan pulang ke SMP. Namun permasalahannya, rumah saya tidak dilalui jalur angkutan umum. Melihat keadaan seperti itu, orang tua akhirnya menyarankan agar sebagian jarak ke SMP ditempuh dengan bersepeda saja. Alhasil, setiap pagi saya bersepeda hingga perempatan, sekitar 2 km jaraknya dari rumah. Kemudian sepeda saya titipkan di tempat penitipan sepeda yang tersedia di perempatan jalan besar di mana angkutan umum biasa berhenti. Dari perempatan ini saya menaiki angkutan umum yang melintas ke jalur sekolah. Begitupun sebaliknya saat saya menempuh jarak sepulang sekolah. 

Alhamdulillah, meskipun jarak ke sekolah tidak terlalu dekat, saya berhasil mengikuti pelajaran dengan baik selama mengunduh pengetahuan di SMP favorit sekabupaten. Nilai yang saya peroleh juga lumayan bagus sebagai modal untuk memasuki SMA berasrama yang lokasinya ada di luar kota.  

*

Seiring berlalunya waktu, sepeda masih menjadi alat transportasi yang dipakai oleh siapapun dalam berbagai keperluan. Tak hanya untuk anak sekolah, sepeda juga tetap digunakan oleh petani dalam melakoni aktivitasnya di sekitar sawah, nelayan yang mengirim hasil tangkapan ikannya dari laut, atau para eksekutif yang menjalani gaya hidup dengan bersepeda menuju ke kantornya saat bekerja.  

Saya yakin, meskipun berbagai kemajuan telah terjadi pada hampir semua jenis alat transportasi, hampir setiap orang di negeri ini mungkin memiliki memori cerita bersepeda semasa kecil. Saya sendiri selalu tersenyum dan tertegun saat melihat orang bersepeda, karena teringat masa-masa bersepeda kala belia dulu. Terutama saat saya tak jera terjatuh, dan berusaha dengan keras agar sepeda bisa berjalan seimbang hingga lancar mengemudikannya. Apalagi saat memutar kenangan manis di kepala sewaktu saya bersenda gurau di lapangan atau di tepian sungai sehabis bersepeda, seakan merayakan kemenangan-kemenangan sederhana yang telah dilalui dari berbagai aktivitas tanpa beban bersama teman-teman.  Dan tentunya senyuman akan mengembang saat mengenang betapa riangnya ketika benar-benar memiliki sepeda sendiri untuk kali pertama, meskipun harus disunat dulu sebagai syaratnya.

 

 Sepeda masih digunakan dalam berbagai aktivitas masyarakat (dok. pribadi)

Menikmati kebersamaan dengan keluarga sambil bersepeda (dok. pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun