Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama FEATURED

Merayakan Kemenangan Nusantara ala Gending Djaduk

18 Agustus 2014   19:23 Diperbarui: 13 November 2019   08:40 1920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Djaduk dan KuaEtnika saat menyajikan repertoar dalam Gending Djaduk (dok. pribadi)

“Saya lulusan seni rupa, tetapi jarang melukis. Kemampuan saya adalah bermain musik. Anggap saja saya melukis keindahan Nusantara melalui bunyi-bunyian dalam komposisi Gending Djaduk.”, begitu kira-kira ungkapan Djaduk Ferianto dalam pentas Gending Djaduk semalam.

Acara yang diadakan sebagai peringatan ulang tahun ke-50 seniman asal Bantul tersebut digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) setelah sebelumnya diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Keistimewaan pertunjukan Gending Djaduk yang digelar tepat pada 17 Agustus 2014 ini juga menandai keinginan Djaduk untuk belajar kembali menjadi manusia Indonesia dari sejarah panjang Nusantara melalui musik. "Tak ada kata berhenti untuk selalu belajar, usia 50 tahun menjadi kelahiran kembali. Semoga saya tidak tua, tapi kembali muda.", seru putra bungsu seniman Bagong Kussudiardja.

Djaduk Ferianto saat menceritakan Gending Djaduk (dok. pribadi)
Djaduk Ferianto saat menceritakan Gending Djaduk (dok. pribadi)
Selama lebih kurang 2 jam, pagelaran musik yang kaya dengan citarasa Nusantara dihadirkan Djaduk dengan berbagai perpaduan nuansa musik  jazz, rock, funk, dan lainnya melalui kolaborasi cantik  bersama KuaEtnika, kelompok musik yang didirikannya 1996.

Piknik ke Cibulan menjadi repertoar pertama. Lagu yang dulunya dinyanyikan penyanyi tarling Indramayu-an Hj. Dariah ini membuka pertunjukan yang seolah mengantar penikmat musik menjelajahi penjuru Nusantara melalui bebunyian.

Renungan Djaduk tentang kondisi Jawa jaman sekarang mengilhami dirinya menyusun Jawadwipa sebagai repertoar berikutnya. Sebagaimana ramalan Jayabaya yang menyebutkan "Jawa kelangan Jawane", Djaduk menganggap komposisi ini sebagai 'jalan kembali' kepada leluhurnya yang berasal dari Jawa.

Nuansa musik Bukit Barisan kemudian menyeruak di panggung. Inilah representasi pulau emas yang pada masa jayanya sering disebut Swarnadwipa. Djaduk melengkapi komposisinya dengan ornamen musik Sumatera khas Minang dan Batak pada repertoar ini, setelah sebelumnya mengungkap inspirasi kebudayaan bahari yang didapatkannya melalui repertoar berjudul Pesisir dan Angop (sebuah repertoar yang terinspirasi dari cara menguap anggota DPR).

Djaduk dan KuaEtnika saat menyajikan repertoar dalam Gending Djaduk (dok. pribadi)
Djaduk dan KuaEtnika saat menyajikan repertoar dalam Gending Djaduk (dok. pribadi)
Irama ceng ceng Bali selanjutnya muncul mengiringi repertoar berjudul Barong. Djaduk bercerita bahwa komposisi ini menjadi caranya melukis keindahan saat suatu sore di Desa Singapadu-Bali, melihat Mas Dibya (saat itu rektor ISI Denpasar) menari dengan topeng.

Djaduk dan KuaEtnika kemudian membawa penikmat musik etnik ke persilangan sekaligus pertemuan keindahan Nusantara melalui repertoar Molukken. Jika pertunjukan Gending Djaduk di Jakarta menghadirkan Glenn, saat pentas di Jogja Djaduk mengajak Paksi, penyanyi muda berbakat asal Jogja.

Melalui aransemen yang indah, lagu 'Kole-Kole' disuguhkan sebagai gambaran kemerduan teluk Ambon, pasir dan pantai, dan melodi-melodi serta nyanyian khas Maluku, yang merekam sejarah perdagangan dari pra kolonial hingga era milenium seperti sekarang.

Djaduk kemudian memanggil kakak sekaligus supervisi pertunjukan, Butet Kertaredjasa, ke atas panggung. Dengan gayanya yang khas, Butet melengkapi sindiran dan sentilan yang sebelumnya sudah memenuhi ruangan. Kemudian seniman yang sering bermonolog tersebut memberi wejangan atas ulang tahun adiknya.

"Sebagai kakak, saya mengingatkan agar di usia senjamu kamu lebih serius mendalami agamamu.", seru Butet.

"Lha kok ngajarin beragama. Emang agamamu opo?", tanya Djaduk.

"Animisme progresif!", jawab Butet mantap, penonton pun tak kuasa membendung tawa menyaksikan dialog mereka.

Selanjutnya Butet memanggil Yudi, seorang keyboardist yang dulu bersama-sama membesarkan KuaEtnika. Kebetulan 17 Agutus adalah hari ulang tahun Yudi. Repertoar berjudul Bromo pun dihadirkan, yang sebenarnya tidak ada dalam urutan repertoar pertunjukan Gending Djaduk.

Sebagai puncak penutup pagelaran, repertoar yang meriah bagai pesta irama seni tradisi Nusantara dihadirkan dengan tajuk Ritma Khatulistiwa. Pada repertoar yang didominasi suara ritmis perkusi ini, Djaduk menerjemahkan bahwa ruang interaksi antara musik dan masyarakat pendukungnya menjadi salah satu ciri seni tradisi yang terus berkembang di Nusantara.

Seluruh komposisi yang tersaji didasari oleh semangat Djaduk dan KuaEtnika untuk berkomunikasi dengan penikmat sehingga setiap bunyi dan suara bukan sekedar menjadi 'materi musikal', melainkan menjadi media komunikasi. Dialog dan interaksi antar tradisi sebagai wujud interaksi interaksi antarindividu menjadi tema utama yang terus diolah Djaduk dan KuaEtnika.

Karena menurut Djaduk dan KuaEtnika, setiap tradisi bukan sesuatu yang statis dan final, melainkan sebuah proses yang tidak pernah selesai.

Djaduk dan Kuaetnika di akhir acara (dok. pribadi)
Djaduk dan Kuaetnika di akhir acara (dok. pribadi)
Saya sangat beruntung menjadi salah seorang saksi peristiwa perayaan ini karena duduk lesehan tepat di depan panggung. Selain menikmati penjelajahan ke berbagai penjuru Nusantara melalui kekayaan musik, saya juga merasa banyak belajar tentang bagaimana kebudayaan Nusantara terawat melalui keluhuran masyarakat dan kerja keras para seniman serta budayawan yang merajut kuat kebhinekaan dengan cara-cara kreatif.

Selamat ulang tahun, Mbah Djaduk!

Selamat merayakan kemenangan, Nusantara!

Klik tulisan lainnya:
Berburu Mainan Tradisional di Jogja
Suguhan Sunset Saat Ngabuburit di Candi Ijo
Menjaga Warisan Leluhur Melalui Batik Kawasan Borobudur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun