"Sebagai kakak, saya mengingatkan agar di usia senjamu kamu lebih serius mendalami agamamu.", seru Butet.
"Lha kok ngajarin beragama. Emang agamamu opo?", tanya Djaduk.
"Animisme progresif!", jawab Butet mantap, penonton pun tak kuasa membendung tawa menyaksikan dialog mereka.
Selanjutnya Butet memanggil Yudi, seorang keyboardist yang dulu bersama-sama membesarkan KuaEtnika. Kebetulan 17 Agutus adalah hari ulang tahun Yudi. Repertoar berjudul Bromo pun dihadirkan, yang sebenarnya tidak ada dalam urutan repertoar pertunjukan Gending Djaduk.
Sebagai puncak penutup pagelaran, repertoar yang meriah bagai pesta irama seni tradisi Nusantara dihadirkan dengan tajuk Ritma Khatulistiwa. Pada repertoar yang didominasi suara ritmis perkusi ini, Djaduk menerjemahkan bahwa ruang interaksi antara musik dan masyarakat pendukungnya menjadi salah satu ciri seni tradisi yang terus berkembang di Nusantara.
Seluruh komposisi yang tersaji didasari oleh semangat Djaduk dan KuaEtnika untuk berkomunikasi dengan penikmat sehingga setiap bunyi dan suara bukan sekedar menjadi 'materi musikal', melainkan menjadi media komunikasi. Dialog dan interaksi antar tradisi sebagai wujud interaksi interaksi antarindividu menjadi tema utama yang terus diolah Djaduk dan KuaEtnika.
Karena menurut Djaduk dan KuaEtnika, setiap tradisi bukan sesuatu yang statis dan final, melainkan sebuah proses yang tidak pernah selesai.
Selamat ulang tahun, Mbah Djaduk!
Selamat merayakan kemenangan, Nusantara!
Klik tulisan lainnya:
Berburu Mainan Tradisional di Jogja
Suguhan Sunset Saat Ngabuburit di Candi Ijo
Menjaga Warisan Leluhur Melalui Batik Kawasan Borobudur