Sementara, sembilan arah pembangunan Jogja Renaisans yang menyangkut pendidikan, pariwisata, teknologi, ekonomi, energi, pangan, kesehatan, keterlindungan warga, tata ruang dan lingkungan, disimbolkan dalam huruf “g” yang berbentuk angka sembilan. “Untuk mencapai tekad Jogja Gumregah ini, kebudayaan akan selalu menjadi payung dan artus utama dalam mencapai kemajuan,” kata Arif.
Titik dalam huruf “J” dalam bentuk biji dan daun juga lubang pada huruf G melambangkan filosofi Cokro Manggilingan, Wiji Wutuh, Wutah PEcah, PEcah Tuwuh, Dadi Wiji yang menjadi pedoman pembangunan yang lestari dan selaras dengan lingkungan.
Huruf “G” dan “J” yang saling memangku dan bersinggungan melambangkan semangat “Hamemayu Hayuning Bawana” – pedoman bagi setiap pemimpin dan pengampu kebijakan untuk selalu bercermin pada kalbu rakyat. Ini juga diartikan sebagai tugas pemimpin yang menjadi pelayan rakyat untuk memajukan pembangunan yang memanusiakan manusia.
Warna merah yang digunakan sebagai warna resmi logo tersebut berasal dari lambang kraton. Merah mencerminkan keberanian, ketegasan, kebulatan tekad. Warna merah di atas putih menggambarkan Jogja yang menyimpan roh ke-Indonesia-an yang berdiri kokoh di atas sejarah panjang kebudayaan unggul Nusantara.
Tagline “Istimewa” mencerminkan keistimewaan Jogja yang progresif, integritas, dan memiliki diferensiasi yang kuat dibanding daerah lain.
Herry Zudianto menambahkan, branding ini nantinya diharapkan bisa menjadi netizen brand yang akan dicintai dan digunakan oleh semua elemen masyarakat Jogja.
[caption id="attachment_349503" align="aligncenter" width="537" caption="Simulasi desain logo Jogja yang baru (fanpage Jogja Darurat Logo)"]
![14231222791330218863](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14231222791330218863.png?t=o&v=700?t=o&v=555)