Membaca dan mencoba menghayati apa yang tertulis di dalam Majalah MAYAra, edisi 178 Bulan Juni 2017 berjudul "Praktikkan Pancasila" pada Rubrik Membaca Indonesia, penulis kemudian terlecut untuk membuat tanggapan yang semoga ini bisa menjadi ajang pembelajaran bersama bagi kita semua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah akan berlangsungnya perayaan kemerdekaan Indonesia ke-72 besok (17/8/2017).
Hal ini penulis anggap penting karena di tengah situasi politik global yang sedang memanas seperti sekarang, perlu adanya penyejuk dan penyiram kepala serta hati agar tetap dingin sehingga kita tidak ikut hanyut dalam medan 'arus panas' yang hakikatnya ada pemegang remote control arus panas itu untuk kepentingan mereka. Para pembaca buku di atas seribu judul dan pengikut setia 'lazimah' bedah buku di Pondok Tambak Bening tentu langsung bisa tahu dan menangkap siapa mereka yang penulis maksud.
Sebagaimana kita tahu, bahwa Pancasila sebagai salah salah itu manhaj dalam berbangsa dan bernegara di dunia ini sudah banyak dilirik oleh berbagai negara sebagai karena dinilai berhasil dalam mendinginkan panas tersebut di atas. Berbagai macam upaya sudah dilakukan untuk menghancurkan Indonesia, namun berkat rahmat Alloh sebagaimana yang tercantum dalam pembuka UUD 1945, Indonesia tetap kokoh dengan manhajnya. Afganistan sudah punya duplikat NU di sana bertugas mirip dengan di Indonesia yang selalu berusaha menggunakan berbagai cara untuk meredam konflik dalam negaranya.
Maka, segala upaya untuk mempertahankan Manhaj Pancasila di bumi pertiwi adalah termasuk jihad tersendiri untuk saat ini. Sebagaimana Resolusi Jihad yang dicetuskan di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945 oleh para ulama' se-Jawa dan Madura pimpinan KH. Hasyim Asy'ari untuk memberikan rasa aman-damai kepada penduduk negeri yang mayoritas muslim. Majalah MAYAra sebagai media yang ada di bumi Surabaya, dimana para mujahid banyak yang mati syahid, sudah memberi contoh kepada media lain untuk melakukan jihad yang sama. Karena hakikatnya isi Pancasila adalah esensi Islam sendiri. Bukan sensasi yang mementingkan kulitnya saja.
Namun yang harus disadari, tidak mudah untuk menerapkan nilai-nilai dan kandungan Pancasila terutama kepada generasi muda penerus bangsa. Ada beberapa faktor yang menjadikan mereka tidak tertarik lagi dengan Manhaj Pancasila, diantaranya;
Pertama, minimnya keteladanan. Kita wajib tahu adalah bahwa contoh nyata atau suri taulan dalam kehidupan sehari-hari dalam memraktikkan "Manhaj Pancasila" merupakan hal paling penting agar Pancasila bisa membumi dan diikuti oleh banyak kalangan. Mulai anak-anak sampai yang sudah tua, mulai yang miskin sampai yang kaya.
Di Pondok Tambak Bening, Romo Guru kami memberikan teladan langsung bagaimana cara berke-Tuhanan, hidup adil-beradab, menjaga persatuan, musyawarah serta membangun hubungan sosial kepada seluruh tetangga dan sesama manusia. Sehingga ketika para santri sudah terjun langsung bermasyarakat mereka sudah menjadi inti sari Islam yang berjalan. Jika bicara mengenai Pancasila di depan umat, mereka tidak ragu dan canggung lagi. Hal itu karena mereka sudah mengamalkan dalam kehidupannya. Orang lain juga akan dengan mudah percaya karena mereka melihat langsung perilaku santri sehari-hari.
Oleh karena itu, harus diperbanyak lagi tokoh-tokoh teladan seperti Romo Guru Siddi Luthfi, Habib Luthfi, Mbah Yai Maimoen Zubair, Mbah Yai Mustofa Bisri agar para generasi penerus punya acuan teladan di Indonesia. Karena menjaga amanah dari Allah berupa bumi Nusantara ini adalah ibadah.
Karena Pancasila bukanlah tujuan (ghoyah), melainkan jalan (manhaj/thoriqoh) untuk tempat berjalan bersama dengan damai di tengah keberagaman. Kita tentu tidak menyalahkan saudara-saudara kita itu sepenuhnya, disebabkan fasilitas membaca begitu minim di negeri ini sehingga memunculkan generasi yang lemah literasi.
Itulah akibat minimnya pengorbanan para pejabat maupun politisi ini yang berdampak besar pada kalangan akar rumput yang merasakan dampaknya. Mental-mental pejabat-politisi yang lebih mementingkan diri sendiri maupun partainya membuat rakyat jelata makin menjerit. Anak-anak mereka yang melihat orang tuanya dalam kondisi sangat susah melihat ini adalah salahnya Pancasila. Mereka kemudian bergabung dengan kelompok-kelompok yang menentang Pancasila.
Maka, jika mulai saat ini para elit pejabat dan politisi tidak mampu berkorban dalam mengamalkan Pancasila terutama dalam sila ke lima yakni Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Maka satu juta kali perpu tentang pembubaran ormas dikeluarkan tidak akan bisa membunuh 'sel-sel kebencian' anak-anak muda terhadap mereka. Memang kelihatannya bubar dari segi hukum, namun lihat saja perkembangan mereka sekitar 9 sampai 17 tahun lagi apabila pejabat dan elit politik masih bermental kapitalis borjuis seperti sekarang ini.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H