Mohon tunggu...
Ari Firmansyah
Ari Firmansyah Mohon Tunggu... Programmer - Dreamer with open the eyes

Hope you enjoy my work

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Studi tentang Kebutuhan Dasar Manusia

6 September 2018   20:50 Diperbarui: 6 September 2018   21:28 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang diri kita sering bersikap skeptis oranglain. Kemungkinannya karena tidak semua orang mempunyai perilaku atau sikap yang baik, atau bisa jadi karena tidak percaya pada seseorang yang akan dikenal. Sebenarnya hal itu memang lumrah untuk disadari. Salah satu sebabnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar tiap individu berbeda-beda. Jika merasa muak dengan ajang pamer pameran seseorang di media sosial, hal tersebut bisa juga tidak bisa disalahkan juga. Kemungkinannya adalah aktualisasi atau ajang eksistensi dirinya dalam menanggapi berbagai hal, psikologi juga bisa dikaitkan dengan gaya hidup manusia ini. 

Dalam kajian penelitian bidang psikologi terdapat hierarki kebutuhan dasar manusia seperti yang diterangkan oleh Abraham Maslow, yang salah satunya adalah rasa aman yang berada di level kedua.

Menilik dari hierarki diatas maka manusia sejatinya memerlukan kebutuhan fisiologis, atau kebutuhan primer yang fardlu 'ain bagi setiap manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Apalagi demi menjaga kehidupan dan kesehatan manusia dalam mengarungi dinamisnya roda kehidupan. Kebutuhan fisiologis bisa diwujudkan dengan kebutuhan makan, kebutuhan istirahat, kebutuhan bernafas, dan segala kebutuhan dalam kaitannya anatomi manusia itu sendiri. Tentu saja kebutuhan jenis ini layaknya makhluk hidup hewani, yang sesuai nalurinya.

Namun apabila kebutuhan fisiologis telah terpenuhi maka, akan naik level ke pemenuhan kebutuhan rasa aman dan keamanan. Coba saja bayangkan apabila ingin mengerjakan sesuatu hal, umpamanya seorang mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Tentu jika dirinya mengerjakan ditempat yang aman, nyaman, implikasinya adalah mudah dalam mengerjakan tugas akhir skripsinya. Bandingkan apabila berada ditempat yang ramai, ribut, suara bising yang memekakan telinga, beda halnya dengan suara berisik jangkrik, suara berisik kodok, suara berisik alam yang memang memberi aura positif dalam melakukan pekerjaan. 

Tentu saja akan mengurangi konsentrasi bekerja jika dihadapkan pada fenomena yang tidak kondusif. Mengerjakan suatu hal akan lebih enteng, lebih mudah jika memang merasa aman dan nyaman. Berada di situasi yang tidak mengenakkan, seperti berita-berita yang santer terdengar yaitu kejadian teroris, atau berada ditempat peperangan, tempat yang sedang terjadi bencana alam. Akan menimbulkan kondisi kejiwaan yang serba cemas, khawatir, takut akan bahaya, takut akan ancaman. Dorongan kestabilan jiwa juga membuat segalanya akan mudah dikerjakan, tidak bisa dipungkiri lagi.

Kedua level tersebut sebetulnya adalah kebutuhan manusia yang hampir sama kebutuhannya dengan kebutuhan hewan. Karena manusia itu terdapat jiwa hewani, namun dikarenakan manusia mempunyai kelebihan akal daripada hewan. Yang dari akal tersebut manusia mampu untuk berjiwa 'manusia', dalam artian manusia mempunyai pilihan menentukan sikap, berakhlak, berilmu pengetahuan, jiwa yang membedakan dengan jiwa hewan yang liar, tidak karuan. Dari sanalah manusia menemukan budaya, meniptakan budi dan daya, kreatifitas, ataupun bisa diartikan menemukan peradaban.

Jika melihat akhir-akhir ini, karena perkembangan teknologi yang tidak bisa dibendung yang sangat pesat perkembangannya. Selalu kita melihat update status entah itu di laman sosial media facebook, twitter, instagram, dsb. Maka kemudian banyak kita temui update status yang sebetulnya malah membuat seperti nyampah, atau entah itu dengan maksud apa seseorang mengupload foto yang sedang dia lakukan. Kemungkinan itu adalah implikasi dari sebuah kebutuhan dasar manusia yaitu aktualisasi diri yang melebihi ego manusia di level keempat. 

Aktualisasi diri seseorang akan berbeda-beda, bisa digunakan manusia untuk agar lebih dikenal, atau untuk ajang pamer dirinya saja, ajang dimana butuh diakui sebagai entitas manusia, butuh ke-eksistensi-annya. 

Namun kebanyakan manusia secara rata-rata untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, pada tahap level ketiga sudah cukup, itu bagi kebanyakan orang. Namun bisa berubah, dihadapkan juga pada psikologis seseorang dalam menangkap dan kemudian mencerminkan pemikirannya melalui sosial media. 

Karena bentuk eksistensi manusia yang kadang berbeda itulah, dianggapnya menjadi kepuasan dirinya. Belum tentu orang lain merasakan kepuasan yang sama, jika kita mau menyingkirkan sikap buruk dengki atau hasad. Kedengkian itu bisa menghampiri manusia karena suatu hal, bisa jadi karena keinginannya seperti layaknya orang lain, karena menganggap apa yang diraih seseorang tersebut merupakan sebuah pencapaian kesuksesan. Angan-angan manusia yang menginginkan kebahagian seperti halnya orang lain, mampu menjerumuskan juga kedalam lembah adu domba, karena perasaan sikap dengki/iri hati.

Karena kebutuhan aktualisasi diri ini, maka kebutuhan menghargai dan dihargai yaitu hierarki kebutuhan dasar manusia yang keempat adalah langkah konkret agar antar manusia bisa mewujudkan puncak potensi prestasi. Dengan tenggang rasa atau jawanya 'tepo sliro' yang juga merupakan unsur dari rasa menghargai, saling memahami, maka akan bisa menciptakan rasa perdamaian. Analoginya bisa dilihat dari sebuah arloji jam tangan yang sistematis. Arloji bisa dikatakan satu entitas arloji apabila satu komponen dengan komponen saling mendukung, saling melengkapi kekurangan-kekurangan yang tidak mampu diatasi oleh komponen lain. 

Jarum jam mampu menunjukkan pada manusia waktu kontemporer,  batu baterai mampu menjadi daya agar sistem kerja mekanik mampu berjalan untuk menggerakkan jarum jam, gelang pengikat sebagai pengikat jam pada lengan manusia, atau juga gears, case, hairspring, mainspring, pexiglass, dan komponen lain yang saling menguatkan menjadi satu visi misi yaitu dinamakan arloji.

Analogi ini bisa diejawantahkan seperti halnya memahami sebuah bangsa ini. Kita tidak bisa terlepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara, meskipun ada yang merasa apatis saja dengan politik nasional. Karena memang dalam mengurusi sebuah negara tidak lepas dari yang namanya kekuasaan, pemerintah, politik. Sedangkan masyarakat akar rumput hanya menjadi penonton yang sesekali juga nimbrung untuk ikut berdiskusi hangat dengan perkembangan politik nasional. Hais, intinya seperti kali ya.

Maksud dari apa yang penulis sampaikan adalah dalam memaknai kehidupan bernegara yaitu saling menguatkan, saling mendukung, saling menghargai pendapat, saling menjadi pelengkap satu dengan yang lainnya. Dengan begitu visi misi yang mau dicapai oleh kita bersama mampu diwujudkan dengan bijak. Bukan malah menjatuhkan, yang terjadi di negara demokrasi kita sekarang ini amat krusial ketika membicarakan antara kubu satu dengan yang lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun