Oleh Arifin Indra
Seorang anak muda sedang memainkan HPnya di teras rumah joglo dengan asik sehingga tidak tahu Eyangnya datang menghampirinya. Eyang Roso mendekatkan kepalanya untuk mengintip gambar di layar HP cucunya yang sudah duduk di kelas 11.
“ Sedang sibuk apa Han, serius amat ?”, Eyang Roso ingin tahu kesibukan cucunya.
“ Ehh Eyang, kirain siapa. Ini lohh, soal Bitcoin dan Ethereum. Boleh donk, Erhan dijelasin tentang crypto, Eyang kan pernah berkarir di dunia keuangan?”, pinta cucunya.
“ Boleh, ayuuk …, Erhan mau duduk di mana ?”, tanya Eyangnya.
“ Yuk kita ke ruang tengah…, tapi Erhan cari camilan dulu yaa“, Erhan bangkit masuk ke dalam, langkahnya belok ke meja makan. Erhan mencari toples makanan kecil yang biasanya ada di situ. Setelah ketemu toples rengginang, kemudian dibawanya ke ruang tengah menemui Eyangnya.
“ Akhirnya dapat juga rengginang, untuk teman diskusi soal crypto currency”.
“ Monggo Eyang”, cucunya mempersilahkan Eyangnya untuk mulai.
***
“ Baiklah, Eyang akan mulai dengan ini”, Eyang Roso mengambil uang kerta pecahan Rp. 50.000,- yang berwarna biru dari dompetnya, sambil ditunjukkan kepada cucunya.
“ Ini adalah uang kertas yang resmi berlaku di negara kita. Ini adalah alat pembayaran”.
“ Di kiri bawah uang kertas ini, tertulis … Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia Mengeluarkan Rupiah Sebagai Alat Pembayaran Yang Sah Dengan Nilai Lima Puluh Ribu Rupiah”, Eyang Roso menyerahkan uang itu kepada Erhan.
“ Coba lihat dan baca, setelah itu simpan untuk beli bakso”, lanjut eyangnya.
“ Terimakasih Eyang”, diterimanya uang kertas Rp. 50.000,- itu , kemudian dicarinya kalimat yang sudah dibaca Eyangnya.
“ Ehh bener…, Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia Mengeluarkan Rupiah Sebagai Alat Pembayaran Yang Sah Dengan Nilai Lima Puluh Ribu Rupiah”, Erhan membaca dengan lantang saking semangatnya.
“ Ini uang kertas, ini alat pembayaran, jelas yaa”, Eyang Roso menegaskan.
“ Inggih Eyang, mangertos”, jawab cucunya.
“ Eyang masih punya sisanya ada di rekening tabungan di Bank. Ini kartu ATM sebagai bukti bahwa Eyang punya rekening di Bank. Dengan kartu ATM ini, Eyang bisa membeli buku di mall, tanpa menggunakan uang kertas”.
“ Eyang terkadang menggunakan aplikasi mobile banking untuk membayar pesanan barang yang dibeli secara online di marketplace”, lanjut Eyang Roso.
“ Eyang juga bisa transfer ke bank lain atau ke perusahaan sekuritas untuk membeli saham”.
“ Tanya dong Eyang…, lalu apa bedanya dengan uang crypto ?”, sang cucu tidak sabar.
***
“ Crypto currency adalah uang digital, virtual namun dilindungi oleh kode rahasia (dengan basis teknologi blockchain). Uang crypto dapat dibuat oleh siapa pun ( contoh Bitcoin oleh "Satoshi Sakamoto"); bukan pula oleh sebuah Negara yang berdaulat”.
“ Crypto currency (antara lain Bitcoin, Ethereum, Litecoin, Ripple, ZCash, Dash, Tether, Dodgecoin) itu dicatat di buku besar (ledger) yang disimpan secara desentralisasi, di simpan di ribuan server komputer secara redundant yang diupdate setiap 10 menit ”.
“ Orang harus bekerja untuk mendapatkan gaji, setuju kan”, sang Eyang beretorika.
“ Demikian sama halnya, orang harus melakukan “mining” (menggunakan aplikasi tertentu) untuk mendapatkan upah dalam bentuk uang crypto; sekaligus sebagai mekanisme penciptaan uang crypto”.
“ Atau, orang dapat membeli uang crypto dengan menggunakan uang alat pembayaran yang sah (uang Rupiah, maupun mata uang asing lainnya, melalui pedagang kripto”.
“ Semua transaksi itu dicatat di dalam buku besar (ledger), dilindungi disimpan dengan baik di beberapa server, sehingga aman dari hacker”.
“ Bagaimana aturan di negera kita Eyang?”, si Erhan sudah menyiapkan pertanyaan sejak tadi.
***
“ Tentang asal muasal crypto currency , nanti silahkan cari lagi di search engine yaa”.
“ Adapun untuk kondisi di Indonesia, kita perlu melihat ketentuan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan berkaitan dengan crypto currency ini”.
“ Dari sudut kewenangan Bank Indonesia, sudah ditegaskan bahwa mata uang crypto adalah bukan alat pembayaran”.
“ Dengan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), telah dikeluarkan ketentuan terhadap lembaga keuangan bank, asuransi dan multi finance dilarang untuk bertransaksi dan memfasilitasi uang crypto.”.
“Ooooo gitu yaa Eyang. Baik Bank Indonesia maupun OJK tidak mengakui uang crypto sebagai alat pembayaran sehingga tidak boleh dilakukan transaksi di bank, asuransi dan multifinance”, si cucu membuat kesimpulan dari penjelasan Eyangnya.
“ Karena bukan alat pembayaran, maka uang crypto tidak bisa dipakai untuk nabung maupun deposito di bank, tidak bisa untuk membeli saham di pasar modal”, lanjut si cucu mengembangkan kesimpulannya.
“ Uang crypto juga tidak bisa masuk ke sektor riil maupun sektor publik”, tambah eyangnya.
“ Sebentar Eyang.., Erhan tidak mengerti kaitannya dengan sektor riil dan sektor publik, mohon dijelaskan Eyang”, pinta sang cucu karena belum paham.
***
“ Baiklah, Eyang akan melanjutkan, tapi sebentar Eyang mau ke toilet dulu”, sela sang Eyang seraya bangkit kemudian menuju kamar kecil dekat ruang tamu.
Beberapa menit kemudian, sang Eyang telah kembali ke ruang tengah sambil membawa gelas besar kesayangannya. Biasanya berisi wedang jahe atau wedang uwuh yang disiapkan oleh bi Iyah setiap pagi.
Setelah meminum dari gelas kesayangannya, Eyang Roso melanjutkan ,
“ Lagi-lagi gegara uang crypto tidak diakui sebagai alat pembayaran, maka tidak bisa masuk ke lembaga keuangan akibatnya tidak bisa membiayai perusahaan apapun di sektor usaha kecil, usaha menengah, sektor pertanian maupun industri lainnya”.
“ Tadi kan Erhan sudah bisa menyimpulkan, uang crypto tidak bisa untuk membeli saham di pasar modal. Itu semua seringkali disebut sebut sebagai sektor riil".
“ Dengan narasi yang sama, gegara uang crypto bukan alat pembayaran, maka tidak ada kredit maupun lewat mekanisme obligasi untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Ini yang sering disebut sebagai sektor publik. Jadi adalah tidak mungkin kita mengundang pemilik uang kripto untuk membiayai pembangunan jalan tol, pelabuhan dan airport”.
“ Okey… sekarang Erhan mengerti, sangat jelas Eyang. Waw..., Eyang enak banget menjelaskannya. Boleh kapan-kapan Erhan ajak teman-teman kelas untuk diskusi bisnis yaa Eyang, please”, pinta sang cucu kepada Eyangnya.
***
“ Boleh-boleh saja, silahkan ajak teman-temanmu kesini”, jawab eyangnya menyanggupi permintaan cucunya.
“ Sebenarnya ada dua point lagi, yang harus Eyang sampaikan”, sela Eyangnya seraya menangkap bahasa tubuh Erhan yang mau mengakhiri diskusi.
“ Serba singkat saja yaa. Pertama, Kemendag RI melalui Bappebti , menganggap uang crypto sebagai “komoditi” yang dapat diperdagangkan. Ketentuan selengkapnya silahkan baca Peraturan Bappebti No.5/ 2019”.
“ Ada 13 perusahaan pedagang crypto yang telah mendapat ijin Bappebti. Orang bisa membeli uang crypto melalui pedagang kripto tersebut”.
“ Yang kedua, dengan perlakuan dengan status “komoditi”, maka uang crypto, NFT dan turunannya bisa dianggap sebagai alternatif untuk melakukan “investasi” dan memang ada pasarnya”.
“ Pasar yang berbasis mata uang crypto dan transaksi-transaksi turunannya (Token, NFT, derivative ), dikategorikan spekulatif. Hal ini karena tidak punya nilai fundamental, tidak ada nilai intrinsik dan tidak bisa sebagai alat tukar resmi. Ini dari hasil kesimpulan beberapa ekonom senior, pejabat bank sentral di beberapa negara maupun para manager investasi”, sang Eyang mengakhiri penjelasannya.
“ Biklah Eyang, akan Erhan catat dan pegang dengan erat-erat wejangan Eyang yang terakhir. Terimakasih atas ilmunya Eyang. Jangan kapok, dengan pertanyaan Erhan yaa”, sang cucu menimpali kalimat penutup dari Eyangnya sambil mengucapkan terimakasih, berpamitan dan mengambil tangan Eyangnya untuk salam taklim.
“ Jangan sungkan-sungkan, langsung saja tanya ke Eyang”, jawab Eyang Roso dengan senang hati mengantar cucunya.
Narasi fiksi, maaf jika ada kesamaan nama dan situasi. @AIS, Tangerang 9 Juni 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H