Mohon tunggu...
Arifin Indra Sulistyanto
Arifin Indra Sulistyanto Mohon Tunggu... Konsultan - Pemerhati * Narasumber * Konsultan * Advisor * Assessor * Ilustrator

Telah belajar dan mengalami, terus belajar untuk mengerti dan memberi, ijinkan hamba berbagi literasi , menanti hingga datangnya senja hari. Menulis ibarat melukis kata dengan kuas, media kertas bagai kanvas, fiksi adalah warna bebas. Hitam dan putih adalah fakta dengan batas tegas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warisan Pakde To : Masalah Klasik Keluarga

25 Mei 2022   22:20 Diperbarui: 1 Juni 2022   19:26 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh  Arifin Indra

Via harus kembali ke KL untuk melanjutkan karir, membesarkan kedua buah hatinya dan mendampingi suaminya. Pesawat Airbus 330 Flight MH 5893 sudah diujung landasan pacu Bandara Soetta, sedang siap melaju untuk take off. Via menyandarkan kepalanya di kursi pesawat. Via menghela nafas panjang dan memejamkan matanya berdoa sambil menggenggam tangan suaminya. Didalam hati, Via berjanji akan selalu membimbing kedua anaknya untuk selalu rukun sesama sodara sekandung, apapun masalah yang dihadapi dalam keluarga.

Masih teringat dengan jelas wejangan kata-kata Abinya :

Harta warisan itu dikumpulkan orang tua dengan keringat, kadang penuh pengorbanan dan airmata. 

Ahli waris tidak mengeluarkan tenaga, keringat dan pengorbanan.

Jika datang waktu untuk membagi warisan orang tua, hendaknya secara ma'ruf dengan sesama ahli waris.

Jangan sampai kegaduhan di keluarga Bude To terjadi di keluarga Abi.

Sebagai anak pertama, Via harus mampu menjadi panutan adik-adikmu.

***

Abinya Via pernah menceritakan keluarga Pakde To, kakaknya Abi tertua.

Pakde To adalah seorang ASN, dokter spesialis penyakit dalam. Setelah terkena serangan jantung yang ke dua, Pakde To kapundut. Setelah Pakde To sedo, Bude To kehilangan panutan. Selama ini Pakde To sangat dominan menyelesaikan persoalan keluarga, mencari nafkah, aktifitas penting dan termasuk catatan keuangan.

Mba Lena sebenarnya adalah putri Pakde To nomor 2, namun karena putra no 1 meninggal prematur, maka Mba Lena dianggap anak pertama. Setelah Mba Lena lahir, kemudian disusul dengan tiga adik-adiknya.

Enam bulan sepeninggal Pakde To, atas desakan dua anaknya, Bude To menjual rumah warisan. Sayangnya, transaksi jual beli itu tanpa musyawarah seluruh ahli waris. Tidak diketahui mengapa Bude To melakukan transaksi jual-beli tanpa musyawarah. Mungkin Bude To tidak paham hukum waris. Pada saat bertransaksi, Bude To selalu didampingi oleh kedua anak laki-lakinya tersebut. Diduga, karena baik Mas Bambang dan Mas Cacuk mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak.

Mba Lena, si sulung dan si bungsu tidak pernah diajak untuk musyawarah.

***

Empat tahun yang lalu sebelum pandemi, Almarhum Pakde To dipanggil Yang Maha Pencipta. Saat ini, Bude To sudah berusia 75 tahun, punya penyakit comorbid DM dengan gejala dimensia dan senil.

Ketika semua orang sudah divaksinasi Sinovac dan bahkan sudah banyak sudah dapat booster, Bude To belom mau divaksinasi. Walaupun sudah dirayu Mba Lena dan Mas Didu, Bude To tidak bergeming. Mba Lena kawatir jika kekisruhan tidak selesai, akan jadi buntu jika Bude To kemudian menyusul Pakde To. Kekawatiran Mba Lena beralasan, mengingat usia dan buruknya komunikasi sehingga menyebabkan silaturahim antar sodara sekandung congkrah.

Mba Lena, berandai-andai dan mengharapkan ibunya mau untuk mendengar nasehat dokter. Ada satu hal yang membuat putri sulungnya gemes adalah, sang drama queen Bude To menganggap vaksinasi tidak halal. Bahkan Abinya Via, ponakannya ikut-ikutan merayu Bude To untuk mau divaksinasi di Jalan Hang Jebat. Standar jawaban Bude To adalah selalu, " tidak mau ". Mba Lena tidak habis pikir, bagaimana mungkin Bude To yang dulu berprofesi sebagai bidan (Nakes), namun di hari tuanya tidak percaya divaksinasi.

***

Di suatu malam, Mas Bambang menghembuskan nafas yang terakhir, tidak kuat melawan penyakit getah bening yang dideritanya. Betapa sedihnya Bude To sepeninggal Mas Bambang yang menyusul Pakde To. Bude To telah kehilangan dua orang anggota keluarganya, Pakde To dan Mas Bambang anaknya nomor dua. Kesedihan Bude To terlihat berlarut-larut, hingga suatu hari disentil oleh seorang ustadz asal Jombang. Bude To dinasehati oleh pak ustadz untuk mengikhlaskan kepergian almarhum. Lebih baik jika Bude To mendoakan almarhum agar diringankan siksa kubur, diterima segala amal ibadahnya serta mendapat tempat terbaik disisiNya.

***

Sepeninggal almarhum, dorongan untuk menjual rumah warisan masih terus berlanjut. Kabar yang terdengar, Mas Cacuk mempunyai kewajiban keuangan yang tidak kecil. Terjadi dua kubu yang masing-masing berbeda agenda dan punya pendapat dalam hal penjualan rumah warisan. Kubu Mba Lena dan Kubu Mas Cacuk. Si Kakak selalu mengingatkan adik adiknya untuk membahas lebih dulu dimana ibu mereka akan tinggal. Jika dihitung Bude To hanya akan mendapat 1/8 bagian warisan, jumlah itu tidak cukup untuk membeli rumah di Bintaro. Mas Didu akhirnya mendukung Mba Lena untuk mengajak kubu Mas Cacuk untuk berembug secara rasional.

***

Seiring dengan waktu berjalan, Bude To semakin sepuh dan tidak pernah bisa mengerem aksi Mas Cacuk. Bude To telah lama hanya mengekor apapun yang telah Almarhum Pakde To lakukan kepada anak-anaknya. Almarhum Pakde To mendidik anak-anaknya secara tegas dan keras. Bude To tidak pernah memanjakan si sulung satu-satunya anak perempuan. Abinya Via sering menerima curhatan Mba Lena tentang perlakuan Bude yang pilih kasih tersebut.

Akibat dari komunikasi yang buruk, menyebabkan permasalahan tidak pernah tuntas. Kubu Mas Cacuk menganggap pihak yang menghalang-halangi penjualan rumah adalah lawan yang harus dikalahkan. Sejatinya, kubu Mba Lena tidak pernah keberatan jika rumah warisan dijual. Syarat Mba Lena, harus ada solusi dalam merawat ibu yang telah melahirkan mereka semua. Kubu Mas Cacuk menganggap Bude To tidak masalah. Mas cacuk dan Almarhum Mas Bambang menganggap bahwa uang bagian ibunya cukup. 

Sudah memasuki tahun ke empat ini, tidak ada HBH di rumah Bude To. Masing-masing keluarga putra-putrinya sungkem ke Bude To dengan waktu yang berbeda-beda.

***

Sikap dan perkataan Bude To mendua terhadap penjualan rumah warisan.

Di dasar lubuk hati yang paling dalam, Bude To tidak mau pindah. Bude To mengungkapkan curhatan isi hatinya kepada Mba Ayu sahabat Mba Lena. Sahabatnya itu kemudian sharing ke Mba Lena , bahwa ibunya tidak mau ke tempat lain. Bahkan, beliau ingin tinggal sampai kapundut di rumah itu. Hal ini bertentangan dengan pemahaman Mas Cacuk yang menganggap Bude To setuju menjual rumah warisan.

Sampailah di titik kulminasi, Mba Lena merasa bahwa Bude To telah berubah seiring dengan dimentia yang dideritanya, yaitu sering menunjukkan sikap ambivalen, halu, lupa dan menyangkal. Sikap Bude To tidak lagi bisa menjadi tali suh keutuhan keluarga, juga sangat disayangkan oleh Abinya Via.  Adiknya Pakde To almarhum yang paling kecil itu sangat sedih dan prihatin atas kondisi keluarga Pakde To Almarhum.

***

Pagi itu Via sedang sibuk melihat status pasien-pasien yang akan dikunjunginya di ward RS sehingga tidak menyadari ada berita masuk melalui WA. Saat time break jam 12.00, Via membaca WA dari Abinya mengabarkan bahwa Bude To dalam kondisi comma di ICU RSPP Jakarta. Jantungnya lemah sehingga Bude To dibantu dengan alat pernafasan.

Abinya meminta Via untuk turut mendoakan Bude To agar diberikan kesembuhan dan diberikan jalan yang terbaik sesuai dengan qodarullah

Abinya juga mengabarkan bahwa sebelum comma, Bude To telah menulis surat wasiat. Semua anak-anaknya Bude To masing-masing sudah menerima copy Surat Wasiat.

Menurut Abinya, tulisan tangan Bude To tersebut hampir tidak banyak berubah sejak dari dulu, huruf miring meskipun terlihat tremor. Surat Wasiat Bude To itu ditulis setelah beberapa kali diingatkan oleh Abinya. Abinya menyemangati Bude To untuk menulis wasiat tentang apa saja yang diinginkan; wasiat itu nantinya harus dipenuhi dan dikerjakan oleh anak-anaknya di kemudian hari. Via terus membaca WA dari Abinya.

Adapun wasiat Bude To adalah sebagai :

Pertama, memberi petunjuk tentang pembagian warisan sesuai syariat Islam. Laki-laki mendapat dua bagian sedangkan perempuan satu bagian. 

Ke dua, permintaan untuk dimakamkan disamping Pakde To. 

Ke tiga, permintaan untuk didoakan dengan cara menggelar tahlilan.

Ke empat, nasehat agar selalu rukun sesama sodara dan saling menjaga silaturahim.

Pada kalimat terakhir, Abinya memberi pesan dan wejangan singkat.

Sepatutnya, rezeki warisan dimanfaatkan di jalan Allah. Seharusnya putra-putrinya Pakde To senantiasa mengirim doa kepada kedua orang tua di alam qubur sebagai tanda bakti dan syukur kepada Allah SWT.

Semoga pelajaran di keluarga Bude To dapat menjadi pelajaran buat kita semua untuk tidak terjebak dalam situasi yang sama. Semoga kita ditunjukkan jalan yang lurus.

Aamiin Ya Robbal Alamiin.

Karya Fiksi ini yang diilhami kejadian nyata. @AIS, Tangsel 25 Mei 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun