"Kamu banyak tahu perkembangan pertanian, pantas saja keukeuh dengan pendirianmu ingin menjadi petani."
Budi diam beberapa saat. Menghela nafas dalam-dalam, ia utarakan alasannya ingin membangun pertanian Indonesia.
"Aku dilahirkan dari rahim ibu seorang petani, masa kecilku banyak dihabiskan di sawah. Saat ini, banyak temanku di kampung terpaksa harus putus sekolah karena himpitan ekonomi. Tidak banyak pilihan pekerjaan bagi mereka kecuali mewarisi profesi petani dari orang tuanya, sebagian lagi, menjadi kuli bongkar muat di pasar. Aku jauh lebih beruntung, mendapat beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan kuliah.
Jika aku hanya memikirkan diriku sendiri, mungkin tawaran pekerjaan sebagai tenaga IT di kota besar akan lebih menjanjikan. Tapi tidak, aku ingin membangun daerahku, sampai kapan saudaraku, temanku, dan orang-orang yang hidup di sana terjebak dalam jerat kemiskinan? Aku harus ikut andil dalam upaya penurunan tingkat kemiskinan perdesaan, mengabdikan seluruh kemampuanku untuk perbaikan di bidang pertanian. Seperti dalam teori endogenous growth, semoga ilmuku akan banyak berguna bagi kemajuan daerah."
Temannya sangat terpukau dan terharu dengan ceritanya. Budi bukanlah sembarang orang.
"Aku juga yakin, dirimu adalah human capital yang luar biasa, sementara ilmumu akan menjadi modal technological improvement untuk melengkapi input produksi seperti kapital dan tenaga kerja. Dan..."
Budi memotong ceritanya.
"Dan... Untuk membangun pertanian yang berkelanjutan, dibutuhkan juga human capital hebat yang berlatar ilmu Ekonomi Pembangunan sepertimu."
Budi sedikit gugup.
"Aku serius..."
Mata temannya berbinar-binar, senyumnya merekah. Jantungnya pun mulai berdebar-debar tak sabar menunggu kelanjutan ucapan Budi.