Mohon tunggu...
Nur Arifin
Nur Arifin Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Awardee Beasiswa Pusbindiklatren Bappenas Linkage MEP UGM - GSICS Kobe Univeristy. ASN di Badan Pusat Statistik.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ada Cinta di Balik Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

5 Mei 2019   13:49 Diperbarui: 5 Mei 2019   21:08 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: idntimes.com

"If your dream doesn't scare you, it isn't big enough" --Kristine K. Stevens

Sejak masih di sekolah dasar, setiap kali guru dan temannya menanyakan cita-cita, Budi, seorang anak petani, dengan sangat tegas dan lantang menjawab ingin menjadi seorang petani.

Cibiran dan olokan seringkali ia peroleh dari kawan sepermainan, bahkan tidak jarang gurunya turut membumbui dengan cerita tentang kekhawatiran masa depan petani. Namun, itu semua tak sedikitpun menggoyahkan pendiriannya. Ia memiliki visi jauh ke depan, petani tak selamanya seperti apa yang mereka gambarkan.

Budi saat ini tengah menempuh pendidikan sarjananya di universitas terbaik di negeri ini. Ia kini tak perlu lagi bermandikan lumpur, membantu orang tuanya membajak sawah setiap pulang sekolah. Akan tetapi, ia senantiasa menyibukkan diri menatapi satu persatu baris coding program yang ia tengah kembangkan. Hidup di kota besar dan jauh dari orang tua membuatnya kadang tak punya banyak pilihan saat menghadapi kesulitan, misalnya saja, saat aplikasi programnya menemui jalan buntu.

Tempat favorit untuk sejenak melepaskan kepenatannya adalah di Warung Kopi Klotok, wisata wajib di kota gudeg. Di sana, ia merasa seperti sedang di kampung halamannya. Tidak hanya makanannya yang lezat ala pedesaan, tetapi juga suguhan panorama alam dengan sawah, petani, sungai dan seluruh ekosistem persawahan membuatnya merasa nyaman. Seringkali bahkan idenya lahir dari sini.

"Yakin kamu masih mau jadi petani? Sayang lho, ilmumu nanti tidak banyak terpakai"

Budi tersenyum mendengar pertanyaan dari temannya itu. Dengan santai justru ia balik bertanya.

"Tadi kamu kesini naik apa? Ojek online, ya? Aku tanya, ada tidak sebelumnya yang membayangkan naik ojek, pesan makanan, dan kirim barang menjadi semudah sekarang ini?"

"Aku senang punya teman sangat optimis sepertimu Bud, tapi kamu juga harus realistis. Kamu sudah baca jurnal yang semalam kukirim? Indonesia saat ini tengah menghadapi transformasi struktur ekonominya. Dalam matakuliah Regional Economics, hal ini tak dapat dielakkan."

Temannya menghela nafas. Lalu menyodorkan layar ponsel pintarnya.

"Data dari aplikasi ALLStats BPS menunjukkan, meskipun secara nominal terjadi peningkatan terhadap PDB sektor Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian, dari sekitar 754 triliun di 2010 menjadi sekitar 1.417 triliun di 2018, tapi kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia kian menurun, dari 10,99 persen menjadi hanya 9,55 persen. Hmmm..."

Temannya terhenti seperti memikirkan sesuatu. Lantas melanjutkannya.

"Kontribusi industri pengolahan juga mengalami penurunan, ya?"

Budi tersenyum, ia menggulir layar ponsel menunjukkan fakta lain.

"Nah itu, mungkin telah terjadi pergeseran struktur ekonomi Indonesia, baik dari sisi output maupun tenaga kerjanya, dari sektor pertanian ke sektor lainnya. Pertanyaannya, kemana bergesernya? Sementara kontribusi industri pengolahan juga mengalami penurunan. Bahkan lebih drastis, dari 22,04 persen menjadi 19,86 persen di periode yang sama. Aku jadi curiga akan terjadinya stunted structural transformation, yaitu kondisi dimana sektor industri tidak mampu mewadahi penuruan kontribusi sektor pertanian. Alih-alih menuju industrialisasi, justru mereka lompat dari pertanian menuju sektor jasa yang informal."

Sambil menyantap pisang goreng, Budi melanjutkan ceritanya.

"Jika benar demikian, lebih baik tetap di pertanian. Terlebih di era revolusi industri 4.0 ini, Kementrian Pertanian juga sudah banyak melakukan sentuhan teknologi informasi di sektor pertanian. Kementan berupaya agar transformasi yang terjadi adalah dari pertanian tradisional menuju pertanian modern, demi tercapainya pembangunan pertanian berkelanjutan. Bukan malah keluar dari sektor pertanian lalu bertaruh di sektor jasa informal yang bahkan memiliki produktivitas yang jauh lebih rendah"

Temannya tersenyum tipis.

"Memangnya modernisasi apa saja yang telah Kementan lakukan?"

"Banyak. Mulai proses tanam hinggu pasca panen, pertanian Indonesia sudah menerapkan Smart Farming dengan mengadopsi teknologi mutakhir untuk menjawab tuntutan revolusi industri 4.0. Contohnya, aplikasi KATAM yang membantu memperkirakan waktu tanam, rekomendasi varietas, kebutuhan pupuk, benih dan alsintan. Untuk memantaunya, ada Si Mantap yang akan memberikan informasi spasial fase perkembangan tanaman dan menentukan tindakan apa yang diperlukan.

Saat ini, traktor pun tak lagi memerlukan operator berkat kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang menciptakan autonomous tractor. Sistem pertanian di Indonesia didesain seramah mungkin terhadap kelestarian lingkungan, misalnya, dengan menerapkan smart greenhouse dan smart irrigation.

Untuk meminimalisir risiko, seperti gagal panen, ada asuransi pertanian yang pendaftarannya pun sangat mudah melalui aplikasi SIAP online. Selanjutnya, guna memerangi gejolak harga yang merugikan petani, Kementan juga meluncurkan Program Toko Tani Indonesia (TTI), program ini mirip ecommerce yang mempercepat produk pertanian berjodoh dengan konsumennya"

 

blog.umy.ac.id
blog.umy.ac.id

Temannya memperhatikan dengan seksama. Budi menurutnya adalah orang yang serius akan mimpi-mimpinya.

"Banyak sekali yaa... Kamu masih ingat kan ceritaku tentang peran penting technological improvement pada growth theory? Jika pemerintah secara konsisten memodernisasi pertanian seperti itu, produktivitas tidak hanya akan meningkat tajam, tapi juga akan berkelanjutan. Seperti yang terjadi di US pada 1909-1949 bahwa lebih dari 80 persen pertumbuhan output perjam pekerja adalah karena peran teknologi. Tapi, itu tidak mudah Bud, pasti akan ada saja tantangannya"

Budi membuka ponselnya, menunjukkan akun instagram Kementan kepada temannya.

"Betul sekali. Setelah Indonesia berhasil mencapai swasembada pada 2016, pemerintah menyusun roadmap menargetkan agar Indonesia menjadi lumbung pangan dunia di 2045. Ini tentu menjadi tantangan besar mengingat petani Indonesia didominasi usia tua. Sebenarnya hal itu sekaligus menjadi peluang besar bagi generasi milenial. Pertanian modern akan sangat diminati di masa depan, hampir satu dekade terakhir saja, jumlah mahasiswa pertanian tumbuh sekitar 64,16 persen.

Dengan ilmu pertanian, mereka akan lebih mudah meyakinkan petani akan pentingnya asuransi pertanian, misalnya. Mereka juga dapat mengembangkan potensi baru yaitu bahan bakar nabati B100 yang sudah terbukti dapat menjadi alternatif energi yang efisien. Atau dengan memanfaatkan leisure economy yang sedang booming untuk mengemas pertanian menjadi agrowisata."

http://www.julajuli.com/read/2017/09/27/903/Mini_Agrowisata_Distan_Surabaya 
http://www.julajuli.com/read/2017/09/27/903/Mini_Agrowisata_Distan_Surabaya 

Sambil memandang kearah petani yang sedang sibuk menanam padi, Budi melanjutkan ceritanya.

"Tantangan pertanian kedepan lebih banyak pada porsi inovasi, bagaimana produk pertanian dikemas dengan sangat menarik. Seperti contohnya, agrowisata tadi. Warung Kopi Klotok ini diminati banyak orang karena tidak hanya hidangannya yang lezat, tetapi suasana perdesaan dan sawah yang masih asri ini sangat manjur untuk menghilangkan kepenatan. Masyarakat tidak hanya berwisata tetapi juga menikmati dan belajar tentang pertanian. Contoh lainnya adalah seperti Museum Pertanian di Bogor, belajar pertanian tidak harus selalu di dalam ruang kelas."

"Kamu banyak tahu perkembangan pertanian, pantas saja keukeuh dengan pendirianmu ingin menjadi petani."

Budi diam beberapa saat. Menghela nafas dalam-dalam, ia utarakan alasannya ingin membangun pertanian Indonesia.

"Aku dilahirkan dari rahim ibu seorang petani, masa kecilku banyak dihabiskan di sawah. Saat ini, banyak temanku di kampung terpaksa harus putus sekolah karena himpitan ekonomi. Tidak banyak pilihan pekerjaan bagi mereka kecuali mewarisi profesi petani dari orang tuanya, sebagian lagi, menjadi kuli bongkar muat di pasar. Aku jauh lebih beruntung, mendapat beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan kuliah.

Jika aku hanya memikirkan diriku sendiri, mungkin tawaran pekerjaan sebagai tenaga IT di kota besar akan lebih menjanjikan. Tapi tidak, aku ingin membangun daerahku, sampai kapan saudaraku, temanku, dan orang-orang yang hidup di sana terjebak dalam jerat kemiskinan? Aku harus ikut andil dalam upaya penurunan tingkat kemiskinan perdesaan, mengabdikan seluruh kemampuanku untuk perbaikan di bidang pertanian. Seperti dalam teori endogenous growth, semoga ilmuku akan banyak berguna bagi kemajuan daerah."

Temannya sangat terpukau dan terharu dengan ceritanya. Budi bukanlah sembarang orang.

"Aku juga yakin, dirimu adalah human capital yang luar biasa, sementara ilmumu akan menjadi modal technological improvement untuk melengkapi input produksi seperti kapital dan tenaga kerja. Dan..."

Budi memotong ceritanya.

"Dan... Untuk membangun pertanian yang berkelanjutan, dibutuhkan juga human capital hebat yang berlatar ilmu Ekonomi Pembangunan sepertimu."

Budi sedikit gugup.

"Aku serius..."

Mata temannya berbinar-binar, senyumnya merekah. Jantungnya pun mulai berdebar-debar tak sabar menunggu kelanjutan ucapan Budi.

"Maukah kamu jadi pendamping hidupku? Melengkapiku, berjuang membangun pertanian Indonesia maju?"

"...Burung-burung pun bernyanyi, bungapun tersenyum, melihat kau hibur hatiku, hatiku mekar kembali, terhibur symphony, pasti hidupku kan bahagia..." ponsel mereka berdering bersamaan.

***

Beberapa bulan kemudian.

"Aku terima nikahnya, Ratna binti Sarwo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!"

"Saaaaahh..."

"Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya. Dan tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup" ~ BJ Habibie

***

Meskipun tokoh dan cerita di atas adalah fiktif, namun kita dapat petik pelajaran bahwa untuk memajukan pertanian Indonesia, dibutuhkan semangat dan militansi yang kuat untuk memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki. Niat yang tulus serta lebih berani mengambil resiko untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tanah Air.

Beruntung Kementan sudah begitu masiv membangun dan mengimplementasikan inovasi. Generasi milenial, apalagi yang saat ini sedang mengenyam pendidikan pertanian, adalah kunci utama keberhasilan memodernisasi pertanian demi tercapainya lumbung pangan dunia. Jika ini tercapai, otomatis pertanian Indonesia akan menjadi kiblat banyak negara, kisruh kesejahteraan petani pun tak lagi seksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun