Perang tagar yang sering terjadi di media sosial kian mengkhawatirkan. Tidak hanya meresahkan, pada kondisi tertentu dapat mengancam stabilitas perekonomian. Meski telah mereda, salah satu contoh tagar berupa ajakan netizen untuk meng-uninstall aplikasi daring pada perangkat ponselnya sempat menduduki trending topic suatu platform media sosial.Â
Polarisasi yang terjadi memperparah ajakan ini tidak hanya datang dari salah satu kubu pendukung pemerintahan, melainkan juga dibalas oleh mereka yang berseberangan. Lantas siapakah yang diuntungkan dalam kekisruhan seperti ini? Yang dirugikan, banyak.
Digitalisasi ekonomi dewasa ini tak lagi dapat dielakkan akibat tuntutan perkembangan teknologi yang terus berevolusi. Seyogyanya, ini menjadi momentum bagi Bangsa Indonesia untuk menumbuhkembangkan perekonomiannya.Â
Pasalnya, berkaca pada temuan R. Solow bahwa lebih dari 80 persen pertumbuhan output per jam pekerja pada 1909-1949 di US disumbang oleh perkembangan teknologi.Â
Tentu saja ini menjadi salah satu bukti bahwa perkembangan teknologi dapat menjadi booster pertumbuhan. Sehingga, tagar ajakan dari para netizen untuk mencopot aplikasi daring hanya akan memperparah perkembangan ekonomi digital di Indonesia, yang sebenarnya juga sedang dalam kondisi yang memprihatinkan karena beberapa sebab.
Permasalahan Ekonomi Digital di Indonesia
Salah satu hal yang mencolok adalah adanya kenaikan tarif kargo udara atau Surat Muatan Udara (SMU). Sebagai negara kepulauan, tingginya arus komoditas barang antar pulau dengan menggunakan transportasi udara adalah sebuah keniscayaan.Â
Kenaikan ini kiranya sukses membuat biaya operasional perusahaan membumbung tinggi, tidak hanya bagi perusaahan ekspedisi tetapi juga para pelaku UMKM. Dalam e-commerce, ongkos kirim adalah salah satu hal yang krusial. Konsumen akan merasa enggan berbelanja jika pada akhirnya terbebani ongkos kirim. Selain kenaikan tarif kargo, kesiapan teknologi di Indonesia pun masih sangat rendah.
Nafas ekonomi digital salah satunya adalah pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), yang saat ini masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Pada tahun 2017, International Telecommunication Union (ITU) menempatkan pembangunan TIK di Indonesia pada ranking ke-111 dari 176 negara, dan memperkirakan hampir separuh penduduknya tidak memiliki telepon gengam sendiri.Â
Fakta tersebut diamini oleh BPS yang merilis data Indeks Pembangunan TIK (IP-TIK) Indonesia hanya sebesar 4,99 dari skala 10. Capaian ini masih terbilang rendah meski dikatakan Indonesia merupakan salah satu negara dengan pembangunan TIK terpesat di dunia. Tidak berhenti di sini, kesenjangan digital antar daerah pun mencuat di Indonesia.
Kesenjangan digital antar daerah atau yang juga dikenal digital divide sudah cukup serius terjadi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa pembangunan TIK di DKI Jakarta, misalnya, secara signifikan jauh meninggalkan provinsi lainnya.Â