Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reinkarnasi Subjek Politik

13 November 2024   11:40 Diperbarui: 13 November 2024   11:43 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: arahkita.com

(Rasional-Emosional)

Sebab Politik adalah ketrampilan menyusun, mengemas, dan memoles dusta.-HS-

Saat ini kita hidup di tengah-tengah Masyrakat yang disruptif, penuh dengan pseudo-simbol.  Mulai dari ranah privat sampai ranah publik, mulai dari ranah eksklusif sampai ranah populer. Ambil contoh populisme environmentalis. 

Mereka mulai mendebat tradisi dan kebiasan orang-orang yang bertentangan dengan ideologi mereka, mulai mencacati persoalan nasi putih dengan nasi merah, pengurangan penggunaan sedotan, buah organik, plastik dan sintetis, rekayasa kimiawi, dan lain sebagainya.

 Hal-hal yang berbau alami dianggap sebagai yang baik. Masalahnya, ini menjelaskan bagaimana masyarakat sebenarnya tidak membicarakan kebaikan atau keburukan dari perdebatan tersebut, melainkan masuk ke dalam jejaring populisme.

Perlu diketahui, salah satu dalil hasrat adalah bahwa ia ada sebagai manifestasi dari hasrat orang yang lain. Artinya, kita akan menghasrati apa yang dihasrati oleh orang lain. Adapun manfaat serta esensi dan makna di baliknya hanyalah bumbu penyedap untuk menegaskan bahwa kita menghasrati sesuatu yang benar atau baik untuk diri kita. Masalahnya lagi,masyarakat seakan tidak menyadari bahwa ada sosok yang me[manfaat]kan dan mengeruk keuntungan di balik idealisme tersebut [kapitalisme].

Tatanan sosial yang kita yakini, seperti demokrasi liberalisme, HAM, dan lain sebagainya selalu digembok oleh oknum-oknum yang mengeruk keuntungan dan menancapkan paku kekuasaannya. Di balik dekorasi indah demokrasi dan kebebasan atau liberalisme, kekuatan kelompok yang bermodal menjadi duri dalam daging bagi kelompok yang [nir modal]. Sistem kebebasan akhirnya melapuk dan menempel pada dominasi, hegemoni, dan kekuasaan kapitalisme. 

Dengan ini, bukan hal yang mengherankan jika Paradoksnya, kita sering mengendus nuansa komunisme di berbagai aspek kehidupan bernegara, seperti pasal keadilan sosial bagi seluruh rakyat, tematisasi gotong-royong, pendisiplinan seragam dalam bersekolah, simpatisasi kebencian akan kesenjangan ekonomi masyarakat, dan lain sebagainya.

 Jika kita kalkulasikan, itu semua adalah nomenklatur dalam ideologi [komunis]me dan [sosial]isme. Masalahnya, mengapa kita membenci istilah tersebut, namun memberikan ruang dalam praktiknya. ? 

Kita Belajar dari Mereka

Dulu, Jokowi pernah belajar dari Ganjar, (menggandeng) ulama untuk menggaet pemilih potensial-rasional.
Prabowo juga pernah belajar dari Khofifah, 2 kali kalah telak namun gak pernah menyerah. Khofifah belajar dari Anis, berawal dari Tim Sukses ujung-ujungnya hanya berakhir manis. Dan Anies belajar dari Jokowi, untuk menjadi kontestan harus siap untuk dicaci maki.

Mereka terus belajar sampai menciptakan perubahan. Sementara para simpatisan dan Timses, masih saling mencaci sambil rebahan. Padahal dalam kancah politik, kita seringkali melihat para politisi dan tim sukses berperan sebagai cahaya yang menerangi jalan masyarakat. Kendati mereka kerap kali berubah menjadi bayang-bayang gelap yang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri. 

Sosok yang seharusnya menjadi teladan moral politik,  malah justru terperangkap dalam jebakan pragmatisme dangkal, ibaratnya serigala berbulu domba yang hanya sekadar memainkan peran tanpa substansi. Maka pendidikan politik sudah harus menjadi pilar untuk mencerdaskan itu.

Kini saatnya untuk menjalankan politik yang rasional dan fungsional, dalam arti mengurus kepentingan bersama yaitu: kesejahteraan, keadilan dan demokrasi. Wacana politik baru harus dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Islam.

 Politik baru yang mempertimbangkan perubahan-perubahan sosiologis harus dimulai. Kalau tidak, akan terjadi kesenjangan antara institusi dan basis sosialnya. Indonesia bukan lagi lahan bagi persekongkolan politik kaum elite. Memulai tradisi politik baru memang tidak mudah, akan ada kekuatan-kekuatan yang mencoba mengambil dasar-dasar politik lama. (Kuntowijoyo, Kiblat Baru Politik Kaum Santri, Hal, 1992;24) 

Politik Devide Et Impera

Apa itu devide et impera ? 

Sederhananya, politik pecah belah atau politik (adu domba). Devide et impera merupakan perpaduan strategi politik, militer, ekonomi, guna merebut ataupun mempertahankan kekuasaan. 

Jadi Strategi politik "devide et impera" kini masih di digulirkan secara masif,Demi apa? demi mendapatkan kue kekuasaan yang rakus akan penghormatan dan jabatan. Jadi konflik itu dibangun secara Terstruktur Sistematis dan Masif(TSM) sebagai penguatan anti persaudaraan, memecah belah persatuan yg pada akhirnya memicu Perseturuan. 

Tidak peduli kawan atau lawan, jadi siapapun yang berpotensi menjadi penghalang, mereka akan siap disingkirkan, menjadi tumbal keikutsertaan atas kenikmatan pemuja kekuasaan, jabatan, dan pula kekayaan.

Politik pecah belah atau politik adu domba, berarti adanya upaya menciptakan perpecahan terhadap kelompok mayoritas menjadi kelompok-kelompok minoritas, agar apa? Agar lebih mudah untuk ditundukkan. Wallahu bissawaf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun