Dulu, Jokowi pernah belajar dari Ganjar, (menggandeng) ulama untuk menggaet pemilih potensial-rasional.
Prabowo juga pernah belajar dari Khofifah, 2 kali kalah telak namun gak pernah menyerah. Khofifah belajar dari Anis, berawal dari Tim Sukses ujung-ujungnya hanya berakhir manis. Dan Anies belajar dari Jokowi, untuk menjadi kontestan harus siap untuk dicaci maki.
Mereka terus belajar sampai menciptakan perubahan. Sementara para simpatisan dan Timses, masih saling mencaci sambil rebahan. Padahal dalam kancah politik, kita seringkali melihat para politisi dan tim sukses berperan sebagai cahaya yang menerangi jalan masyarakat. Kendati mereka kerap kali berubah menjadi bayang-bayang gelap yang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri.Â
Sosok yang seharusnya menjadi teladan moral politik, Â malah justru terperangkap dalam jebakan pragmatisme dangkal, ibaratnya serigala berbulu domba yang hanya sekadar memainkan peran tanpa substansi. Maka pendidikan politik sudah harus menjadi pilar untuk mencerdaskan itu.
Kini saatnya untuk menjalankan politik yang rasional dan fungsional, dalam arti mengurus kepentingan bersama yaitu: kesejahteraan, keadilan dan demokrasi. Wacana politik baru harus dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Islam.
 Politik baru yang mempertimbangkan perubahan-perubahan sosiologis harus dimulai. Kalau tidak, akan terjadi kesenjangan antara institusi dan basis sosialnya. Indonesia bukan lagi lahan bagi persekongkolan politik kaum elite. Memulai tradisi politik baru memang tidak mudah, akan ada kekuatan-kekuatan yang mencoba mengambil dasar-dasar politik lama. (Kuntowijoyo, Kiblat Baru Politik Kaum Santri, Hal, 1992;24)Â
Politik Devide Et Impera
Apa itu devide et impera ?Â
Sederhananya, politik pecah belah atau politik (adu domba). Devide et impera merupakan perpaduan strategi politik, militer, ekonomi, guna merebut ataupun mempertahankan kekuasaan.Â
Jadi Strategi politik "devide et impera" kini masih di digulirkan secara masif,Demi apa? demi mendapatkan kue kekuasaan yang rakus akan penghormatan dan jabatan. Jadi konflik itu dibangun secara Terstruktur Sistematis dan Masif(TSM) sebagai penguatan anti persaudaraan, memecah belah persatuan yg pada akhirnya memicu Perseturuan.Â
Tidak peduli kawan atau lawan, jadi siapapun yang berpotensi menjadi penghalang, mereka akan siap disingkirkan, menjadi tumbal keikutsertaan atas kenikmatan pemuja kekuasaan, jabatan, dan pula kekayaan.
Politik pecah belah atau politik adu domba, berarti adanya upaya menciptakan perpecahan terhadap kelompok mayoritas menjadi kelompok-kelompok minoritas, agar apa? Agar lebih mudah untuk ditundukkan. Wallahu bissawaf.