Dwipayana (2009) menyampaikan bahwa politik biaya tinggi dalam perhelatan pilkada langsung ini adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang yang akan maju dan bertarung dalam proses pencalonan kepala daerah langsung. Dana tak kurang dari 7 hingga 8 milyar rupiah dibutuhkan untuk keperluan "tiket" masuk ke partai,kampanye, syukuran, dan lain-lain (Dwipayana, 2009).
Lambat laun proses tersebut menjadi sebuah kewajaran sehingga politik uang menjadi kawan seperjalanan paling setia dalam proses demokrasi. Lemahnya kaderisasi partai sebagai akibat pragmatisme tersebut juga semakin memperparah kondisi tersebut dimana dinamika kepartaian dikalahkan dengan kesediaan kader dalam "membakar uang" dalamkontestasi demokrasi (Trijono, 2011). Dibutuhkan kader-kader dengan finansial mencukupiu ntuk dicalonkan dan berani bertarung serta mendulang suara.Â
Proses politik menjadi semakin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional denganpartai (Muhtadi, 2019). Dengan demikian patronase akan selalu mendapatkan keuntungan dengan berbekal keistimewaan identitas dan kekuatan finansialnya (Ansyari, Harsasto, & Fitriyah, 2019).
Kompetisi politik dengan biaya tinggi seperti Pilkada langsung membuat kontestan berpikir ulang untuk turun gelanggang. Seperti disampaikan Muhtadi (2019) bahwa braktik politik patron klien banyak terjadi pada negara ketiga dengan kualitas demokrasi masih didominasi dengan politik uang dan keistimewaan kalangan tertentu (Muhtadi,2019). Semakin sedikit kontestan yang bertarung maka semakin sedikit pula preferensi masyarakat untuk memilih.Â
Berdasarkan data yang diperoleh dari website KPUD dapat diketahui bahwa tingkat keikutsertaan publik berkisar 62% dari keseluruhan total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Kemenangan mutlak yang diperoleh petahana sudah terprediksi dari awal, bahkan dalam beberapa catatan media tim sukses mentargetkan perolehan suara 95 % secara keseluruhan. Meskipun tidak mencapai target yang dicanangkan tetapi kemenangan dengan angka 86,4% dapat diasumsikan bahwa, dukungan publik sangatlah tinggi.
 Akumulasi suara pemilih yang dominan ini merepresentasikan partisipasi politik dalam pemilu, yang juga dikaitkan dengan derajat kepercayaan warga negara pada demokrasi, sistem politik, sistem pemilu, penyelenggara pemilu dan hasil pemilu itu sendiri (Fitriyah, Alfirdaus, & Manar, 2021).
Tingginya dukungan publik yang tercermin dari perolehan suara serta dukungan. Memang kita akui bahwa demokrasi yang sekarang masih sangat jauh dari harapan kita. Dengan demikian demokrasi yang kita hadapi sekrang ini tidaklah berpihak kepada rakyat lemah tetapi berpihak kepada pejabat yang mempunyai kekuasaan ini terbukti yang sekarang ini dimana Negara kita mengalami bencana yang bertubi-tubi, dan hal inilah sebagai bukti bahwa, demokrasi yang kita cita-citakan kini masih jauh dari harapan kita semua. Alhasil pemilu yang tidak berkualitas menyebabkan tidak adanya'trust societyÂ
(Tidak ada kepercayaan masyarakat) terhadap para pemimpin. Dan hasil pemilu yang tidak ada 'trust'dari masyarakat kini memunculkan oligarki yang membajak kedaulatan rakyat.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI