Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkada 2024 Sebagai Arena Transaksi -Negosiasi

13 September 2024   01:12 Diperbarui: 13 September 2024   01:15 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Epaper Media Indonesia.

"Jalan panjang yang harus dilewati oleh calon kepala daerah dalam pilkada langsung ternyata tidak menyurutkan minat kader partai dan peserta nonkader partai menjadi bakal calon gubernur, bupati, dan walikota". Mereka mengikuti penjaringan dan penyaringan vang dilakukan oleh partai untuk memproleh rekomendasi dari partai.

Fenomena ini menunjukkan bahwa gubernur, bupati, dan walikota adalah jabatan publik yang memiliki daya tarik bagi banyak kalangan untuk mengikuti proses seleksi sebagai bakal calon, seperti kader partai, profesional, akademisi, pengusaha, pensiunan TNI/Polri, tokoh masyarakat, serta tokoh agama.

 Banyaknya bakal calon kepala daerah dari latar belakang yang beragam dapat menjadi petanda bahwa pilkada langsung memiliki prospek yang positif di masa depan. Pilkada langsung sebagai pesta demokrasi rakyat dapat menyajikan pengertian dan pelajaran tentang pengorganisasian demokrasi. Menurut Meyer (2003), otonomi daerah mempunyai unsur penting dalam pengorganisasian demokrasi. 

Dalam perspektif politik, otonomi daerah sebagai kebijakan desentralisasi dan demokratisasi harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah.

Matinya Integritas.

Integritas adalah sikap atau perilaku yang benar, jujur dan adil. Artinya orang yang berintegritas harus benar, jujur dan adil terhadap diri dan orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu, integritas adalah suatu keniscayaan, sebab tanpa penyelenggara, elite politik dan peserta
pemilu yang berintegritas, maka hasil pemilu tidak berkualitas.

Pemilu yang berintegritas adalah sarana dimana rakyat memberikan amanah kepada para pemimpin yang berdaulat bukan para pemimpin yang dipilih oleh rakyat, tetapi rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Sebab, Pemilu yang berintegritas akan menghasilkan kualitas pemimpin yang baik pula. Namun temuan dalam berbagai riset menunjukkan adanya keterputusan elektoral antara pemilih dan yang dipilih. 

Tidak ada hubungan antara pemilih dan pemimpin yang dipilih atau telah terjadi keterputusan elektoral. Dengan kata lain.
electoral integrity." Electoral Studies 32.4 (2013): 563-575.


Oligarki adalah bentuk pemerintahan (pemilu) yang kekuasaan politiknya
secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan
menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa
Yunani untuk "sedikit" dan"memerintah" pada praktiknya, kontestasi demokrasi yang dihelat dalam bentuk Pilkada langsung semakin tidak terjangkau oleh masyarakat umum. 

Akses pada kekuasaan hanya dapat digapai oleh kaum dengan kemampuan finansial diatas rata-rata karena biaya politik yang semakin mahal (Rosenberg & Rocek, 2019). Biaya politik yang semakin mahal tidak dapat dilepaskan dari proses pragmatisme dan oportunisme yang dibangun elite politik pasca reformasi dimana mekanisme kekuasaan diberikan kepada mekanisme pasar (Haryanto,2017). 

Dwipayana (2009) menyampaikan bahwa politik biaya tinggi dalam perhelatan pilkada langsung ini adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang yang akan maju dan bertarung dalam proses pencalonan kepala daerah langsung. Dana tak kurang dari 7 hingga 8 milyar rupiah dibutuhkan untuk keperluan "tiket" masuk ke partai,kampanye, syukuran, dan lain-lain (Dwipayana, 2009).

Lambat laun proses tersebut menjadi sebuah kewajaran sehingga politik uang menjadi kawan seperjalanan paling setia dalam proses demokrasi. Lemahnya kaderisasi partai sebagai akibat pragmatisme tersebut juga semakin memperparah kondisi tersebut dimana dinamika kepartaian dikalahkan dengan kesediaan kader dalam "membakar uang" dalamkontestasi demokrasi (Trijono, 2011). Dibutuhkan kader-kader dengan finansial mencukupiu ntuk dicalonkan dan berani bertarung serta mendulang suara. 

Proses politik menjadi semakin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional denganpartai (Muhtadi, 2019). Dengan demikian patronase akan selalu mendapatkan keuntungan dengan berbekal keistimewaan identitas dan kekuatan finansialnya (Ansyari, Harsasto, & Fitriyah, 2019).

Kompetisi politik dengan biaya tinggi seperti Pilkada langsung membuat kontestan berpikir ulang untuk turun gelanggang.  Seperti disampaikan Muhtadi (2019) bahwa braktik politik patron klien banyak terjadi pada negara ketiga dengan kualitas demokrasi masih didominasi dengan politik uang dan keistimewaan kalangan tertentu (Muhtadi,2019). Semakin sedikit kontestan yang bertarung maka semakin sedikit pula preferensi masyarakat untuk memilih. 

Berdasarkan data yang diperoleh dari website KPUD dapat diketahui bahwa tingkat keikutsertaan publik berkisar 62% dari keseluruhan total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Kemenangan mutlak yang diperoleh petahana sudah terprediksi dari awal, bahkan dalam beberapa catatan media tim sukses mentargetkan perolehan suara 95 % secara keseluruhan. Meskipun tidak mencapai target yang dicanangkan tetapi kemenangan dengan angka 86,4% dapat diasumsikan bahwa, dukungan publik sangatlah tinggi.

 Akumulasi suara pemilih yang dominan ini merepresentasikan partisipasi politik dalam pemilu, yang juga dikaitkan dengan derajat kepercayaan warga negara pada demokrasi, sistem politik, sistem pemilu, penyelenggara pemilu dan hasil pemilu itu sendiri (Fitriyah, Alfirdaus, & Manar, 2021).

Tingginya dukungan publik yang tercermin dari perolehan suara serta dukungan. Memang kita akui bahwa demokrasi yang sekarang masih sangat jauh dari harapan kita. Dengan demikian demokrasi yang kita hadapi sekrang ini tidaklah berpihak kepada rakyat lemah tetapi berpihak kepada pejabat yang mempunyai kekuasaan ini terbukti yang sekarang ini dimana Negara kita mengalami bencana yang bertubi-tubi, dan hal inilah sebagai bukti bahwa, demokrasi yang kita cita-citakan kini masih jauh dari harapan kita semua. Alhasil pemilu yang tidak berkualitas menyebabkan tidak adanya'trust society 

(Tidak ada kepercayaan masyarakat) terhadap para pemimpin. Dan hasil pemilu yang tidak ada 'trust'dari masyarakat kini memunculkan oligarki yang membajak kedaulatan rakyat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun