Jika di tengah obrolan warung kopi, bahasa Inggris terselip halus. kadang mencuat menciptakan senyum simpul di wajah-wajah yang mendengarnya. Dengan sebutan "Hello," "Thank you," "Sorry," kata-kata sederhana yang mengikat kita dalam jalinan pada dunia yang penuh intrik.Â
Mungkin di antara para pemikir ada yang ketika duduk diwarung kopi mengangkat isu-isu politik, Judi Online, Slot, Pinjol, dan yang lainnya membahas esensi kebaikan. Namun, di antara semua itu, aku terus bertanya pada diriku sendiri: apakah yang benar-benar ku ketahui?
Di antara adzan maghrib yang berkumandang,dijalan kota Yogyakarta. Seorang tetua berkulit gelap terdiam lesu dan tampak dalam kebingungan.Â
Barang jajakannya dalam sehari belum juga usai terjual. Di sana, suara mesin kendaraan lalu-lalang, bercampur dengan suara bapak sopir bus yang memanggil-manggil penumpang.
Di dunia yang penuh dengan pertanyaan dan pengetahuan,Â
Di trotoar jalan itu,saya pun menghampirinya lalau dengan penuh rasaibah saya pun membeli dagangannya itu,lalu duduk disekitar jualannya itu, disaat yang sama,ia pun ikut duduk sembari bertanya.Â
Ia bercerita tentang  pendapatan dalam kesehariannya. Sementara saya mendengarkan dengan telinga yang terbuka,namun hati juga ikut terluka.Â
Obrolan di trotoar jalan itu, ada getar-getar kehidupan yang menyelinap, mengungkapkan kepekaan yang tersembunyi di balik senyumnya yang kalem. Siapakah dia ?
Dia adalah salah satu pedagang asongan, sang pejuang jalanan. Dan dia adalah salah satu diantara kelompok orang yang kini semakin terpental.Â
Pedagang asongan merujuk pada pedagang yang menjajakan makanan ringan dan sebagainya di dalam kendaraan umum, di trotoar jalan, dan lainnya dengan membawa keranjang, tas, atau di atas alat beroda seperti sepeda dan juga gerobak.
Para pedagang asongan kini menunggui dagangan. Begitu pun tukang ojek, siaga mengantarkan siapa pun ke tempat mana pun, dengan tarif yang dapat dikompromikan. Mereka kelimun yang lalu lalang dengan berbagai maksud dan tujuan.
Jika kenaikan cukai dipaksakan,maka pendapatannya akan semakin terdegradasi, begitupun eksistensi-nya yang kian terancam. Padahal dia dan mereka adalah sebagai ujung tombak (mata rantai) distribusi tembakau sebagai penopang hajat jutaan rakyat. Namun pada kondisi tertntu mereka yang teresklusi dari lingkaran, diluputkan dari perbincangan public sphere (ruang publik).
Padahal, mereka adalah representasi atas subjek sebagaimana dalam tesis Giorgio Agamben "Homo Sacer" dalam mata rantai industri negara. Tapi seolah-olah mereka terasing, terancam, dan bahkan terabaikan pula.
Pun begitu, dalam buku yang bertajuk "Demokrasi dan Kedaruratan", Agamben dengan gamblang menjelaskan bahwa 'protagonis' dalam negara demokrasi modern bukan warga negara sebagai subyek yang otonom (bebas) dan terlibat dalam dialektika kekuasaan, melainkan individu yang 'terlantar' sebagai gambaran dari realitas kehidupan yang 'telanjang.Â
Karena memang  "Homo sacer" itu terjadi, manakala suatu negara telah menangguhkan hak pada subjek atau suatu kelompok atas sebuah alasan tertentu, yang kemudian, homo sacer ini menghasilkan bare-life (hidup telanjang) subjek alami yang terlepas dari hak-haknya dalam bidang politik,sosial dan lainnya.
Disaat yang sama, Agamben menilai situasi pandemi ini ditangani secara berlebihan dan irasional. Ia menganggap keadaan genting ini sebagai kesempatan pemerintah melegitimasi keadaan darurat (state of exception). Agamben mendiagnosa keberadaan praktik pengendalian pemerintahan negara atas tubuh warga negara sebagai 'paradigma biopolitik modern'.Â
Pendapat publik filsuf Italia ini mengundang refleksi bagi para akademisi, tetapi tidak kurang pula menuai kritikan pedas yang menyebut opini ini sebagai "omelan orang tua berbahaya".Â
Dasar pemikiran Agamben hendaknya tidak serta merta diterima sebagai konspirasi adalah lebih baik untuk menyimak dasar filosofis di balik pandangan Agamben. Salah satu gagasan orisinal filosofis Agamben yang berkaitan dengan hal ini ialah Homo Sacer.
Maka disinilah  diakui atau tidak, kehadiran mereka memang dibutuhkan. Dengan berdagang di trotoar jalan, atau pun ditengah kerumunan massa, mereka juga dapat keuntungan yang lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa. Apalagi disaat-saat ketika ada demonstrasi.Â
Dan bagi mereka bahwa, demonstrasi dan sebagainya, bukan hanya momen untuk menyampaikan aspirasi, melainkan juga ladang penghasilan bagi mereka.Â
Klise memang, kekacauan seperti ini justru jadi kesempatan meraih penghasilan. Belum lagi, risiko bahaya yang terpaksa diabaikan demi sesuap nasi untuk keluarga.Namun yang salah siapa? Sebaiknya jawaban pertanyaan ini kiranya menjadi renungan pihak-pihak yang bersangkutan. Pihak yang melanggengkan sistem-sistem bobrok sehingga mendorong rakyat kecil hidup di tengah kekacauan.
Meski eksistensi mereka gamang,terancam dan tidak ada keberpihakan  dalam ruang publik dan sebagainya. Olehnya itu,jika kehadiran mereka dianggap mengganggu jalanan dan sebagainya. Maka pemerintah setidaknya perlu menyediakan ruang atau tempat yang aman dan layakbagi mereka, agar pun bisa berjualan dengan tertip.****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H