Para pedagang asongan kini menunggui dagangan. Begitu pun tukang ojek, siaga mengantarkan siapa pun ke tempat mana pun, dengan tarif yang dapat dikompromikan. Mereka kelimun yang lalu lalang dengan berbagai maksud dan tujuan.
Jika kenaikan cukai dipaksakan,maka pendapatannya akan semakin terdegradasi, begitupun eksistensi-nya yang kian terancam. Padahal dia dan mereka adalah sebagai ujung tombak (mata rantai) distribusi tembakau sebagai penopang hajat jutaan rakyat. Namun pada kondisi tertntu mereka yang teresklusi dari lingkaran, diluputkan dari perbincangan public sphere (ruang publik).
Padahal, mereka adalah representasi atas subjek sebagaimana dalam tesis Giorgio Agamben "Homo Sacer" dalam mata rantai industri negara. Tapi seolah-olah mereka terasing, terancam, dan bahkan terabaikan pula.
Pun begitu, dalam buku yang bertajuk "Demokrasi dan Kedaruratan", Agamben dengan gamblang menjelaskan bahwa 'protagonis' dalam negara demokrasi modern bukan warga negara sebagai subyek yang otonom (bebas) dan terlibat dalam dialektika kekuasaan, melainkan individu yang 'terlantar' sebagai gambaran dari realitas kehidupan yang 'telanjang.Â
Karena memang  "Homo sacer" itu terjadi, manakala suatu negara telah menangguhkan hak pada subjek atau suatu kelompok atas sebuah alasan tertentu, yang kemudian, homo sacer ini menghasilkan bare-life (hidup telanjang) subjek alami yang terlepas dari hak-haknya dalam bidang politik,sosial dan lainnya.
Disaat yang sama, Agamben menilai situasi pandemi ini ditangani secara berlebihan dan irasional. Ia menganggap keadaan genting ini sebagai kesempatan pemerintah melegitimasi keadaan darurat (state of exception). Agamben mendiagnosa keberadaan praktik pengendalian pemerintahan negara atas tubuh warga negara sebagai 'paradigma biopolitik modern'.Â
Pendapat publik filsuf Italia ini mengundang refleksi bagi para akademisi, tetapi tidak kurang pula menuai kritikan pedas yang menyebut opini ini sebagai "omelan orang tua berbahaya".Â
Dasar pemikiran Agamben hendaknya tidak serta merta diterima sebagai konspirasi adalah lebih baik untuk menyimak dasar filosofis di balik pandangan Agamben. Salah satu gagasan orisinal filosofis Agamben yang berkaitan dengan hal ini ialah Homo Sacer.
Maka disinilah  diakui atau tidak, kehadiran mereka memang dibutuhkan. Dengan berdagang di trotoar jalan, atau pun ditengah kerumunan massa, mereka juga dapat keuntungan yang lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa. Apalagi disaat-saat ketika ada demonstrasi.Â
Dan bagi mereka bahwa, demonstrasi dan sebagainya, bukan hanya momen untuk menyampaikan aspirasi, melainkan juga ladang penghasilan bagi mereka.Â
Klise memang, kekacauan seperti ini justru jadi kesempatan meraih penghasilan. Belum lagi, risiko bahaya yang terpaksa diabaikan demi sesuap nasi untuk keluarga.Namun yang salah siapa? Sebaiknya jawaban pertanyaan ini kiranya menjadi renungan pihak-pihak yang bersangkutan. Pihak yang melanggengkan sistem-sistem bobrok sehingga mendorong rakyat kecil hidup di tengah kekacauan.