Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dikotomi, Tubuh Kekuasaan Secara Telanjang

1 Juli 2024   21:07 Diperbarui: 1 Juli 2024   21:11 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Indonesia News.id

Homo sacer terjadi, manakala suatu negara telah menangguhkan hak pada subjek atau suatu kelompok atas sebuah alasan tertentu, yang kemudian, homo sacer ini menghasilkan bare life, subjek alami yang terlepas dari hak-haknya dalam bidang politik. Homo sacer sendiri ialah tokoh dalam cerita Roma yang dikisahkan sebagai manusia yang dapat dibunuh tapi tidak dapat dikorbankan (Agamben, 1995: 47).

Demokrasi dan Kedaruratan.

Pemikiran radikal filsuf Italia Giorgio Agamben semakin mengemuka belakangan karena dipandang relevan untuk menjelaskan situasi dunia kontemporer semisal krisis pengungsi global, diskriminasi yang dialami imigran, perang sepihak melawan terorisme. Pemikirannya tentang state of exception (keadaan-darurat atau keadaan-perkecualian) serta homo sacer (manusia yang bisa dikorbankan dengan impunitas) membongkar politik yang selama ini kita pahami dan menunjukkan bagaimana di balik sistem demokrasi pun masih bersemayam suatu kekuasaan-berdaulat yang merupakan kesinambungan dari kekuasaan pada era otoritarian. Kerja filsafat Agamben berguna bagi siapa pun yang mempertanyakan kelembagaan sosial-politik-hukum yang melingkupi masyarakat. Agus Sudibyo | Marjin Kiri 2019;326.

Ketika Ernst Kantorowicz mempublikasikan buku The King's Two Bodies: A Study in Medieval Political Theology di Amerika Serikat (AS) pada paruh akhir tahun 1950-an, buku itu diterima dengan penuh sambutan bukan hanya oleh para ahli Abad Pertengahan, tetapi juga terutama oleh para sejarawan zaman modern dan para peneliti ilmu politik serta teori negara. Buku itu, tidak diragukan lagi, merupakan sebuah karya agung di antara jenisnya, dan konsep yang diajukannya tentang "tubuh mistik" dan tubuh politik" penguasa tertinggi menjadi sebuah "tonggak sejarah dalam sejarah perkembangan negara modern-seperti yang disaksikan oleh murid paling cemerlang Kantorowicz, R. E. Giesey, beberapa tahun kemudian (Giesey, Crmonial, Tanpa Tahun: 9). Tetapi, dukungan yang sangat besar dalam sebuah bidang yang rumit itu pun membuat orang berpikir.

Dalam pengantarnya, Kantorowicz mencatat bahwa buku Itu telah jauh melampaui maksud pertama periulisnya dan juga sudah mengubah dirinya menjadi suatu "studi tentang teologi politik Abad Pertengahan", sebagaimana yang dikatakan sub judulnya. Padahal, buku itu lahir sebagai penelitian atas preseden- preseden Abad Pertengahan mengenai doktrin yuridis dua tubuh raja.


 Kantorowicz menjalani dan sungguh ambil bagian dalam urusan politik di Jerman tahun 1920-an. Ia berjuang bersama kaum nasionalis dalam Pemberontakan Spartakis di Berlim dan dalam Republik Dewan di Munich. la tidak mungkin keliru dengan apa yang dimaksudnya dengan sebutan "teologi politik, dan bersama Schmitt, pada tahun 1922, ia menempat kan teori kekuasaan tertingginya di bawah teologi politik

Tiga puluh lima tahun kemudian, Naziisme menimbulkan luka yang tak tersembuhkan dalam hidupnya sebagai seorang Yahudiasmiliasi, sehingga Kantorowicz kembali mempertanya kan "mitos negara dari perspektif yang seutuhnya berbeda Sebab, pada waktu muda, ia memegang teguh mitos negara.

Dengan penolakan hebat, pengantar buku itu memperingatkan (King's Two Bodies) Dalam buku yang ditulis, "Demokrasi dan Kedaruratan", Agamben dengan gamblang menjelaskan bahwa 'protagonis' dalam negara demokrasi modern bukan warga negara sebagai subyek yang otonom, bebas, dan terlibat dalam dialektika kekuasaan, melainkan individu yang 'terlantar' sebagai gambaran dari realitas kehidupan yang 'telanjang.

Kekuasaan Negara Dalam Kehidupan Telanjang.

Dalam membaca tesis Foucault tentang (biopolitik), yang di dalam kehidupan manusia. Menjadi target kekuasaan (organisasi)onal negara. Maka dari situlah Agamben pun berpendapat bahwa, tentunya ada suatu_(ikatan tersembunyi) antara : kekuasaan dan_(biopolitik) yang dibentuk dengan pijakan kekuasaan tertinggi negara. 

Disaat yg sama, Giorgio Agamben pun memulai sebuah kerja (pembacaan ulang) atas tradisi politik Barat dan berusaha meng(urai)kan beberapa stigma yang dimunculkan di abad ke-20.  

Homo Saccer (Kekuasaan Tertinggi) Kehidupan Telanjang bagi nalar sejarah. Tokoh besar filsafat kontemporer tersebut itu telah mengembangkan selama 20 tahun sebuah proyek intelektual tentang homo sacer.

Dalam hukum Romawi, homo sacer adalah orang yang identitas (yuridis)nya sudah dilucuti dan ia boleh dibun*h tanpa dampak hukum. Disaat yang sama, "Homo sacer" terjadi, manakala suatu negara telah menangguhkan hak pada subjek atau suatu kelompok atas sebuah alasan tertentu, yang kemudian, homo sacer ini menghasilkan bare life, subjek alami yang terlepas dari hak-haknya dalam bidang politik. 

Homo sacer sendiri ialah tokoh dalam cerita Roma yang dikisahkan sebagai manusia yang dapat dibunuh tapi tidak dapat dikorbankan (Agamben, 1995: 47). Hal lainnya seperti film dokumenter "Dirty Vote" persisnya eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini adalah para pakar Hukum tata negara yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu  2024 sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di hadapan rakyat demi mempertahankan status quo. Tentu saja penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya sebagaimana telah terurai dengan analisa hukum tata negara. Dari Film "DIRTY VOTE" tersebut menggaungkan dan pula mengungkapkan bagaimana (kedok) kecurangan Pemilu 2024 telah didesain secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dan melalui proses yang cacat etik serta moral. 

Padahal pemilu merupakan prosedur demokrasi untuk memilih pemimpin. Di yakini pada sebagaian besar masyarakat beradab  adalah bagaimana menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, bahwa Pemilu adalah mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi) yang paling aman, bila dibanding dengan cara-cara lain. (Nur Hidayat Sardini 2011:1).

Keadaban adalah kode perilaku dan interaksi interpersonal yang tepat atau pantas di ruang publik (Balibar, 2016). 

Padahal (incivility) adalah pelanggaran terhadap kode-kode perilaku publik, yang di- tunjukkan oleh hilangnya rasa hormat, (respek) dan penghargaan terhadap pihak lain; oleh perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang dan bahkan  pembunuhan karakter.

Namun tampaknya tak ada kajian mendalam, deliberasi publik, dan uji publik terstruktur sistematis dan masif untuk mengantisipasi segala kerangka otoritas yang dipunya. Alih-alih dikotomi kekuasaan  kini dipertontonkan secara telanjang.  Jadi aneka kegaduhan, perseteruan, dan permusuhan kian berujung bahwa, polarisasi di pilpres 2024 adalah  bukti gagalnya proses demokratisasi di indonesia hari ini.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun