Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dikotomi, Tubuh Kekuasaan Secara Telanjang

1 Juli 2024   21:07 Diperbarui: 1 Juli 2024   21:11 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Indonesia News.id

Disaat yg sama, Giorgio Agamben pun memulai sebuah kerja (pembacaan ulang) atas tradisi politik Barat dan berusaha meng(urai)kan beberapa stigma yang dimunculkan di abad ke-20.  

Homo Saccer (Kekuasaan Tertinggi) Kehidupan Telanjang bagi nalar sejarah. Tokoh besar filsafat kontemporer tersebut itu telah mengembangkan selama 20 tahun sebuah proyek intelektual tentang homo sacer.

Dalam hukum Romawi, homo sacer adalah orang yang identitas (yuridis)nya sudah dilucuti dan ia boleh dibun*h tanpa dampak hukum. Disaat yang sama, "Homo sacer" terjadi, manakala suatu negara telah menangguhkan hak pada subjek atau suatu kelompok atas sebuah alasan tertentu, yang kemudian, homo sacer ini menghasilkan bare life, subjek alami yang terlepas dari hak-haknya dalam bidang politik. 

Homo sacer sendiri ialah tokoh dalam cerita Roma yang dikisahkan sebagai manusia yang dapat dibunuh tapi tidak dapat dikorbankan (Agamben, 1995: 47). Hal lainnya seperti film dokumenter "Dirty Vote" persisnya eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini adalah para pakar Hukum tata negara yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu  2024 sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di hadapan rakyat demi mempertahankan status quo. Tentu saja penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya sebagaimana telah terurai dengan analisa hukum tata negara. Dari Film "DIRTY VOTE" tersebut menggaungkan dan pula mengungkapkan bagaimana (kedok) kecurangan Pemilu 2024 telah didesain secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dan melalui proses yang cacat etik serta moral. 

Padahal pemilu merupakan prosedur demokrasi untuk memilih pemimpin. Di yakini pada sebagaian besar masyarakat beradab  adalah bagaimana menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, bahwa Pemilu adalah mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi) yang paling aman, bila dibanding dengan cara-cara lain. (Nur Hidayat Sardini 2011:1).


Keadaban adalah kode perilaku dan interaksi interpersonal yang tepat atau pantas di ruang publik (Balibar, 2016). 

Padahal (incivility) adalah pelanggaran terhadap kode-kode perilaku publik, yang di- tunjukkan oleh hilangnya rasa hormat, (respek) dan penghargaan terhadap pihak lain; oleh perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang dan bahkan  pembunuhan karakter.

Namun tampaknya tak ada kajian mendalam, deliberasi publik, dan uji publik terstruktur sistematis dan masif untuk mengantisipasi segala kerangka otoritas yang dipunya. Alih-alih dikotomi kekuasaan  kini dipertontonkan secara telanjang.  Jadi aneka kegaduhan, perseteruan, dan permusuhan kian berujung bahwa, polarisasi di pilpres 2024 adalah  bukti gagalnya proses demokratisasi di indonesia hari ini.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun