Tepat ketika pesawat menghilang di balik awan, Sachi merasakan dorongan lembut, Dalam beberapa detik yang terasa seperti keabadian, tiba-tiba ia terhenti. Cahaya lembut mulai menerobos, dan Sachi mendapati dirinya kembali di taman yang ia kenal, taman di dunia nyata. Ia terduduk di atas rerumputan, napasnya sedikit terengah, tapi pikirannya penuh dengan kesadaran baru. senja yang indah mulai menyingsing, dan ia menyadari bahwa meski ia kembali ke dunia aslinya, dirinya tak lagi sama.
 Sejak saat itu, Sachi mulai melihat hidupnya dengan cara yang berbeda. Ia mulai menyadari bahwa nilai-nilai yang tidak sempurna, kegagalan dalam memahami pelajaran, bahkan rasa terasing dari teman-temanya, orang tua yang berharap lebih, adalah bagian dari perjalanan yang harus diterima, kesempurnaan bukan lah tujuan, melainkan proses penerimaan diri sendiri terhadap segala kelebihan dan kekurangan.
Ketika hari ujian akhirnya tiba, Sachi duduk dikursinya dengan perasaan yang berbeda, ada kecemasan tapi apapun hasilnya, ia sudah berjuang menghadapi ketakutan dan menerima bahwa kegagalan adalah bagian dari kehidupan yang tak bisa dihindari, kegagalan bukanlah akhir melainkan sebuah kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
 Â
    Beberapa minggu setelah ujian selesai, hasil akhirnya pun keluar, Sachi dinyatakan lulus, walau tidak dengan nilai yang ia inginkan, tetapi Sachi menyadari, ternyata benar kehidupan manusia adalah sebuah kanvas yang penuh dengan lapisan warna yang saling tumpang tindih, setiap kesulitan, rasa sakit atau kebahagiaan adalah lapisan yang memperkaya hidup, dan semua warna itu membentuk lukisan yang indah jika dilihat secara utuh. Karena hidup, seperti apa yang dikatakan pak tua itu, tidak selalu harus sempurna. Kadang, justru dari ketidak sempurnaan itulah kita menemukan kekuatan terbesar kita. Menerima diri sendiri dalam setiap keadaan adalah seni tertinggi dari hidup. Hidup, seperti langit dan matahari dalam lukisan itu, pikir Sachi. "Tak selalu berjalan sesuai yang kita inginkan. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan itu, kita menemukan keindahan yang abadi."
    Beberapa hari setelah kelulusan, Sachi kembali ke rutinitas barunya di rumah. Hari itu, ia memutuskan untuk membersihkan gudang yang sudah lama tak tersentuh, penuh dengan barang-barang lama dan berdebu. Ia menyusuri setiap sudut ruangan dengan hati-hati, mengangkat kotak-kotak tua yang hampir terlupakan. Pandangannya tertuju pada sebuah kotak kayu usang di sudut gudang sunyi. Di dalamnya, Sachi menemukan sebuah album foto lama, berbalut kulit yang sudah mulai lapuk. Lalu, ia membuka album foto tua yang terlihat sudah lama sekali. Halaman-halaman itu seperti menceritakan hal hal yang mengungkapkan rahasia.
     Halaman demi halaman memperlihatkan foto-foto hitam putih dari masa lalu, foto keluarganya di generasi terdahulu. Di sana tersenyum sosok yang pernah ia temui sebelumnya. Sachi merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ia membalik halaman berikutnya, dan di sana, di sudut foto, tertulis nama pria itu: "Syamsul bahri, kakek buyut".
 Â
     Kenangan akan percakapan singkat itu datang kembali dipikirannya, seolah waktu terhenti. Foto itu mengingatkan bahwa setiap pertemuan, meski singkat, meninggalkan jejak yang abadi. Di tengah tumpukan kenangan, ia menyadari bahwa setiap sosok memiliki cerita yang indah itu tak terlupakan olehnya
    Langit sore itu kembali memerah. Tapi kali ini, Sachi tersenyum, ia tahu bahwa meski hari-hari gelap mungkin akan datang lagi, ia tidak perlu takut. Karena dalam warna-warna abadi, selalu ada pelajaran yang menunggu untuk ditemukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H