Mohon tunggu...
Arifin Ilham
Arifin Ilham Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sukar dalam Warna Abadi

20 Oktober 2024   19:00 Diperbarui: 20 Oktober 2024   19:03 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

       Sachi melangkah lebih jauh dan menemukan seorang ibu tua dengan kulit yang keriput dan tangan yang kasar, tengah menggendong kayu bakar yang hampir melebihi tubuhnya sendiri. Langkah-langkahnya terhuyung, Namun ia tetap berjalan dengan teguh. Sesekali, ia berhenti untuk menarik napas, dan pandangannya mengarah ke sebuah gubuk kecil yang tampak lusuh di kejauhan. Meski tubuhnya ringkih, namun di matanya tersimpan cinta yang besar---cinta yang memberinya kekuatan untuk terus berjalan.

       Setiap langkah yang penuh derita itu, wanita itu memandang ke arah sawah yang luas. Dengan senyum kecil di wajahnya, Sachi bisa merasakan cinta yang begitu tulus terpancar dari sorot mata wanita tua itu. Dia tidak bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang-orang yang ia cintai, untuk anak-anak dan cucunya yang mungkin tidak pernah mengetahui betapa besar pengorbanan yang ia lakukan. Sachi merasa matanya mulai berkaca-kaca, menyaksikan cinta yang begitu murni, sebuah pengorbanan yang tak pernah meminta balasan.

       Kemudian, Sachi melihat seorang pemuda sedang memahat sebuah batu besar di tepi sungai. Suara pahatnya bergema di udara yang tenang, dan setiap kali ia memukul batu itu, percikan debu beterbangan. Ia tampak begitu gigih, memahat tanpa henti, seolah ingin meninggalkan jejak yang takkan pernah hilang, sesuatu yang bisa bertahan melewati waktu. Meski lelah, ia tidak berhenti, dan dalam setiap ayunan pahatnya, ada doa dan harapan yang ia titipkan. Sachi menyadari bahwa pemuda itu bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk memberi makna pada hidupnya, untuk membuat jejak yang bisa ia banggakan, meski mungkin dunia takkan pernah mengenal namanya.

       Sachi merasa dadanya sesak. Ada sesuatu yang begitu indah dalam ketulusan itu, sebuah cinta yang tidak meminta apa-apa, hanya memberi, terus memberi, meski tubuh tak lagi mampu. Sachi tersadar bahwa wanita dan pria dengan dengan setiap langkahnya yang penuh beban, sedang menciptakan masa depan untuk orang-orang yang ia cintai. Setiap tetes keringat, setiap pengorbanan, adalah bagian dari cinta yang tanpa akhir.

       Ketika Sachi melangkah lebih jauh, dunia itu semakin memperlihatkan kedalamannya. Di dekat sungai yang tenang, ia melihat sekelompok pemuda bekerja keras membangun sebuah kapal besar. Mereka bekerja dalam keselarasan yang penuh makna, saling membantu, saling memberi semangat, seakan mereka tahu bahwa kerja sama mereka akan membawa mereka ke tempat yang lebih baik. Setiap balok kayu yang mereka angkat, setiap paku yang mereka tancapkan, adalah cerminan dari persahabatan dan komitmen yang mendalam. Meski pekerjaan mereka berat, ada senyum dan tawa yang mengalir bersama keringat mereka. Kapal itu bukan hanya kendaraan bagi mereka; itu adalah simbol harapan mereka untuk mengarungi hidup dengan kekuatan bersama, sebuah perwujudan dari impian yang mereka bangun bersama.

       Sachi menyadari bahwa semua yang ia saksikan di dunia ini memiliki satu benang merah, perjuangan yang tidak pernah terlihat, namun selalu ada. Setiap orang di dunia ini bekerja bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan materi. Mereka semua, dalam kesunyian mereka, menciptakan keabadian melalui tindakan sederhana dan pengorbanan yang tulus.

       Setelah menyaksikan para pemuda yang bekerja keras membangun kapal di tepi sungai, Sachi melangkah perlahan mendekat, namun tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh di bawah kakinya. Tanah yang keras dan padat berubah lunak, seperti lumpur yang menarik tubuhnya ke dalam. Sachi terperangah, merasakan dirinya terhisap semakin dalam, seakan dunia di sekelilingnya runtuh dalam sekejap. Langit jingga yang tadi membentang kini digantikan oleh kegelapan. Ketakutan mulai merambat di hatinya, tetapi sebelum ia sempat menjerit, tubuhnya terasa melayang bebas, jatuh menuju tempat yang belum pernah ia kenal.

       Saat kesadarannya kembali, Sachi mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang berbeda, seperti dunia lain yang penuh dengan kehampaan. Di hadapanya, terdapat seorang Pemuda. Disana terdapat sebuah stuktur besar yang aneh, sebuah pesawat terbang buatan tangan. Pesawat itu terlihat kasar, dengan sayap-sayap dari logam yang berkarat dan mesin yang tampak seperti hasil kerja keras bertahun-tahun. Tangan-tanganya yang terampil. Pemuda itu sedang sibuk memperbaiki bagian-bagian mesin dengan terampil, seolah-olah menyusun nada-nada dalam simfoni.

       Setiap kali palu menghantam, suara detingan itu bergema, seperti jantung yang berdegup kencang, membangkitkan semangat yang tak pernah padam di dalam dirinya. "Apakah kau membuat ini sendiri?" tanya Sachi, suaranya terdengar ragu. Pemuda itu mengangkat wajahnya, menatap Sachi sejenak sebelum tersenyum kecil.

       "Ya, aku membuatnya untuk diriku sendiri. Tidak ada yang percaya bahwa aku bisa terbang. Mereka semua menganggapku gila, tetapi aku akan membuktikan pada mereka, aku akan terbang lebih tinggi dari mereka bayangkan." ujar sang pemuda dengan keringat menetes di wajahnya. Di balik peluh yang menetes, ada kilauan harapan di mata pemuda itu, seolah langit menjadi canvas di mana ia akan menoreh jejaknya, membayangkan pesawatnya meluncur di langit biru, membelah awan seperti burung merpati yang terbang bebas.

         Ada sesuatu dalam cara pemuda itu berbicara yang membuat Sachi terdiam. Pemuda itu memang bekerja keras meski dihina dan diragukan oleh orang-orang sekitarnya,  pemuda itu menyalakan api keberanian  dalam dirinya. Dan kini, ia hampir selesai dengan impian terbesarnya, pemuda itu memang ingin mempersiapkan  drinya untuk terbang tinggi, melampaui batas yang pernah ada. Melawan dunia  yang tak pernah memahaminya. Menembus  batas-batas mimpi yang selama ini terkurung didalam dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun