Mohon tunggu...
Arifin Ilham
Arifin Ilham Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sukar dalam Warna Abadi

20 Oktober 2024   19:00 Diperbarui: 20 Oktober 2024   19:03 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By:  Firdathul jannah dan Raihanah Arifah Salwa                                                                                                                                                                                                                    

       Langit sore di SMA Antariksa selalu tampak sama jingga keemasan yang perlahan memudar. Membawa ketenangan bagi semua orang, tetapi, tidak bagi seorang gadis SMA yang bernama Sachi Kawami. Langit yang memudar itu justru mencerminkan kekosongan yang ia rasakan, "Dimana letak senyumku yang dulu itu?Dulu, setiap detik penuh dengan keceriaan dan canda tawa membuat hangat bagi semua orang. Kini, menjadi pudar saat waktu mulai berjalan, Kenapa hidup ku sulit dibanding dulu", batin Sachi dengan wajah kekecewaan didalam dirinya, dibalik tumpukan buku-buku pelajaran dan angka-angka ujian yang tidak pernah memuaskan, Sachi merasakan tekanan yang menghimpitnya, ujian kelulusan sudah semakin dekat, dan setiap ia mengerjakan ulangan harian rasanya seperti mencoba melukis diatas kanvas yang kosong dengan kuas yang patah, dan setiap hari, beban semakin berat seakan tak memberinya ruang untuk bernafas.

        Sachi menggeleng-gelengkan kepala dan berkata "Hidup ini memang berat, tetapi, tak seharusnya aku mengeluh tanpa tujuan seperti ini, Sebaiknya aku pulang kerumahku." Sachi pulang dengan wajah masam, dengan tas yang berisi buku-buku pelajaran dan kertas ulangan di tangan kanannya. Lembaran kertas ulangan Sachi tertiup angin. Tak sengaja terbang ke hadapan salah satu wajah temannya yang bernama Senna Elysia "Apaan nih,kertas?" Temannya yang bernama Yumeko Emi berkata "Eh, liat deh! Nilai Sachi cuman 45," "Hahaha,Sachi! Gimana sih?"ujar Senna sambil tertawa. "Udah belajar? Tapi masih segitu? Sachi-sachi!"ujar Yumeko. Sachi pun menarik nafas dalam-dalam dan berkata "Aku sudah berusaha, Guys! Kadang hasilnya emang nggak sesuai harapan," Senna berkata "Tapi semua orang bisa mendapatkan nilai yang baik, Sachi!masa cuman kamu doang yang dapat nilai rendah sih?itu memalukan sekali!"

       Yumeko berkata lagi "Kami semua kecewa padamu Sachi. Kenapa kau seperti orang bodoh begini sih!" Wajah Sachi semakin merah dengan suara tegasnya berkata "Dengar! Aku capek  mendengar semua ejekan dan kekecewaan kalian. Aku tau nilaiku jelek. Aku kecewa dengan diriku sendiri! Aku butuh dukungan bukan ejekan!" Sachi pun berlari sejauh mungkin dari teman-temannya.

       Terlihat ibu sachi yang bernama Selin Ashley. sedang menunggu kedatangan putrinya, Sachi pun menghampiri ibunya, dengan keringat dingin. Ibunya dengan nada dingin berkata, "Mana kertas ulangan mu!sini berikan!" "Iya Ibu,ini." ujar Sachi dengan penuh kekhawatiran. "Nilai Kamu cuman 45, Sachi?Ini memalukan sekali!" ujar sang Ibu dengan marah. Sachi menjawab "Aku sudah berusaha Bu ..." Ibunya menjawab "Berusaha?Itu tidak ada artinya, lihat teman-temanmu, mereka mendapatkan nilai yang tinggi. Apa kau mau jadi yang terburuk dari mereka?"                                                                                                                                

       Sachi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata "Setiap orang punya cara belajarnya sendiri Bu, Aku telah berjuang mati-matian hanya karna semua ini. Bu!" Ibunya mengangkat suaranya "cara belajar? Kau  berpura-pura berjuang seperti itu! Katakan saja itu hanya alasan untuk kemalasan mu!" Sachi berkata lagi "Sungguh Bu ..." "aku tidak malas. Bu. Aku hanya butuh cinta dan dukungan dari mu!"
Ibunya dengan raut kesal berkata "Dukunganku?" "Cinta dariku? Dari anak yang selalu gagal ini! Hey, dengar ya, Nak! Dukungan maupun cinta tak akan membantumu. Jika Kamu tidak bisa mengubah dirimu itu, Siap-siap hidup dalam kegagalan!Aku tunggu perkembangan mu, Nak!" Sachi hanya terdiam. Sang Ibu berkata lagi  "Sana! Masuk kedalam kamar mu,"

       Semua ekpetasi orang-orang di sekitarnya. Teman-temannya, yang seakan hidup tanpa beban. Orang tuanya yang terus berharap lebih, nilai sempurna, prestasi dan masa depan yang germilang. Setiap harapan yang di bebankan padanya menjadi rantai yang mengikat hati dan pikirannya, menggerogoti rasa percaya dirinya.

       Sachi menatap dirinya  di depan sebuah cermin besar di kamarnya dan berkata "Setiap ekspetasi-ekspetasi mereka seolah-olah menjadi beban yang memikul diriku," Sosok yang memandang cermin itu tampak kelelahan. bukan karena fisik, tetapi karena jiwanya lelah berjuang tanpa henti, tanpa arah yang jelas "Kau bisa" "Kau kuat, Tetapi di dalam hatiku hanya ada kehampaan," ujar Sachi degan tatapan kosong di cerminnya. di dalam halusinasinya seolah-olah bayangan  cermin itu, berkata "Mereka melihat sesuatu dari mu. Lantas mengapa kau tak bahagia?" Sachi menjawab perkatan cermin tersebut "Aku pikir satu-satunya jalan untuk mencapai kebahagiaan  adalah dengan cara memenuhi ekspetasi orang-orang. Tetapi semakin aku mencapai kebahagiaan itu, justru aku merasa semakin jauh dari kata kebahagiaan,"  Cermin itu hanya terdiam sejenak, Sachi pun melanjutkan perkataannya "Aku iri dengan mereka. Kenapa aku tak bisa seperti mereka?kenapa aku selalu  merasa tertinggal?"
 
       Cermin itu menjawab pertanyaan sachi tersebut "Aku tau itu, Tetapi kau kan, telah berusaha!" "berusaha?mereka bilang aku nggak berusaha! Padahal setengah mati aku berjuang seperti ini, hampir jatuh rasanya tau! Apa belum cukup buat mu?" Cermin itu berkata "Sudahlah perkataan orang-orang memang jahat!Teta---"ucapan sang cermin itu dipotong oleh Sachi lalu berkata "Andai saja aku bisa memilih, aku juga tak mau berada di tempat seperti ini, yang ku ingin kan hanya melayang jauh ke saturnus, tempat dimana jiwaku mungkin akhirnya merasa  bebas, pastinya tak akan ada kesukaran yang menghampiriku setiap saat!"
"Gadis, Kau memang selalu benar! Tetapi ketahuilah ini masih di dunia nyata, aku yakin kau akan mendapatkan jawaban dari sulitnya kehidupanmu, jadi, bersemangatlah wahai Gadis cantik!" ucap kata-kata terakhir dari cermin tersebut. Cermin itu kembali lagi seperti semula .

        Pada suatu sore, setelah merasa tak mampu lagi menanggung tekanan, Sachi memutuskan untuk keluar dari rutinitasnya sejenak. Sachi berjalan tanpa tujuan di taman yang sepi. Berharap menemukan  sesuatu yang bisa memberinya ketenangan, Sachi merasa ada yang berbeda saat ia melangkah di taman. Udara seolah membawa aroma nostalgia, seperti ingatan-ingatan yang melintas dari masa yang jauh. Angin menyapa lembut, membawa  suara-suara yang tidak biasa, seakan-akan taman itu bercerita. Langkah kakinya tak terasa membawanya semakin jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Tiba-tiba, sekelilingnya berubah. Pohon-pohon yang tadinya hijau segar perlahan menjadi pepohonan tua, besar, dan kokoh. Suara mesin-mesin modern menghilang, digantikan oleh denting palu dan suara alat-alat sederhana. Sachi tak menyadari, bahwa ia telah memasuki dunia lain---dunia yang seakan ditarik dari masa silam, dikelilingi oleh suara-suara samar, seperti bisikan dari masa lalu. Zaman ketika kerja keras adalah satu-satunya mata uang untuk bertahan hidup.

       Sachi melihat sekelilingnya dengan rasa kagum bercampur heran. Tidak ada suara dari kehidupan modern yang biasa ia dengar---tidak ada deru kendaraan, tidak ada obrolan manusia. Yang ada hanyalah suara alam, ritmis dan damai. Namun, suasana ini bukanlah sekadar hening. Seakan-akan dunia ini memiliki jiwa, sebuah dunia yang berbicara melalui ketenangannya, penuh dengan cerita-cerita tentang perjuangan yang terpendam di dalam setiap hembusan angin dan gemerisik dedaunan.

       Di sana, ia melihat seorang pria muda dengan wajah keras dan tangan yang penuh luka, tengah menumbuk padi di bawah terik matahari. Setiap hentakan yang ia lakukan tampak penuh dengan kesungguhan, seolah padi-padi itu adalah bagian dari hidupnya yang harus ia perjuangkan. Mata pria itu tajam, namun di balik sorotnya yang keras, ada ketulusan yang dalam, sebuah dedikasi untuk memberi makan keluarganya, untuk membuat hidup mereka tidak kelaparan. Sachi bisa merasakan betapa besar pengorbanan pria itu, bahkan ketika ia tahu dirinya mungkin tidak akan pernah merasakan hasil dari kerja kerasnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun