Judul: Menantang Ketergantungan Media Sosial: Pembelajaran dari "The Social Dilemma"
Baru-baru ini, saya menonton film "The Social Dilemma," sebuah karya epik dengan durasi 1,5 jam yang disusun oleh sejumlah ilmuwan komputer terkemuka, termasuk Tristan Harris (mantan Google Design Ethicist), Jaron Lanier, Shoshana Zuboff (Professor Emeritus di Harvard Business School), Jeff Seibert (Mantan Senior Director of Product di Twitter), dan banyak lainnya. Kamu dapat mengecek informasi lebih lanjut di sini:Â
Film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka mata dengan memaparkan fakta-fakta yang mengguncangkan. Salah satu poin penting yang disorot adalah bagaimana media sosial dirancang untuk menciptakan ketergantungan, dengan algoritma mereka secara efektif meningkatkan tingkat dopamin dalam otak pengguna.
Terkait pertanyaan, "Bagaimana mereka bisa membuat para pengguna kecanduan?" film ini mengungkapkan praktik memata-matai dan pengambilan data secara ekstensif oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Mulai dari menyusun data tentang foto atau video yang kita sukai, hingga menghitung seberapa lama kita memandang suatu gambar---semuanya diambil dan diolah. Bahkan percakapan online dan setiap aktivitas di internet kita menjadi sumber informasi untuk mengetahui preferensi, hobi, pemikiran, dan aversion kita. Algoritma cerdas kemudian menggunakan informasi ini untuk menyesuaikan tampilan video dan foto agar sesuai dengan selera kita.
Efeknya tidak hanya sebatas pada paparan konten yang disesuaikan, melainkan juga terletak pada tingkat kecanduan yang semakin meningkat seiring penggunaan media sosial yang berkelanjutan. Semakin lama kita terpaku pada platform ini, semakin banyak iklan yang kita lihat, yang pada akhirnya menguntungkan para perusahaan di balik layar.
Film ini menunjukkan bagaimana banyak orang mengalami kesulitan mengontrol diri mereka sendiri saat terjebak dalam lingkaran ketergantungan media sosial. Ini adalah panggilan untuk kita semua untuk lebih bijak dan kritis dalam menggunakan platform ini, serta untuk merenung tentang bagaimana kita dapat mengubah kebiasaan kita agar tidak terperangkap dalam perangkap manipulatif yang diatur oleh algoritma media sosial.
Setelah terjebak dalam lingkaran kecanduan media sosial, dampaknya tidak hanya pada kebahagiaan semu yang didapatkan dari konten yang sesuai dengan preferensi kita. Hal tersebut juga membawa konsekuensi serius berupa alienasi dan polarisasi dalam masyarakat.
Dalam lingkungan media sosial, pengguna disuguhkan dengan konten yang hanya sesuai dengan pandangan dan keinginan mereka. Meskipun awalnya terasa menyenangkan, kebahagiaan yang diperoleh adalah ilusi. Pengguna cenderung percaya bahwa realitas sekitar mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan, namun kenyataannya tidak demikian. Fenomena ini bahkan telah terkait dengan peningkatan drastis tren bunuh diri pada anak muda.
Salah satu dampak negatif lainnya adalah polarisasi atau "bubble" di platform seperti YouTube. Algoritma media sosial mengisolasi setiap individu dalam gelembung pendapat mereka sendiri. Ini mengakibatkan sulitnya melihat dari sudut pandang yang berbeda, meningkatkan rasa saling ketidakpercayaan, dan memperdalam perpecahan sosial.
Liat polarization politik amerika berikut :
Namun, bahaya lebih besar muncul ketika media sosial dikuasai oleh pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Myanmar menjadi contoh nyata di mana pemerintah menggunakan media sosial untuk menyebarkan narasi yang mengakibatkan pengusiran ratusan ribu etnis Rohingnya. Bahkan, narasi semacam itu dapat menyebar hingga ke Indonesia.
Contoh kasus lainnya yang tidak kalah mencengangkan adalah kasus Pizzagate di tahun 2016 dan penghancuran tiang seluler 5G di Bolivia karena hoaks COVID-19 menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk pandangan dan tindakan masyarakat.
Di Indonesia, efek media sosial juga terasa kuat dalam memperkuat kubu-kubu politik dan menciptakan perpecahan dalam berbagai hal, mulai dari politik hingga hal-hal sepele seperti film atau artis K-pop. Meskipun mungkin tidak mencapai tingkat ekstrem seperti di negara lain, dampaknya tetap signifikan.
Tulisan ini hanya sebagian kecil dari banyak contoh perpecahan yang diakibatkan oleh media sosial. Diperlukan kesadaran dan tindakan bersama untuk mengatasi dampak negatif ini agar media sosial dapat berfungsi sebagai alat yang positif dan mendukung keterbukaan pandangan dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H