Mohon tunggu...
Arifin BeHa
Arifin BeHa Mohon Tunggu... Penulis - Wartawan senior tinggal di Surabaya

Wartawan senior tinggal di Surabaya. Dan penulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Max Margono, Wartawan yang Pandai Membina Hubungan

18 Mei 2022   16:46 Diperbarui: 20 Mei 2022   07:29 1926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Max Margono bersama istri dan seorang cucu (Dok.Keluarga)

TEBUIRENG -Jombang, pertengahan Januari 1984. Bakda shalat Isaya, bangsal tengah pondok pesantren sedang berkumpul para tokoh Nahdlatul Ulama (NU), antara lain, KH. Machrus Ali, KH. Abdurrahman Wahid, M. Zamroni, Said Budairi, dan Masdar Farid Mas'udi. Mereka sedang menunggu kedatangan Mahbub Junaidi.

Wartawan dari berbagai suratkabar ikut nimbrung. Menunggu sebuah acara tunggal, yang disebut-sebut sebagai "baiat". Para tokoh ini sebenarnya sudah bertemu pada Munas Alim Ulama bulan Desember 1983 di Situbondo. Malam itu mereka berkumpul sekadar untuk menyatukan tekad.

Di sela-sela acara saya melihat Pak Max Margono, wartawan Harian Kompas duduk mendampingi KH. Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur. Pak Max memegang botol cairan obat tetes mata. Cairan itu diteteskan ke pelupuk mata Gus Dur. Sebentar-bentar Gus Dur menyantap buah durian.

Beberapa kali diteteskan, barulah berhenti setelah Mahbub Junaidi memasuki ruangan. Para wartawan, termasuk saya, sibuk mencatat acara. Sementara Pak Max Margono tetap duduk di samping Gus Dur.

Bagi saya, aksi mengobati mata Gus Dur merupakan keheranan yang kedua. Yang pertama, saat berlangsungnya Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Asembagus, pada bulan Desember 1983.

Melalui Munas ini, kiprah duet Achmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid diakui secara luas dan semakin memantapkan posisi kepemimpinan mereka dalam Muktamar NU tahun 1984.

Untuk mengirim berita, wartawan harus mendatangi kantor Telkom di Situbondo -ibu kota Asembagus. Pak Max Margono dengan senang hati mengantar para wartawan. Tidak sekadar mengantarkan, dia rela menunggu untuk kemudian membawa kembali ke Asembagus. Mobil dinas Kompas, Daihatsu Taft warna biru diisi lebih dari lima orang.

Saya heran. Di Asembagus maupun di Tebuireng tidak melihat Pak Max Margono mengetik berita. Tapi harian Kompas (edisi hari berikutnya) selalu menayangkan tulisan beliau. Inisialnya "mm", kepanjangan dari Max Margono.

Pandai membina hubungan

Keistimewaan seorang Max Margono adalah kemampuannya mengorganisir yang membuat orang lain nyaman, terutama relasinya.

Ketika pada tahun 1980 pertama kali menjadi wartawan Pos Kota, saya mengenal Pak Max Margono di Gedung Negara Grahadi. Saya mewakili senior saya, Amang Mawardi yang sedang liputan di lain tempat.

Saya melihat, dia membawakan minuman untuk para pejabat -yang agak kaget mendapat perlakuan istimewa. Humanis. Sepele. Tapi dengan cara itu Pak Max mudah akrab. Gampang dikenali nara sumber. Pak Max pandai membina hubungan.

Suatu waktu, resepsi Hari Pers Nasional sebagai peringatan ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Timur diselenggarakan di Gedung Srimulat THR Surabaya. Acara sudah dimulai. Lampu agak temaram. Kolonel Sonny Baksono, Kepala Penerangan Kodam VIII Brawijaya terlambat datang. Pak Max Margono segera menyongsong. Layaknya penerima tamu, ia membantu mencarikan kursi di deretan depan. Tempat undangan VIP.

Pak Max Margono dan Pak JA Noertjahjo merupakan wartawan Kompas perwakilan Jawa Timur di Surabaya. Mereka adalah representasi dari Harian Kompas. Tetapi untuk urusan di luar redaksi, Pak Max Margono orangnya. Pak Max Margono mudah dikenali karena bertubuh pendek dan gemuk.

Tahun 1985 Pos Kota grup menerbitkan suratkabar Mingguan Surya di Surabaya. Punya unit percetakan sendiri. Saya tidak lagi liputan. Mas Ivans Harsono, Kepala Perwakilan Pos Kota dan Pemimpin Mingguan Surya meminta saya konsentrasi di percetakan.

Saya ingat, periode tahun 1987 dan 1988 tiga kali Pak Max Margono dan wartawan Kompas lainnya, Valens Doy datang ke percetakan, diantar Pak Ivans Harsono. Mereka berdua mewakili manajemen Kompas-Gramedia akan mencetak koran harian. Surya masih terbit sekali seminggu. Jadi, order harian tentu saja sangat luar biasa.

Tetapi pada akhirnya tiga rencana tersebut semuanya batal. Pertama dengan Memorandum. Kedua dengan Pewarta Surabaya. Ketiga dengan Bhirawa.

Tahun 1989 Harian Kompas bersama harian Pos Kota menjalin kerjasama. Mendirikan suratkabar harian. Mingguan Surya pun berubah terbit harian. Pak Ivans Harsono sebagai Pimpinan Umum. Pak Valens Doy menjadi Pemimpin Pedaksi. Pak Max Margono sebagai redaktur pelaksana. Kelompok Kompas-Gramedia akhirnya punya koran di Surabaya.

Dengan Pak Max Margono pun semakin kenal. Ketika kami sudah purna tugas, persaudaraan berlanjut. Saya memanggilnya dengan sebutan Om!

Walaupun pindah domisili di Jakarta, Om Max tetap rajin menjalin kontak. Kalau ada wartawan senior sakit atau meninggal dunia di Surabaya, dia sangat respek. Selalu menitipkan pesan khusus kepada keluarganya.

Secara fisik kami bertemu muka di Jakarta tahun 2017. Saya bersama wartawan senior Hadiaman Santoso menghadiri undangan reuni di rumah keluarga Budiono Darsono. Pak Hadiaman dan Om Max teman seprofesi. Kawan sejak muda. Om Max menyempatkan datang ke hotel tempat kami menginap.

Setelah itu tak pernah lagi bertemu. Tapi kami sering mengirim pesan lewat WA. Secara kebetulan saya dengan istri Om Max memiliki kesamaan tanggal dan bulan kelahiran.

Tanggal 3 Mei 2022 dia menulis ucapan Idulfitri: "Mas Arifin dan mbak Ida, selamat hari lebaran. Mohon maaf lahir dan bathin. Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga".

Dia satu-satunya orang yang memanggil istri saya dengan sebutan: Ida! Dan itu kemudian ditiru oleh keluarga Om Max -istri dan anak-anaknya. Om Max dan keluarganya mengenal istri saya sejak lama.

Masih kebayang cerita istri saya. Om Max mula-mula kontrak rumah di Pandigiling, Surabaya. Kemudian pindah kontrak ke perumahan padat penduduk di Kalibutuh.

Hebatnya Om Max Margono dan istri. Mereka membesarkan putra putrinya dengan menempati rumah yang hanya mempunyai dua kamar. Om Max sekeluarga punya tempat tinggal "layak huni" ketika membeli rumah di Bendul Merisi.

Bertapa saya sangat terkejut. WhatsApp atas nama Max Margono pagi hari tanggal 5 Mei 2022 menyampaikan pesan: "Mas Arifin, ini Ita. Papa tiba-tiba pagi tadi kena stroke. Nanti WA ke nomor pribadiku, ya". Ita adalah anak bungsu Om Max. Berikutnya dari Ita pula saya mendapat kronologis permulaan Om Max terserang stroke. 

Jumat, 13 Mei 2022, pagi hari masuk pesan WA: "Mas, semalam papa menjalani cuci darah. Semoga proses ini yang terbaik untuk papa. Berkah Dalem". Hari berikutnya: "Papa dipindah ke RSPAD Gatot Subroto. Semoga itu yang terbaik...."

Max Margono, kelahiran Surakarta 25 Juni 1942, wafat pada hari, Rabu (18/5/2022) pukul 07.27 WIB di RSPAD Jakarta. Almarhum meninggalkan seorang istri -bernama Monica Pontiar, dengan tujuh orang anak (6 putra dan 1 putri). 

Menurut Ita, jenazah akan dikebumikan pada hari Jumat (20/5/2022) di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. "Masih ada juga keluarga yang ditunggu," tulis Ita.

Kami, semua. Keluarga, sanak famili, handai taulan dan para sahabat bakal mengenangmu!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun