Saya telepon Surabaya. Mas Uki yang terima. "Mas ABH yakin, ya. Klir, ya, Pak Latief meninggal. Saya harus menghentikan mesin cetak, lho."
Meninggalnya Latief Pudjosakti menjadi berita Stop Press. Harian Surya satu-satunya koran yang memberitakan sejak awal Latief jatuh sakit hingga meninggal.
Besoknya, di Hotel Hilton, Mekkah, wartawan pada datang. Maklum waktu itu sedang terjadi dualisme kepengurusan Partai Demorasi Indonesia. Kubu Megawati Soekarnoputri dan Kubu Suryadi. Latief ikut kubu Suryadi yang didukung oleh Orde Baru.
Di tengah kesibukan kantor, Mas Uki dikenal supel. Dial pelopor anjangsana dan siaturahmi antar karyawan redaksi. Mas Uki rajin mengunjungi rekan-rekan Harian Surya.
Nusya Kuswantin, wartawan Harian Kompas dan pernah memperkuat Harian Surya yang rumahnya di Singosari, Malang, sering ditengok. Begitu juga kepada yang lain. Mas Uki pergi-pulang ke rumah kawan-kawan naik bis atau angkot.
Tabloid Bangkit
Setelah "Reformasi 1998" kebebasan pers mulai bergulir. Pak Tahar, Pemimpin Umum Harian Pos Kota mengusulkan agar Harian Surya memiliki anak usaha media.
Bulan Mei 1999 terbitlah Tabloid BANGKIT, dan Mas Uki menjadi Pemimpin Redaksi.
Oplah tabloit BANGKIT tiba-tiba melejit. Itu karena segmen yang dibidik pas dengan selera pembaca saat itu. Masyarakat butuh informasi tentang politik. Tabkoid mingguan ini sanggup memenuhi semua informasi politik. Dengan gaya bahasa yang lugas disertai analisa pakar.
Mas Uki punya jaringan informan dari genk Universitas Indonesia yang waktu itu banyak berada di lingkaran istana.
Oplah tabloid, menurut Manajer Produksi, Yami Wahyono pernah mencapai 500.000 eksemplar.