Jam 10 pagi 15 Juli 1998. Ruang kerja Saparinah Sadli, Ketua Program Studi Kajian Wanita Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Telepon berdering. Diterima salah satu staf.
Saparinah Sadli sedang rapat dengan rekan-rekannya, ketika stafnya datang dan memberitahu ada panggilan telepon untuknya, dari Pak Habibie. Terinterupsi di tengah pembahasan kerja, Saparinah tidak segera ngeh.
Sambil menjawab telepon di tempat terdekat ruang rapat -dapur, dia bertanya, "Ini dari Pak Habibie siapa?"
Dari ujung lain terdengan suara seorang asisten Presiden, "Presiden BJ Habibie, Bu Profesor." Percakapan yang pendek dan jelas.
Komunikasi dari Istana ini adalah tanggapan atas surat yang dikirim Saparinah bersama sejumlah penandatangan lainnya yang mewakili Masyarakat Anti Kekerasan terhadap perempuan, mengajukan permohonan bertemu dengan Presiden Habibie yang baru mengambil-alih posisi tertinggi di negara ini.
Mereka ingin membicarakan kekerasan seksual dan penderaan fisik lainnya terhadap sejumlah besar perempuan dalam kerusuhan Mei, dua bulan sebelumnya. Presiden, menurut sang asisten, siap menerima Saparinah dan para penandatangan lainnya. Jam dua siang. Di Bina Graha.
Saparinah segera minta stafnya untuk menelepon rekan-rekan penandatangan lainnya. Baru saja dia melangkah ke pintu, ada telepon lagi dari istana. Asisten Presiden mengatakan, "Bapak Presiden hanya bersedia menerima Bu Profesor. Tanpa yang lainnya."
Dengan tenang Saparinah mengatakan, "Itu tidak mungkin. Mereka sudah dalam perjalanan ke istana." Nadanya final tanpa mengundang tawar-menawar. Percakapan pun diakhirinya.
Saparinah tiba di Bina Graha lebih awal dari waktu yang ditentukan. Di muka gerbang dia berjumpa dengan beberapa rekan penandatangan. Saparinah tidak sempat menghitung, karena segera terjadi ketegangan ketika penjaga gerbang berusaha mencegah rombongan ini masuk.
Si penjaga bersikeras. Dirinya mendapat instruksi, hanya Profesor Doktor Saparinah Sadli yang diizinkan masuk.
Kali ini penjaga benar-benar kewalahan. Bukan sosok wibawa Saparinah Sadli saja yang dihadapi. Sejumlah wanita perkasa dari berbagai profesi dan kehidupan melangkah masuk melewati pintu gerbang.