Lewat sebuah telex tanggal 29 Maret 1984, Kantor Redaksi Harian Pos Kota Perwakilan Jawa Timur di Jl. Bubutan 17, Surabaya mendapat informasi,
"Rekan Anda diamankan Polda Nusra/Bali. Dia ditangkap bersama bandar narkoba"
Kemudian datang lagi telex kedua. Isinya cukup singkat: "Bikinkan surat tugas. Penting. Segera"
Kabar itu tentu saja mengagetkan. Ivans Harsono, Kepala Perwakilan Harian Pos Kota segera mengadakan rapat dengan sejumlah wartawan. Kordinator Liputan, Amang Mawardi berulangkali memegang dagu dan lehernya. Dia sedang gelisah.
Sangat berbeda dibanding suasana seminggu sebelumnya. Pada waktu itu dengan kesepakatan bulat, rapat redaksi menunjuk Tiny Frida berangkat ke Bali. Wartawati ini bertugas melakukan investigasi terhadap sindikat narkoba di Pulau Dewata.
Peristiwa ini menjadi sorotan banyak pihak, karena Pemerintah Indonesia sedang melakukan persiapan Nusa Dua, sebuah kawasan wisata baru yang akan dikunjungi Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan. Tamu Negara itu akan mengadakan lawatan beberapa hari di Bali.
Pos Kota, koran Nasional dengan pembeli eceran terbesar (600.000 eksemplar per hari), saat itu memiliki segmen pembaca kelas menengah-bawah. Terbongkarnya sindikat narkoba di Denpasar tentu wajib mendapat porsi pemberitaan lebih.
Tidak itu saja, Pos Kota berniat menurunkan berita tersebut secara bersambung setiap hari dalam bentuk feature. Karena itu butuh pendalaman. Penulisnya harus bisa mengungkap secara detil. Andai kata melakukan penyamaran, identitas sebagai wartawan bila perlu ditanggalkan.
Melalui berbagai pertimbangan, termasuk kedekatan teritorial, maka penugasan ke Bali secepat dan sesegera mungkin dilakukan oleh wartawan dari Surabaya.Â
Putus komunikasi
Sejak ada kabar wartawati Pos Kota ikut ditangkap, praktis sudah dua hari kami di Surabaya kehilangan kontak. Lewat jasa titipan kilat, Redaktur Pelaksana Harian Pos Kota, Sofyan Lubis segera mengirimkan surat tugas untuk Tiny Frida. Secara kebetulan jaringan Satelit Palapa sedang gangguan. Jadi, komunikasi langsung terputus.
Satu-satunya harapan memang hanya lewat telex milik Kantor LKBN Antara Denpasar ke saluran LKBN Antara di Surabaya. Informasi awal yang mengabarkan ada wartawan Pos Kota ditangkap juga bermula dari komunikasi internal sesama Kantor Antara. Telex tersebut kemudian diteruskan ke Pos kota.
Kepala Cabang Kantor Antara di Denpasar, Syahrul Bachtiar adalah jebolan Akademi Wartawan Surabaya. Dengan wartawan Pos Kota sudah saling kenal, maklum satu almamater. Kami di Surabaya menduga, sebelum melakukan investigasi, Tiny Frida singgah menemui Syahrul Bachtiar.
Dugaan kami masuk akal. Terbukti kemudian, Mas Yuleng --panggilan akrab Syahrul Bachtiar, rajin memberitahu kondisi terbaru wartawati Pos Kota. Kawan-kawan Antara Jawa Timur ikut sibuk. Maklum telex Mas Yuleng selalu ditujukan ke kantor mereka.
Tengah malam, tanggal 31 Maret 1984, Mas Yuleng sudah menerima surat tugas yang dikirim dari Jakarta. Rencana, setelah diserahkan ke Polda Nusra di Denpasar, Mas Yuleng berusaha melobi agar wartawati Pos Kota segera dibebaskan.
Tanggal 1 April 1984 pagi, saya ditugaskan datang ke Antara Jawa Timur. Kantornya berada satu gedung dengan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur di Jl. Pahlawan Surabaya. Akhirnya, kertas telex dari Mas Yuleng muncul:
"Dikabarkan, kondisi Sdri Tiny dalam keadaan baik. Mohon maaf atas semua kejadian. Tulisan ini harap dibaca terbalik, POM LIRPA (baca: APRIL MOP)".
Kami gembira sekaligus kaget. Pas banget kejutan ini jatuh pada tanggal 1 April. Selama dua hari kami sibuk dan tegang. Ternyata Mas Yuleng sudah merencanakan "skandal" April Mop. Maria Dian Andriana, wartawati Antara tersenyum. Tetapi saking jengkelnya, sampai mengeluarkan air mata.
Berakhir di Surabaya
Setelah kejadian itu, sangat lama tidak pernah jumpa Mas Yuleng. Dengar info dia hijrah ke Surabaya ikut mengendalikan Surabaya Post. Lepas dari suratkabar sore yang legendaries itu, kabarnya Mas Yuleng menjadi penulis lepas. Mas Yuleng dari wartawan, akhirnya penulis  novel.
Tetapi sungguh ironis. Untuk pertama kalinya tahun 2016 saya mengunjungi beliau justru sedang menjalani opname di Gra Amerta, Dr. Soetomo. Itu pun saya diajak wartawan senior Hadiaman Santoso.
Pada kesempatan lain saya diundang peluncuran Novel "Menggapai Surga" di sebuah hotel, 20 Juli 2017. Ketika ada kesempatan memberikan testimoni, saya kembali ungkap cerita April Mopitu. Tanpa sungkan-sungkan saya menyebut, "Mas Yuleng, orangnya jahil".
Ali Salim menjadi sahabat yang lebih sering mendampingi selama beberapa tahun belakangan ini. Mereka bepergian menikmati kuliner sesuai seleranya. Biasanya pergi ke mall yang mempunyai mushola atau masjid bagus. Ngobrol di kafe hingga tiba waktu sholat Maghrib, kemudian dilanjut sampai sholat Isya secara berjamaah.Â
Syahrul Bachtiar enggan disebut tua. Ia menghindari anggapan, bahwa tua itu punya konotasi "tak berdaya". Gaya dan style Mas Yuleng tampil ala orang muda. Celana, sepatu, T-Shirt dan topi lakendi kepalanya seolah-olah penyesuaian dirinya.
Di sisi lain, putra wartawan kawakan Wiwik Hidayat ini semakin tergantung dengan tabung oksigen. Mas Yuleng hanya bisa menghirup udara bersih yang sudah diolah lewat dua selang kecil, lalu masuk ke lubang hidungnya.Â
"Tetapi perangkat ini sama sekali tak menghlangi Yuleng untuk mengobrol dan tertawa. Hidupnya penuh dinamika, sehingga jarang mengeluh" tutur Ali Salim. Orang-orang sudah paham. Â Ali Salim hampir dan Mas Yuleng sering bersama.
H. SYAHRUL BACHTIAR HIDAYAT meninggal dunia! Berita tertanggal 4 November 2018 itu sukar dipercaya. Saya terpukau dan mengulang-ulang baca berita dari WhatsAppitu. Kalau berita ini saya dengar dua tahun silam, ketika membezuk di rumahsakit, barangkali saya tidak seterkejut itu benar.
Sudah hampir seminggu cuaca Kota Surbaya redup terturup mendung. Musim hujan waktunya datang. Seandainya ada petir menyambar pada siang hari dalam udara Surabaya yang cukup gerah itu, tidaklah saya seterpana seperti ketika melihat mobil ambulans pembawa jenazah Mas Yuleng, mantan wartawan "Antara" Si April Mop.
Sejak malam hari kabar duka merebak, puluhan orang silih berganti mendatangi rumah duka di Taman Putro Agung No 6 Surabaya. Hari Senin 5 November 2018 diantara ratusan orang, saudara dan handai taulan, istri tercintanya, Nunung Lembah Bachtiar menyaksikan jasad Mas Yuleng turun ke liang lahat di TPU Ngagel, Surabaya.
Mas Yuleng (65th) selamat jalan, kawan!
Semoga seluruh amal kebaikan Anda diterima di Sisi-Nya. Semoga pula Tuhan mengampuni semua kehilafan selama hidup di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H