Memberikan pelayanan lebih tidak harus mahal. Namun harga murah juga bukan berarti murahan. Lalu apa? "Saya ini pelayan umat. Harus bisa berhemat!" kata Mukharam Khadafy.
Sebelum perjalanan menuju Tanah Suci, rombongan berjumlah 11 orang ini singgah satu malam di Singapura. Kami ziarah ke makam Sayyid Noh bin Mohammad Alhabshe, atau dikenal dengan sebutan Habib Noh yang berada di Palmer Road, Tanjong Pagar, Singapura.
Berada di Singapura kinerja Mukharam Khadafy cukup cekatan. Seluruh jemaah membawa sendiri tas bawaannya, bahkan saling membantu. Wajar jika Khadafy bilang hemat. Bapak dari tiga anak ini memanfaatkan aplikasi di gadgetnya untuk memenuhi semua keperluan akomodasi.
Kepada setiap jemaah dia selalu terbuka. Mulai tiket, jadwal keberangkatan hingga urusan paspor dan bagasi. Ketika antre keberangkatan, ada jemaah bertanya -soal tiket, dia menjawab sambil tersenyum, "Sudah saya kirim lewat WA".
Banyak travel biro perjalanan umrah bermasalah. Namun ada juga cerita travel umrah yang justru dapat menyelesaikan masalah. Bisa dibayangkan, dalam setahun ada sekitar 1 juta orang Indonesia melaksanakan ibadah umrah. Butuh pemikiran konkrit ala Juliantono Hadi dan Mukharam Khadafy.
Sejak berangkat dari Juanda Surabaya sampai Singapura kami merasa aman. Selama berada di Tanah Suci mulai Mekah, Medinah, dan Palestina hingga kembali ke Tanah Air, Alhamdulillah juga nyaman.
Penyelenggara perjalanan ibadah umrah berjalan di antara dua jurusan. Tidak banyak, hanya dua pilihan. Jurusan kebaikan, atau jurusan penipuan.
Pilihan Julianto Hadi menggandeng Manaya Indonesia tidak salah tunjuk. Zaman sudah terbuka, pelajaran berharga bagi siapa saja. Jemaah mulai dikenalkan perjalanan umrah secara mandiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H