Mohon tunggu...
Arifin BeHa
Arifin BeHa Mohon Tunggu... Penulis - Wartawan senior tinggal di Surabaya

Wartawan senior tinggal di Surabaya. Dan penulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memutar Jarum Kenangan dari Pamulang

21 Desember 2016   08:53 Diperbarui: 21 Desember 2016   10:09 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duapuluh orang berusia antara 40-70 tahun terlihat sibuk di ladang yang berada sekitar 25 kilometer arah selatan Jakarta, Sabtu (26/11/2016). Mereka adalah wartawan aktif, wartawan senior, aktivis media, dan  penulis buku sedang menghadiri undangan silaturahim mahasiswa AWS/STIKOSA berbagai angkatan.

Ladang itu sendiri sebuah kebun milik keluarga Budiono Darsono dan istrinya, Hana Budiono di Perumahan Pamulang Permai, Ciputat. Awalnya keluarga ini membeli rumah tipe 36, tapi seiring perjalanan waktu berkembang ke belakang menjadi lahan cukup luas. Ada tanaman hias, tanaman buah dan sayuran, tanaman keras serta kolam ikan.  

Sebagian besar pembaca Kompasiana pasti sudah mengenal, Budiono Darsono owner sekaligus tokoh pendiri portal berita detik.com. BDI, sapaan akrabnya pensiun sebagai CEO pada bulan September 2016 lalu.

Sang isteri, Muflihana atau sering dipanggil Hana Budiono alumni AWS/STIKOSA tahun 1980-an, pernah menjadi wartawati Suara Indonesia, Surabaya Post, dan majalah Femina. Di Jakarta Hana Budiono mendirikan PT. Agrakom Para Relatika, dan PT. Agranet Multicitra Siberkom.

Meskipun tuan rumah mempersiapkan acara ini sangat singkat, namun tetamu yang hadir merasa sangat surprise. Mengapa? Ya, karena sudah lama tidak saling jumpa. Silaturahim berbagai kalangan dibalut nuansa reuni, begitulah kira-kira.

Hadiaman Santoso, wartawan Sinar Harapan (Jakarta), Suara Indonesia Malang (Kepala Perwakilan Surabaya), dan redaktur di Harian Surya  paling senior diantara mereka. Si Om, demikian kawan-kawan memanggil Hadiaman, terlihat kaget manakala dari arah belakang kebun muncul Siane Indriani.

Siane Indriani pernah berkarir di Harian Surya, kemudian aktif di RCTI dan SCTV ketika dua televisi itu masih satu atap, lalu menjadi Pemred Global TV. Dan kini salah seorang aktivis Komnas HAM.

Belasan tahun tidak bersua, maka masuk akal kalau sesama “mantan” lantas berpelukan. Berpelukan itu  simbol keakraban lahir dan batin. Perjumpaan tersebut seakan-akan merawat masa lalu, sekaligus menuai harapan. Masing-masing memiliki harapan ingin kembali selalu dapat berkomunikasi. Silaturahim seperti menatap cermin yang memantulkan kenangan masa lalu.

Hujan sempat mengguyur sebanyak tiga kali. Dua kali dengan intensitas sedang, dan satu kali turun amat deras. Tuan rumah sengaja mendirikan tenda agar semua terasa nyaman. Para tetamu, satu sama lain mengeluarkan oleh-oleh. Ada membawa buah. Ada membawa kripik singkong. Rombongan Surabaya membawa Semanggi Suroboyo kemasan instan.

Pemimpin Redaksi Harian Warta Kota, Ahmad Subechi mengeluarkan ”bekal” berupa, gitar akustik. Dia berbicara lantang, “Saya memang tak bisa mengubah jarum jam kembali seperti saat kuliah. Tapi ini lagu cukup mengenang masa lalu”. Subechi pun lulusan AWS/STIKOSA.

Jreng, jreng, jreng….! Bechi, memetik senar gitar mulai bernyayi:

Walaupun langit pada malam itu //Bermandikan cahaya bintang//Bulanpun bersinar betapa indahnya//Namun menambah kepedihan

Kuakan pergi meninggalkan dirimu//Menyusuri liku hidupku//Janganlah kau bimbang dan janganlah kau ragu//Berikanlah senyuman padaku

Selamat tinggal kasih sampai kita jumpa lagi//Aku pergi tak kan lama//Hanya sekejap saja kuakan kembali lagi//Asalkan engkau tetap menanti….

Tergelitik oleh suara gitar, semua segera merapat di bawah tenda, siap-siap menggugah lagu-lagu lama. Hits Minggus Tahitoe bukan satu-satunya lagu yang dinyanyikan secara bersama. Ada juga “Kerinduan” (The Rollies-1979); “Reflections Of My Life” (The Marmalade-1972); “Cinta Hampa” (D’Llloyd-1972), dan lain-lain.

Hampir semua lagu hafal dinyanyikan Eko Wienarto. Suami dari Maria Dian Andriana, wartawati senior Antara itu punya hobi menyanyi sejak masa kuliah. Sekarang suaranya menjadi hiburan tak terpisahkan bagi rekan-rekannya. Memutar kembali jarum kenangan dari kebun di Pamulang.

Jumpa Lagi

Bagi sebagian wartawan dan aktivis media massa, Surabaya merupakan kota spesial. Di kota pahlawan itu terdapat AWS (Akademi Wartawan Surabaya), sebuah pendidikan jenjang sarjana muda bidang kewartawanan pertama kali di Indonesia.

AWS didirikan para pemerhati media dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Surabaya, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Cabang Surabaya, Departemen Penerangan Provinsi Jawa Timur, dan kantor- kantor dinas penerangan pemerintah sipil serta militer di Surabaya. Kelahiran AWS bertolak dari keprihatinan atas realitas wartawan di media massa, kurang memiliki bekal ilmu jurnalistik dan keterampilan kerja kewartawanan.11 November 1964, Akademi Wartawan Surabaya diresmikan Menteri Koordinator Penerangan Dr H Roeslan Abdoelgani. Sejalan tuntutan dan kebutuhan zaman, lembaga pendidikan tinggi pada tahun 1985 berubah status menjadi Stikosa (Sekolah Tinggi Komunikasi)-AWS.

Kendati sudah hampir jam tiga sore matahari belum juga bersinar. Para hadir mengakhiri pertemuan. Suasana menjadi hening. Perasaan mereka masih hanyut oleh kenangan silam. Rupanya Budiono Darsono dan Hana Budiono cukup tanggap. Mereka mengujar pesan, “Jangan kapok, lain kali boleh jumpa lagi di sini”

“Pemilik rumah pandai menyenangkan tamu” kata Djoko “Iwan” Irawanto. Iwan mantan Pemred Majalah “Tilik Desa” terbit di Surabaya, kawan BDI di komunitas kolektor replika lokomotif kereta api. Selain jurnalis, Iwan dan BDI punya kesamaan hobi, yakni koleksi lokomotif model kuno serta lokomtif modern. Iwan dan Siane sudah tidak asing lagi bagi kita, meskipun bukan alumni AWS/STIKOSA.

Tatkala berpamitan, BDI dan Hana Budiono mengantarkan sambil menelakupkan kedua telapak tangan membentuk “salam”. Mereka tetap berdiri dalam posisinya, ingin melepas tetamunya sampai hilang dari pandangn mata…. 

“Selamat tinggal kasih sampai kita jumpa lagi…”

Bait refrain “Pergi untuk Kembali” pada tahun 1970-an terus terngiang di telinga. Mengunci jarum kenangan….

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun