Mohon tunggu...
Arif GilangDwi
Arif GilangDwi Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Book

Pariah

8 Februari 2023   19:46 Diperbarui: 8 Februari 2023   19:50 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah menulis buku kumpulan puisi berjudul Kelana. Buku yang merupakan cerminan kondisi emosi saya waktu itu. Murung dan gelap. Saya kemudian membayangkan bagaimana jadinya ketika manusia dapat memilih untuk dilahirkan atau tidak---seperti di dunia kappa. Barangkali, kita (atau setidaknya saya sendiri) tidak perlu merasakan dunia yang makin hari makin busuk ini.

"Aku tidak ingin dilahirkan. Pertama, karena aku tidak ingin mewarisi darahmu. Kegilaanmu sudah cukup mengerikan untuk dipikirkan. Kedua, karena aku yakin, bahwa kehidupan kappa terlalu mengerikan"

Tidak. Saya sangat mencintai Ayah dan Ibu. Saya hanya benci semua hal yang membuat hidup menjadi terasing seperti ini. Saya tidak tahu pasti, tapi saya bisa merasakannya.

"Omong-omong, apa kau seorang sosialis?

"...

"Kalau begitu, bersediakah untuk mengorbankan seorang jenius guna kepentingan seratus pengemis

"Kau sendiri apa? Ada yang mengatakan bahwa kau adalah seorang anarkis?"

Ryunosuke mencoba menyindir bahwa seni haruslah murni. Ia harus terbebas dari aturan-aturan kehidupan apapun---melampaui yang baik dan yang buruk. Tokoh kappa penyair dalam cerita Ryunosuke mengatakan bahwa ia adalah Super Kappa (Superman dalam konsep filosofi Nietzsche) dan bukan anarkis.

Sebagai kappa, penyair itu kadang juga merasa iri dengan kehidupan asmara kappa lain. Tapi, ia merasa lebih tertarik dengan hidangan di atas meja sepasang kappa yang tengah makan malam. Sebuah pilihan praksis, melampaui ideologi maupun manual moral dalam kacamata konstruksi sosial.

Saya sendiri pernah beririsan dengan gagasan-gagasan anarkisme. Lebih jauh, saya juga sempat beririsan dengan aktivitas-aktivitas kolektif anarkis lokal. Saya pernah memiliki imajinasi politik alternatif yang cukup radikal. Tapi, semuanya telah berhenti pada diri saya. Imaji kami waktu itu adalah imaji-imaji utopis, sedangkan saya dihadapkan pada masalah-masalah praksis yang perlu pemecahan praksis pula. Brengseknya, keduanya sama-sama membuang saya pada jurang keterasingan yang berbeda.

Saya (dan pekerja pada umumnya) mesti rela dibayar murah untuk pekerjaannya. Tentu saja itu adalah solusi praksis untuk tetap bertahan hidup. Satu lagi bukti bahwa praktik monopoli membuat pekerja terasing dari kerja dan hasil kerjanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun