Mohon tunggu...
Arif Budi Setiawan
Arif Budi Setiawan Mohon Tunggu... Psikolog - M.Psi., Psikolog

Psikolog Klinis Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) dr. Arif Zainuddin Surakarta | Psikolog Klinis Aplikasi Daring Alodokter http://s.id/telekonseling | Founder www.psikologklinis.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Deteksi Dini Gangguan Depresi pada Generasi-Z

30 Agustus 2020   17:44 Diperbarui: 30 Agustus 2020   17:50 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambaran Depresi pada Generasi Z (sumber : https://herviewfromhome.com)

Pandemi yang dirasakan oleh masyarakat dunia karena Virus Corona membawa dampak yang sangat besar bagi kita semua. Mulai dari adaptasi terhadap pembiasaan baru, hingga perubahan cara dalam melakukan aktivitas sehari-hari. 

Sebagian besar masyarakat melakukan kegiatan di rumah, belajar, dan beribadah di rumah. Akses kegiatan di luar rumah dibatasi demi menghambat semakin tersebarnya virus tersebut. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya kecemasan dan dapat menyebabkan depresi (Rubin and Weseley, 2020).

Depresi merupakan gangguan suasana hati yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan rasa tidak peduli. Menurut WHO, kematian tertinggi anak muda adalah depresi. 

Data dari website PDSKJI (Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia) menunjukkan bahwa situasi Pandemi karena COVID-19 ini membuat 64,3% dari 1522 koresponden mengalami cemas dan depresi (www.pdskji.org). Cemas dan depresi tersebut bahkan sudah mulai muncul di usia muda (yang sering kita sebut sebagai generasi Z). Usia muda tersebut berada pada usia 9 hingga 24 tahun.

gambaran umum usia Generasi Z (sumber : http://generational-theory.com)
gambaran umum usia Generasi Z (sumber : http://generational-theory.com)

Tumbuh kembang anak usia muda juga memiliki berbagai kesempatan dan tantangan. Mulai dari perubahan kebiasaan baru sekolah secara daring, banyak tugas sekolah yang harus diselesaikan dengan bimbingan yang minimal, perubahan kondisi pertemanan, pubertas, menjalani usia sekolah, dan banyak hal lain. Beberapa anak dapat melalui masa tersebut dengan lancar, sebagian yang lain mengalami hambatan yang menyebabkan stress atau bahkan depresi.

Gejala depresi dapat dilihat melalui 3 Aspek, yakni aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek fisik. Aspek afektif meliputi sedih, kehilangan minat, mudah tersinggung, tidak peduli kondisi lingkungan, tidak bertenaga, tidak bersemangat, kecemasan, dan isolasi sosial. Aspek kognitif berupa perasaan rendah diri, konsentrasi serta daya ingat menurun, perasasaan ragu-ragu, merasa bersalah, keinginan untuk bunuh diri. Aspek fisik berupa gangguan tidur, fatigue, gangguan nafsu makan, gangguan aktivitas.

Kondisi depresi pada Generasi Z sering kali kurang disadari oleh lingkungan, terutama orang tua. Hal tersebut terjadi karena kemampuan anak untuk menyampaikan perasaan masih kurang baik. Sehingga, orang tua perlu mencermati perubahan emosi dan perilaku pada anak. Hampir sama seperti kondisi depresi pada dewasa, depresi pada Generasi Z juga terdiri dari beberapa aspek[YK1] . 

Aspek kognitif dan afektif seringkali tercampur dalam tingkah laku yang sama, yakni aspek mental. Aspek mental mirip dengan depresi pada dewasa, muncul berupagangguan makan, gangguan tidur, cepat letih, muncul keluhan sakit kepala, dan sakit perut. 

Aspek mental muncul dalam tingkah laku berupa mudah marah (terutama bila diberi kritikan), merasa sedih dan putus asa, tidak mau atau tidak mampu menyelesaikan tugas sekolah, sering berbohong, kehilangan minat untuk bermain, enggan berinteraksi dengan teman sebaya, sulit konsentrasi, merasa bersalah, merasa tidak berharga, sering gelisah dan cemas, serta memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri.

Gambaran Depresi Generasi Z (Sumber : https://kaboutjie.com)
Gambaran Depresi Generasi Z (Sumber : https://kaboutjie.com)

Pandangan teori Psikoanalisis Freud membuat beberapa kalangan tidak memfokuskan diri pada depresi yang dialami Generasi Z. Depresi dianggap hanya akan diderita oleh orang dewasa saja (Lumongga, 2016). 

Meskipun demikian, untuk saat ini depresi pada anak sudah dianggap serius oleh professional di bidang kesehatan. Depresi ringan akan berpengaruh pada prestasi anak di sekolah, sedangkan anak yang mengalami ciri utama depresi sudah diderita oleh satu dari lima puluh anak di sekolah.

Faktor depresi pada Generasi Z diantaranya adalah faktor kekerasan rumah tangga, perceraian, dan pengaruh toleransi stres pada anak yang rendah. Perilaku awal yang muncul diantaranya adalah gejala fobia, kecemasan ditinggal, serta keluhan sakit somatik. 

Problematika kondisi rumah tangga pada kondisi pandemi saat ini tentu menjadi kewaspadaan kita terhadap kondisi psikologis anak, terutama banyak kasus pengajuan sidang perceraian yang marak diberitakan di media masa. Contohnya adalah pengadilan agama Soreang Jawa Barat melayani lebih dari 150 kasus perceraian pada tanggal 24 Agustus 2020 saja.

Warga Antre Ajukan Cerai di Pengadilan Agama Soreang(sumber : https://www.liputan6.com
Warga Antre Ajukan Cerai di Pengadilan Agama Soreang(sumber : https://www.liputan6.com

Ketika anak sudah didiagnosa menderita depresi, konsekuensinya adalah sekali anak mengalami episode depresi, mereka akan memiliki risiko untuk mendapatkan episode lain dalam 5 tahun. 

Depresi pada anak-anak dapat memprediksi kita akan ada episode depresi yang lebih berat ketika masa dewasa, serta memiliki risiko perilaku bunuh diri.

Tumbuh kembang Generasi Z di usia remaja yang mengalami perubahan fisik dan psikologis membuatnya mengalami perubahan perilaku di luar dugaan. Hal itu pula yang membuat kesulitan untuk mencurigai tanda-tanda depresi pada remaja. Misalnya muncul mood sedih. 

Mood sedih pada remaja umum terjadi. Bisa saja karena proses kedewasaan, stres berhubungan dengan kedewasaan, pengaruh hormon seksual, konflik kebebasan dengan orang tua, serta permasalahan pola pembelajaran baru di era pandemic covid-19. meskipun demikian, akan menjadi hal yang tidak wajar ketika mood sedih tersebut berlarut-larut hingga lebih dari dua minggu.

Generasi Z remaja sedang mencari identitas diri, tidak luput dari perasaan tidak percaya diri, tidak puas dengan diri sendiri, merasa tidak berdaya terhadap kejadian buruk. Jika hal tersebut dirasakan oleh remaja dan berlarut-larut, akan membuatnya menjadi lebih rentan terkena depresi. 

Faktor munculnya depresi pada remaja awalnya dapat berupa permasalahan dalam pencarian identitas, kematangan seksual, perpisahan dengan orang tua, serta perubahan fisik, intelektual, dan hormonal.

Selain faktor pertumbuhan dan perkembangan Generasi Z remaja, adapula faktor risiko yang membuat remaja rentan terhadap depresi. Faktor tersebut diantaranya adalah kejadian yang menimbulkan kondisi menderita, kekerasan (baik secara fisik maupun seksual), pola asuh yang tidak stabil, kemampuan sosial yang kurang, adanya penyakit kronis (misalnya kanker atau ginjal), adanya riwayat keluarga yang juga mengalami depresi.

Penegakan diagnosis depresi harus dilakukan oleh professional. Proses penegakan diagnosis serta tindak lanjut penatalaksanaan diagnosis gangguan jiwa tertuang dalam Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. 

Diagnosis terhadap orang yang diduga mengalami gangguan jiwa (dalam kasus ini depresi) hanya dapat dilakukan oleh dokter umum, psikolog klinis, dan dokter spesialis kedokteran jiwa. Namun demikian, ketika ada dugaan depresi pada Generasi Z, kita sebagai orang terdekat dapat melakukan langkah pencegahan.

Ilustrasi Penanganan Depresi Generasi Z ke Psikolog Klinis (sumber : https://kaboutjie.com)
Ilustrasi Penanganan Depresi Generasi Z ke Psikolog Klinis (sumber : https://kaboutjie.com)

Jika ada dugaan depresi pada Generasi Z, kita dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut sebagai langkah pencegahan agar tidak semakin parah. Langkah tersebut diantaranya adalah mengobrolkan hal yang kiranya dapat mengganggu pikiran dan perasaannya, mengenal anak secara lebih dekat, melindungi anak dari tekanan atau kekerasan yang terlalu besar yang dapat menimbulkan kerusakan mental, memperhatikan kesehatan fisik dan mental, memberi perhatian yang cukup pada anak. 

Selain memperhatikan faktor mental anak, kita juga harus memperhatikan faktor fisiknya, berupa mengupayakan agar anak cukup tidur, makan teratur, aktif melakukan kegiatan fisik yang disukai. Namun demikian jika kondisi makin memburuk atau tidak lebih baik, hendaknya melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke professional. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mencari bantuan kepada Psikolog Klinis atau Psikiater.

Daftar Pustaka :

Lumongga, Namora. (2016). Depresi -- Tinjauan Psikologi . Jakarta : Penerbit Kencana.

Rubin, G. James & Wessely, Simon. (2020). The Psychological Effects of Quarantining a City -- Coronavirus diakses pada 26 Agustus 2020.

Sumber bacaan :

Undang-Undang Kesehatan jiwa No. 18 Tahun 2014 diakses melalui IPKI Indonesia

Mencegah Depresi di Usia Belasan dan Dua Puluhan diakses melalui PDSKJI

Orang Depresi yang Tak Tertangani Rawan Bunuh Diri diakses melalui Kemenkes

Ciri dan Gejala Depresi Pada Anak yang harus anda kenali diakses melalui Hellosehatef

Viral Video Antrean Orang Mau Cerai, Tingkat Perceraian di Kabupaten Bandung Meningkat? Diakses melalui Kompas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun