Mohon tunggu...
arif ardiansyah
arif ardiansyah Mohon Tunggu... Dosen - dosen

Saya suka touring motor untuk mengeksplorasi daerah dan menemukan petualangan baru di setiap perjalanan. Selain itu, saya memiliki minat mendalam sastra, filsafat, dan budaya, yang memperkaya pemahaman saya tentang dunia dan kehidupan. Saya juga suka mengajar, berbagi pengetahuan, dan inspirasi dengan orang lain, menjadikan pengalaman belajar sebagai perjalanan yang bermakna bagi saya dan mahasiswa saya

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Relevansi Karya Pram terhadap Kondisi Indonesia Kontemporer

21 Januari 2025   18:04 Diperbarui: 21 Januari 2025   18:04 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Relevansi Karya Pram terhadap Kondisi Indonesia Kontemporer

Oleh

Arif Ardiansyah

Di balik sunyi yang menyelimuti kamar sempit dengan dinding penuh debu, Pramoedya Ananta Toer menuliskan kisah yang melampaui batas zaman. Ia adalah suara yang tak pernah padam, yang menggema dalam lorong-lorong sempit sejarah, dan merasuk ke dalam jiwa-jiwa yang terusik oleh ketidakadilan. Karyanya tidak hanya bercerita tentang perjuangan manusia melawan kolonialisme, tetapi juga menghadirkan cermin yang memantulkan wajah Indonesia di setiap zaman.

Pram tidak menulis untuk menghibur; ia menulis untuk melawan. Setiap tokohnya adalah serpihan jiwa yang berani menantang kebekuan. Nyai Ontosoroh, dalam "Bumi Manusia," adalah sosok yang menolak tunduk pada takdir yang dirancang oleh sistem kolonial. Ia adalah ibu yang tak hanya melawan untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan anaknya. Sedang Minke, pemuda cerdas dan gelisah, adalah gambaran semangat intelektual yang mencoba menerobos tembok-tembok ketertindasan. Mereka bukan hanya tokoh, tetapi nyawa yang berdenyut dalam realitas kita hari ini.

Karya-karya Pram mengajarkan bahwa keadilan sosial adalah mimpi yang harus diperjuangkan, bukan hanya dipandang dari kejauhan. Dalam konteks Indonesia kontemporer, kesenjangan sosial yang ia gambarkan melalui tokoh-tokohnya tetap hidup dalam wajah-wajah pemulung di bawah bayang-bayang gedung pencakar langit. Di balik senyum yang terpaksa mereka ukir, tersembunyi rasa lelah yang tak kunjung usai, seperti beban yang terus-menerus dipikul tanpa akhir. Gedung-gedung megah itu, dengan kaca-kaca yang memantulkan cahaya matahari, berdiri tegak sebagai monumen ketimpangan, memperlihatkan ironi yang tak tertahankan antara mereka yang memiliki segalanya dan mereka yang tak memiliki apa-apa.

Nyai Ontosoroh yang harus mempertahankan hak atas tanah dan anaknya adalah cerminan perjuangan rakyat kecil yang mencoba bertahan di tengah arus kapitalisme yang tak berbelas kasih. Ia melawan, bukan dengan senjata, tetapi dengan kecerdasan dan keberanian yang melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh masyarakatnya. Dalam setiap langkah yang diambilnya, Nyai mengajarkan bahwa melawan bukan hanya tentang keberanian, tetapi juga tentang keteguhan untuk tidak menyerah pada sistem yang dirancang untuk menundukkan. Dalam kehidupan modern, perjuangan ini tetap hidup, terlihat dalam wajah-wajah para petani yang digusur dari tanah mereka sendiri, dalam jeritan para pekerja yang diperas tenaganya tanpa upah yang layak. Mereka adalah Nyai-Nyai baru, yang terus melawan, sering kali dalam kesunyian yang tidak tercatat oleh sejarah.

Tidak hanya itu, isu ketidakadilan gender yang Pram tuangkan melalui kisah Nyai Ontosoroh menggema hingga hari ini. Di dunia modern, perempuan masih harus berjuang melawan belenggu budaya patriarki yang membatasi ruang gerak mereka. Nyai adalah simbol keberanian, sebuah api kecil yang menyulut semangat perempuan masa kini untuk melawan diskriminasi. "Aku ingin menjadi manusia bebas," katanya, sebuah deklarasi yang terus menggema dalam perlawanan perempuan Indonesia terhadap berbagai bentuk ketidakadilan.

Namun, karya Pram tidak berhenti pada kritik sosial. Ia juga menghadirkan perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim. Dalam "Rumah Kaca," Pram mencatat bagaimana penguasa menggunakan ketakutan untuk mengontrol rakyat. "Ada banyak cara untuk memerintah, tetapi ketakutan adalah yang paling ampuh," tulisnya. Kata-kata ini menjadi peringatan abadi, bahwa meski bentuk kekuasaan telah berubah, bayang-bayang otoritarianisme tetap mengintai. Penguasa yang berwajah modern mungkin tak lagi memegang cambuk di tangan, tetapi mereka memegang kendali melalui aturan-aturan yang mencengkeram, melalui propaganda yang menyusup hingga ke sudut-sudut pikiran. Dalam konteks era digital, ancaman terhadap kebebasan berekspresi melalui regulasi yang mengekang adalah cerminan dari mekanisme lama yang diperbarui. Sensor tidak lagi berbentuk larangan terang-terangan, melainkan dibungkus oleh narasi kepentingan umum, sementara suara-suara yang berani bertanya disisihkan dalam sunyi yang menganga.

Ketakutan bukan hanya alat, tetapi sistem yang dibangun untuk melahirkan kepatuhan. Dalam "Rumah Kaca," Pram menunjukkan bagaimana pengawasan menjadi senjata paling efektif untuk menundukkan jiwa manusia. Seperti cermin yang memantulkan setiap gerakan, kekuasaan menciptakan rasa waspada yang terus-menerus. Dalam dunia saat ini, teknologi menjadi medium baru bagi penguasa untuk mengawasi tanpa terlihat, menciptakan ruang publik yang serupa penjara tanpa jeruji. Data pribadi menjadi mata uang yang diperdagangkan, dan setiap langkah warganegara direkam tanpa sepengetahuan mereka. Era digital, yang menjanjikan kebebasan, malah menjelma menjadi alat baru untuk pengekangan.

Akan tetapi, Pram juga mengajarkan bahwa perlawanan selalu mungkin. Ia menunjukkan bahwa keberanian untuk melawan ketakutan adalah langkah awal menuju kebebasan sejati. Dalam setiap narasi yang ia tulis, ia menanamkan harapan bahwa kendati kekuasaan begitu besar, selalu ada celah untuk melawan. Seperti Minke yang terus menulis meski dunia sekitarnya mencoba membungkamnya, generasi hari ini juga diajak untuk menggunakan pena, suara, dan tindakan mereka sebagai alat perlawanan terhadap penindasan, bagaimanapun bentuknya.

Pramoedya juga mengajarkan bahwa sejarah bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi sebuah pelajaran yang harus terus dihidupkan. "Sejarah adalah guru yang tidak pernah berbohong," ujarnya dalam "Jejak Langkah." Ia mengingatkan kita untuk menggali akar identitas, untuk tidak kehilangan diri dalam arus globalisasi yang deras. Sejarah, baginya, adalah lentera yang menuntun kita melintasi lorong waktu, menyibak kabut masa lalu untuk menemukan pijakan di masa depan. Dalam setiap peristiwa yang ia ceritakan, ada pesan mendalam bahwa sejarah bukan hanya untuk diingat, tetapi untuk dijadikan pelajaran. Bahwa kesalahan yang pernah terjadi, jika diabaikan, akan kembali terulang dalam rupa yang berbeda. Ia mengajak pembaca untuk menyelami kembali masa lalu bangsa ini, mengenal tokoh-tokoh yang terpinggirkan oleh narasi resmi, dan memberi mereka suara di panggung ingatan kolektif.

Dalam dunia yang semakin terhubung, kesadaran akan sejarah dan identitas menjadi kunci untuk membangun masa depan yang berdaulat. Arus globalisasi memang tak terbendung, tetapi Pram mengingatkan bahwa akar identitas tidak boleh tercerabut. Di balik setiap lembar sejarah ada kebanggaan yang harus dirawat, bukan sebagai romantisme kosong, tetapi sebagai pondasi yang kokoh untuk menghadapi tantangan zaman. "Manusia tanpa sejarah adalah manusia tanpa arah," seolah ia berbisik, mengingatkan kita bahwa perjalanan ke depan hanya mungkin jika kita memahami jalan yang telah dilalui.

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar untaian kata yang disusun dengan rapi, tetapi sebuah warisan yang hidup, mercusuar yang menuntun generasi muda untuk memahami bahwa membaca bukanlah aktivitas pasif. Sebaliknya, membaca adalah panggilan untuk bertindak, untuk bergerak melawan kebodohan, ketidakadilan, dan penindasan yang berakar dari sejarah panjang bangsa ini. Pram, dalam karya-karyanya, tidak hanya menggambarkan cerita, tetapi menuliskan napas perjuangan, jerit mereka yang tertindas, dan bisikan harapan yang terus menggema meski dalam keterbatasan.

Minke, tokoh dalam tetralogi "Bumi Manusia," pernah berkata, "Kita hanya bisa melawan mereka dengan ilmu." Kalimat ini bukan sekadar ungkapan seorang pemuda dalam narasi fiksi. Ia adalah mantra perjuangan, seruan bagi setiap anak bangsa untuk memandang pendidikan sebagai senjata paling ampuh melawan diskriminasi, kebodohan, dan tirani. Pendidikan, dalam pandangan Pram, bukan sekadar hafalan teori di balik meja kelas, tetapi keberanian untuk memahami dunia dan mempersoalkan ketidakadilan yang merayap dalam setiap sudut kehidupan. Ilmu bukan sekadar sarana untuk mengangkat derajat hidup, melainkan obor yang menyalakan semangat untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Pramoedya Ananta Toer adalah seorang pendongeng yang tidak hanya bercerita, tetapi menciptakan cermin besar untuk bangsa ini. Melalui cermin itu, kita melihat wajah kita sendiri --- wajah yang mungkin telah terlupakan oleh gemuruh zaman. Ia menuliskan sejarah dengan tangan yang gemetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena menyadari bahwa setiap kata yang ia ukir mengandung nyawa, mengandung keberanian untuk mengungkapkan kebenaran yang sering kali dikubur oleh mereka yang berkuasa. Dalam setiap kalimatnya, ia mengingatkan bahwa sejarah bukanlah milik penguasa, tetapi milik mereka yang berani melawan lupa.

Membaca karya Pram adalah membaca luka yang belum sepenuhnya sembuh, luka yang mengajarkan bahwa perjuangan adalah sebuah siklus tanpa akhir. Ia mengajarkan kita untuk tidak berhenti pada pemahaman, tetapi melangkah lebih jauh ke tindakan. Dalam karya-karyanya, kita diajak menyelami kehidupan mereka yang terpinggirkan, mereka yang suaranya sering kali ditelan oleh gemuruh kepentingan. Ia memaksa kita untuk bertanya: Apakah ilmu yang kita kejar selama ini telah menjadikan kita lebih manusiawi? Ataukah justru membuat kita semakin jauh dari akar kemanusiaan kita?

Pram tidak sekadar menulis, ia merekam. Ia merekam jerit perempuan-perempuan yang kehilangan haknya, pemuda-pemuda yang dicabut dari mimpinya, dan rakyat jelata yang dihimpit oleh kekuasaan yang rakus. Dalam setiap ceritanya, ia menunjukkan bahwa perjuangan bukan hanya milik mereka yang berada di medan perang, tetapi juga milik setiap individu yang berani melawan ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengajarkan bahwa keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, tetapi kemampuan untuk bertindak meskipun takut.

Melalui tokoh-tokohnya, seperti Minke, Nyai Ontosoroh, Pram menggambarkan bahwa pendidikan sejati adalah yang melampaui tembok-tembok sekolah. Pendidikan sejati adalah yang mengajarkan keberanian untuk mempertanyakan apa yang dianggap benar, untuk melawan kebiasaan yang salah, dan untuk membela mereka yang tak mampu membela diri. Ia menuliskan bahwa kemerdekaan sejati hanya dapat dicapai jika setiap individu memiliki kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, dan keberanian untuk memperjuangkan kebenaran.

Dalam dunia yang semakin digerakkan oleh teknologi dan informasi, pesan Pram tetap relevan. Ia mengingatkan kita bahwa pengetahuan yang kita miliki harus digunakan untuk membangun, bukan menghancurkan; untuk menyatukan, bukan memecah-belah. Ia menulis untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan. Karyanya adalah api yang tak pernah padam, menerangi jalan bagi mereka yang tersesat dalam gelapnya ketidaktahuan.

Pramoedya Ananta Toer adalah suara yang tak pernah hilang, meskipun ia telah tiada. Suaranya terus menggema dalam setiap lembar bukunya, dalam setiap pembaca yang terinspirasi oleh keberaniannya, dan dalam setiap tindakan yang lahir dari pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menulis bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk bangsa ini, untuk kita semua yang masih berjuang mencari makna dalam kehidupan yang penuh dengan paradoks. Ia adalah pengingat bahwa perjuangan belum selesai, bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan apa yang telah dimulai.

Membaca Pram adalah membaca diri kita sendiri. Dalam setiap ceritanya, ia menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari sejarah yang sedang berlangsung, bahwa setiap langkah kita hari ini akan menjadi cerita bagi generasi mendatang. Ia mengajarkan bahwa harapan adalah kekuatan terbesar yang dimiliki manusia, dan bahwa selama masih ada harapan, perjuangan akan selalu memiliki makna. Pramoedya Ananta Toer adalah mercusuar itu, penunjuk jalan dalam gelap, pengingat bahwa ilmu dan keberanian adalah dua sisi dari koin yang sama, keduanya diperlukan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun