Mohon tunggu...
arif ardiansyah
arif ardiansyah Mohon Tunggu... Dosen - dosen

Saya suka touring motor untuk mengeksplorasi daerah dan menemukan petualangan baru di setiap perjalanan. Selain itu, saya memiliki minat mendalam sastra, filsafat, dan budaya, yang memperkaya pemahaman saya tentang dunia dan kehidupan. Saya juga suka mengajar, berbagi pengetahuan, dan inspirasi dengan orang lain, menjadikan pengalaman belajar sebagai perjalanan yang bermakna bagi saya dan mahasiswa saya

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Relevansi Karya Pram terhadap Kondisi Indonesia Kontemporer

21 Januari 2025   18:04 Diperbarui: 21 Januari 2025   18:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pramoedya juga mengajarkan bahwa sejarah bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi sebuah pelajaran yang harus terus dihidupkan. "Sejarah adalah guru yang tidak pernah berbohong," ujarnya dalam "Jejak Langkah." Ia mengingatkan kita untuk menggali akar identitas, untuk tidak kehilangan diri dalam arus globalisasi yang deras. Sejarah, baginya, adalah lentera yang menuntun kita melintasi lorong waktu, menyibak kabut masa lalu untuk menemukan pijakan di masa depan. Dalam setiap peristiwa yang ia ceritakan, ada pesan mendalam bahwa sejarah bukan hanya untuk diingat, tetapi untuk dijadikan pelajaran. Bahwa kesalahan yang pernah terjadi, jika diabaikan, akan kembali terulang dalam rupa yang berbeda. Ia mengajak pembaca untuk menyelami kembali masa lalu bangsa ini, mengenal tokoh-tokoh yang terpinggirkan oleh narasi resmi, dan memberi mereka suara di panggung ingatan kolektif.

Dalam dunia yang semakin terhubung, kesadaran akan sejarah dan identitas menjadi kunci untuk membangun masa depan yang berdaulat. Arus globalisasi memang tak terbendung, tetapi Pram mengingatkan bahwa akar identitas tidak boleh tercerabut. Di balik setiap lembar sejarah ada kebanggaan yang harus dirawat, bukan sebagai romantisme kosong, tetapi sebagai pondasi yang kokoh untuk menghadapi tantangan zaman. "Manusia tanpa sejarah adalah manusia tanpa arah," seolah ia berbisik, mengingatkan kita bahwa perjalanan ke depan hanya mungkin jika kita memahami jalan yang telah dilalui.

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar untaian kata yang disusun dengan rapi, tetapi sebuah warisan yang hidup, mercusuar yang menuntun generasi muda untuk memahami bahwa membaca bukanlah aktivitas pasif. Sebaliknya, membaca adalah panggilan untuk bertindak, untuk bergerak melawan kebodohan, ketidakadilan, dan penindasan yang berakar dari sejarah panjang bangsa ini. Pram, dalam karya-karyanya, tidak hanya menggambarkan cerita, tetapi menuliskan napas perjuangan, jerit mereka yang tertindas, dan bisikan harapan yang terus menggema meski dalam keterbatasan.

Minke, tokoh dalam tetralogi "Bumi Manusia," pernah berkata, "Kita hanya bisa melawan mereka dengan ilmu." Kalimat ini bukan sekadar ungkapan seorang pemuda dalam narasi fiksi. Ia adalah mantra perjuangan, seruan bagi setiap anak bangsa untuk memandang pendidikan sebagai senjata paling ampuh melawan diskriminasi, kebodohan, dan tirani. Pendidikan, dalam pandangan Pram, bukan sekadar hafalan teori di balik meja kelas, tetapi keberanian untuk memahami dunia dan mempersoalkan ketidakadilan yang merayap dalam setiap sudut kehidupan. Ilmu bukan sekadar sarana untuk mengangkat derajat hidup, melainkan obor yang menyalakan semangat untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Pramoedya Ananta Toer adalah seorang pendongeng yang tidak hanya bercerita, tetapi menciptakan cermin besar untuk bangsa ini. Melalui cermin itu, kita melihat wajah kita sendiri --- wajah yang mungkin telah terlupakan oleh gemuruh zaman. Ia menuliskan sejarah dengan tangan yang gemetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena menyadari bahwa setiap kata yang ia ukir mengandung nyawa, mengandung keberanian untuk mengungkapkan kebenaran yang sering kali dikubur oleh mereka yang berkuasa. Dalam setiap kalimatnya, ia mengingatkan bahwa sejarah bukanlah milik penguasa, tetapi milik mereka yang berani melawan lupa.

Membaca karya Pram adalah membaca luka yang belum sepenuhnya sembuh, luka yang mengajarkan bahwa perjuangan adalah sebuah siklus tanpa akhir. Ia mengajarkan kita untuk tidak berhenti pada pemahaman, tetapi melangkah lebih jauh ke tindakan. Dalam karya-karyanya, kita diajak menyelami kehidupan mereka yang terpinggirkan, mereka yang suaranya sering kali ditelan oleh gemuruh kepentingan. Ia memaksa kita untuk bertanya: Apakah ilmu yang kita kejar selama ini telah menjadikan kita lebih manusiawi? Ataukah justru membuat kita semakin jauh dari akar kemanusiaan kita?

Pram tidak sekadar menulis, ia merekam. Ia merekam jerit perempuan-perempuan yang kehilangan haknya, pemuda-pemuda yang dicabut dari mimpinya, dan rakyat jelata yang dihimpit oleh kekuasaan yang rakus. Dalam setiap ceritanya, ia menunjukkan bahwa perjuangan bukan hanya milik mereka yang berada di medan perang, tetapi juga milik setiap individu yang berani melawan ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengajarkan bahwa keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, tetapi kemampuan untuk bertindak meskipun takut.

Melalui tokoh-tokohnya, seperti Minke, Nyai Ontosoroh, Pram menggambarkan bahwa pendidikan sejati adalah yang melampaui tembok-tembok sekolah. Pendidikan sejati adalah yang mengajarkan keberanian untuk mempertanyakan apa yang dianggap benar, untuk melawan kebiasaan yang salah, dan untuk membela mereka yang tak mampu membela diri. Ia menuliskan bahwa kemerdekaan sejati hanya dapat dicapai jika setiap individu memiliki kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, dan keberanian untuk memperjuangkan kebenaran.

Dalam dunia yang semakin digerakkan oleh teknologi dan informasi, pesan Pram tetap relevan. Ia mengingatkan kita bahwa pengetahuan yang kita miliki harus digunakan untuk membangun, bukan menghancurkan; untuk menyatukan, bukan memecah-belah. Ia menulis untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan. Karyanya adalah api yang tak pernah padam, menerangi jalan bagi mereka yang tersesat dalam gelapnya ketidaktahuan.

Pramoedya Ananta Toer adalah suara yang tak pernah hilang, meskipun ia telah tiada. Suaranya terus menggema dalam setiap lembar bukunya, dalam setiap pembaca yang terinspirasi oleh keberaniannya, dan dalam setiap tindakan yang lahir dari pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menulis bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk bangsa ini, untuk kita semua yang masih berjuang mencari makna dalam kehidupan yang penuh dengan paradoks. Ia adalah pengingat bahwa perjuangan belum selesai, bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan apa yang telah dimulai.

Membaca Pram adalah membaca diri kita sendiri. Dalam setiap ceritanya, ia menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari sejarah yang sedang berlangsung, bahwa setiap langkah kita hari ini akan menjadi cerita bagi generasi mendatang. Ia mengajarkan bahwa harapan adalah kekuatan terbesar yang dimiliki manusia, dan bahwa selama masih ada harapan, perjuangan akan selalu memiliki makna. Pramoedya Ananta Toer adalah mercusuar itu, penunjuk jalan dalam gelap, pengingat bahwa ilmu dan keberanian adalah dua sisi dari koin yang sama, keduanya diperlukan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun