Mohon tunggu...
Arif Alfi Syahri
Arif Alfi Syahri Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

"Hanya Mahasiswa biasa yang mencoba untuk berkarya." •Jurusan : PAI, STAI-PIQ Sumatera Barat •Instagram : @muhammadarifalfisyahri •Email : arifalfisyahri94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Padri: Pertentangan Kaum Adat-Ulama dan Siasat Belanda

14 Juli 2021   17:38 Diperbarui: 14 Juli 2021   18:00 2657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perang Padri | Penasantri.id

1. Prolog

Pemerintahan kolonial Belanda yang menggantikan kekuasaan VOC ternyata tidak mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Sebaliknya, rakyat Indonesia justru makin melarat karena pemerintahan kolonial lebih mengutamakan kepentingan Belanda dan mengabaikan penderitaan bangsa Indonesia. Akibatnya, muncul perlawanan di berbagai daerah, termasuk di Minangkabau.

Namun, jika perlawanan di berbagai daerah di Nusantara didasarkan pada rasa tak puas hati terhadap pemerintahan kolonial, peperangan di Minangkabau diawali dari konflik internal masyarakat. Lebih tepatnya perselisihan antara kaum adat dan Ulama. Perang ini kemudian disebut sebagai Perang Padri, Padri (Padeeri) sendiri ialah istilah pemerintahan Belanda untuk menyebut kaum Ulama.

2. Awal Mula Pertentangan Kaum Adat dan Ulama

Pada abad ke-19, kaum Ulama baru pulang dari menunaikan haji di tanah suci Makkah. Pada masa itu keberadaan kaum Ulama di Minangkabau sangat mudah dikenali. Mereka biasa menggunakan jubah putih, surban dan memanjangkan janggut. Sementara itu terdapat kaum adat yang konsisten mempertahankan tradisi dan kebiasaan lama mereka.

Yang menjadi persoalan, tradisi atau budaya tersebut bertentangan dengan nilai-nilai syariat. Seperti berjudi, menyabung ayam dan mabuk-mabukan. Oleh sebab itu kaum Ulama berupaya untuk memperbaiki moral dan membawa masyarakat kepada Islam yang murni. Dari sinilah pergerakan kaum Padri dimulai.

Gerakan yang terorganisir terus dilakukan hingga kemudian kaum Padri memiliki pengaruh besar di bumi Minangkabau. Gerakan tersebut dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh yang kemudian digantikan oleh Datuk Bandaharo, Tuanku Pasamah dan Seorang pemimpin kharismatik yaitu Malim Basa atau yang lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol

3. Jalannya Peperangan

Kaum adat yang terdiri dari para raja dan bangsawan merasa resah dengan semakin pesatnya perkembangan gerakan kaum Padri, mereka pun melakukan perlawanan. Namun perlawanan yang dipimpin oleh Suraso dapat dikalahkan oleh kaum Padri. Bahkan sebagian besar kaum adat diusir dari Minangkabau.

Pasca kekalahan tersebut, kaum adat kemudian meminta bantuan kepada Belanda. Dalam sebuah perjanjian pada tanggal 10 Februari 1821 kaum adat secara resmi menyerahkan Minangkabau kepada Belanda.

Secara umum Perang Padri dibagi menjadi tiga fase:

a. Fase Pertama (1821-1825)

Fase pertama ditandai dengan penyerangan di pos-pos patroli Belanda yang dipimpin oleh Tuanku Pasamah dan Tuanku Nan Renceh. Kaum Padri menang telak atas Belanda dan kaum adat serta berhasil menguasai Sungai Puar, Guguk Sigandang, Tajong Alam dan Bonio.

Perlawanan kaum Padri membuat Belanda kewalahan. Oleh sebab itu, Belanda menempuh jalan damai. Pada tanggal 26 Januari 1924 Belanda dan kaum Padri sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Namun pada masa-masa damai itu, Belanda justru berhasil menguasai kembali beberapa wilayah yang sebelumnya dikuasai kaum Padri. Merasa dikhianati, Tuanku Imam Bonjol membatalkan gencatan senjata dan melakukan perlawanan kembali terhadap Belanda.

b. Fase Kedua (1825-1830)

Pada fase kedua, Perang Padri terjadi bersamaan dengan Perang Diponegoro di Jawa. Belanda kewalahan pada Perang Diponegoro dan memaksa mereka menarik pasukannya yang ada di berbagai daerah untuk membantu memerangi pasukan Diponegoro. Karena itu, Kolonel De Strues mengajak kaum Padri untuk mengadakan perundingan damai. Belanda berusaha meyakinkan Tuanku Imam Bonjol dengan mengutus seorang saudagar keturunan Arab, yaitu Sulaiman Aljufri untuk membujuk kaum Padri agar bersedia melakukan gencatan senjata.

Pada tanggal 15 November 1925, kaum Padri dan Belanda menandatangani kesepakatan dalam sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Padang. Meskipun sudah menandatangani kesepakatan, Tuanku Imam Bonjol tetap teguh dan kukuh tidak akan bersedia berdamai dengan Belanda. Masa damai ini juga dimanfaatkan oleh kaum Padri untuk menghimpun kekuatan dan melakukan serangan ke wilayah kekuasaan kaum adat.

Dilain pihak, kaum adat justru kecewa karena Belanda melakukan perdamaian dengan kaum Padri, jauh dari apa yang diharapkan oleh kaum adat. 

c. Fase Ketiga (1830-1838)

Pada tahun 1830, Belanda berhasil memenangkan Perang Diponegoro dengan strategi yang dikenal sebagai benteng stelsel. Strategi tersebut juga diterapkan untuk mempersempit ruang gerak kaum Padri. Tak hanya itu, Belanda juga menerapkan taktik yang disebut dengan winning the heart untuk meraih simpati masyarakat Sumatera Barat terutama kaum Padri. Pasukan Padri pun mulai terdesak dan beberapa pemimpinnya menyerah. Akibatnya Tuanku Imam Bonjol harus turun tangan berjibaku memimpin peperangan.

Berbeda dari fase sebelumnya, kaum adat yang mulanya amat membenci kaum Padri kini menentukan sikap untuk mendukung kaum Padri karena merasa dipermainkan oleh Belanda. Kaum adat dan kaum Padri bergerilya melawan pasukan Belanda yang berusaha merebut wilayah kekuasaan. Untuk menghadapi kekuatan besar ini, Belanda mendatangkan pasukan bantuan dari Jawa yang sebelumnya memenangkan Perang Diponegoro dalam jumlah yang besar. Bantuan dari Jawa inilah yang membuat kaum adat dan kaum Padri semakin terdesak.

4. Akhir Perjuangan

Belanda kemudian mengepung benteng Bonjol yang merupakan pusat kekuatan kaum Padri. Pada tanggal 16 Agustus 1837, setelah melalui pertempuran sengit Belanda berhasil menguasai benteng Bonjol. Namun Tuanku Imam Bonjol dan beberapa pejuang lainnya berhasil meloloskan diri. Residen Francis kemudian menyerukan perundingan kepada imam Bonjol

Dalam perundingan di Palupuh tanggal 28 Oktober 1837 Imam Bonjol berhasil ditangkap dan diasingkan ke Manado. Penangkapan tersebut menjadi akhir perjuangan dan meruntuhkan perlawanan kaum Padri. Dominasi dan hegemoni kekuasaan Belanda tidak dapat dibendung. 

5. Monolog

Perang Padri telah berakhir, namun ceritanya masih mengalir hingga kini. Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa panjang yang penuh konflik ini. Diantaranya menjauhi sikap egoisme dan fanatisme berlebihan yang membahayakan, memperkuat persatuan agar kokoh dan tidak roboh oleh apapun yang hendak menghancurkan dan senantiasa menjaga ukhwah agar kita tidak mudah terpecah belah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun