Mohon tunggu...
Arif Alfi Syahri
Arif Alfi Syahri Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

"Hanya Mahasiswa biasa yang mencoba untuk berkarya." •Instagram : @alviysyahri •Email : arifalfisyahri94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Padri: Pertentangan Kaum Adat-Ulama dan Siasat Belanda

14 Juli 2021   17:38 Diperbarui: 14 Juli 2021   18:00 2657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca kekalahan tersebut, kaum adat kemudian meminta bantuan kepada Belanda. Dalam sebuah perjanjian pada tanggal 10 Februari 1821 kaum adat secara resmi menyerahkan Minangkabau kepada Belanda.

Secara umum Perang Padri dibagi menjadi tiga fase:

a. Fase Pertama (1821-1825)

Fase pertama ditandai dengan penyerangan di pos-pos patroli Belanda yang dipimpin oleh Tuanku Pasamah dan Tuanku Nan Renceh. Kaum Padri menang telak atas Belanda dan kaum adat serta berhasil menguasai Sungai Puar, Guguk Sigandang, Tajong Alam dan Bonio.

Perlawanan kaum Padri membuat Belanda kewalahan. Oleh sebab itu, Belanda menempuh jalan damai. Pada tanggal 26 Januari 1924 Belanda dan kaum Padri sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Namun pada masa-masa damai itu, Belanda justru berhasil menguasai kembali beberapa wilayah yang sebelumnya dikuasai kaum Padri. Merasa dikhianati, Tuanku Imam Bonjol membatalkan gencatan senjata dan melakukan perlawanan kembali terhadap Belanda.

b. Fase Kedua (1825-1830)

Pada fase kedua, Perang Padri terjadi bersamaan dengan Perang Diponegoro di Jawa. Belanda kewalahan pada Perang Diponegoro dan memaksa mereka menarik pasukannya yang ada di berbagai daerah untuk membantu memerangi pasukan Diponegoro. Karena itu, Kolonel De Strues mengajak kaum Padri untuk mengadakan perundingan damai. Belanda berusaha meyakinkan Tuanku Imam Bonjol dengan mengutus seorang saudagar keturunan Arab, yaitu Sulaiman Aljufri untuk membujuk kaum Padri agar bersedia melakukan gencatan senjata.

Pada tanggal 15 November 1925, kaum Padri dan Belanda menandatangani kesepakatan dalam sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Padang. Meskipun sudah menandatangani kesepakatan, Tuanku Imam Bonjol tetap teguh dan kukuh tidak akan bersedia berdamai dengan Belanda. Masa damai ini juga dimanfaatkan oleh kaum Padri untuk menghimpun kekuatan dan melakukan serangan ke wilayah kekuasaan kaum adat.

Dilain pihak, kaum adat justru kecewa karena Belanda melakukan perdamaian dengan kaum Padri, jauh dari apa yang diharapkan oleh kaum adat. 

c. Fase Ketiga (1830-1838)

Pada tahun 1830, Belanda berhasil memenangkan Perang Diponegoro dengan strategi yang dikenal sebagai benteng stelsel. Strategi tersebut juga diterapkan untuk mempersempit ruang gerak kaum Padri. Tak hanya itu, Belanda juga menerapkan taktik yang disebut dengan winning the heart untuk meraih simpati masyarakat Sumatera Barat terutama kaum Padri. Pasukan Padri pun mulai terdesak dan beberapa pemimpinnya menyerah. Akibatnya Tuanku Imam Bonjol harus turun tangan berjibaku memimpin peperangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun