1. PrologÂ
 Pemerintahan Orde Baru dikenal sebagai pemerintahan yang otoriter. Diskrimasi, tindak korupsi, kolusi dan nepotisme serta kebijakan yang sarat kontroversi menjadi hal yang tak dapat dipisahkan dari rezim Soeharto. Tahun 1998 adalah tahun yang memilukan. Penjarahan besar-besaran, kerusuhan dan kericuhan terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Bukan hanya itu, peristiwa 1998 juga menandai berakhirnya masa Orde Baru setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Bagaimana wajah otoritarian Orde Baru? Mengapa peristiwa bersejarah ini bisa terjadi? Siapa dalangnya? dan apa yang melatarbelakanginya?
2. Pembungkaman Pers dan Manipulasi Media
 Sudah menjadi rahasia umum, di masa Orde Baru suara yang kritis terhadap pemerintahan dibungkam. Salah satu cara membungkam suara kritis tersebut adalah dengan pengekangan terhadap kebebasan pers. Tak ada kebebasan berbicara, sebab semua harus tunduk pada otoritarianisme rezim Soeharto. Pada 21 Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik. Keputusan pemerintah menutup majalah Tempo, Editor dan Detik diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. Pembredelan tersebut dilakukan dengan alasan pemberitaan Tempo mengenai indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur bisa membahayakan stabilitas nasional. Pada 1972, gelombang pembredelan dimulai lagi ketika pemerintah menutup tabloid mingguan Sendi yang dikelola mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pemicunya adalah liputan media itu yang dengan berani mengulas proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah dan peran istri Presiden, Tien Soeharto, di balik rencana itu. Setahun kemudian, giliran harian Sinar Harapan yang dilarang terbit karena media itu berani menganalisa rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang belum dibahas di DPR. Sejak itu, tabiat Orde Baru dalam menghadapi pers yang kritis dan independen, mulai mirip dengan pendahulunya. Ancaman penutupan, pembredelan dan kooptasi mulai jadi makanan sehari-hari wartawan. Pada 1974, setelah aksi demonstrasi yang berujung rusuh di Jakarta yang belakangan dikenal dengan sebutan peristiwa Malari, pemerintah menutup 12 media massa. Empat tahun kemudian, pada 1978, menyusul serangkaian aksi unjuk rasa di berbagai kampus yang menolak kebijakan normalisasi kehidupan kampus, lagi-lagi pemerintah menutup 14 koran dan pers mahasiswa.
 Bukan hanya pembungkaman terhadap media cetak, media elektronik seperti radio dan televisi dilarang menampilkan wajah garang rezim Orde Baru. RRI maupun TVRI pada saat itu dijadikan alat propaganda bagi pemerintah untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa Indonesia tidak ada masalah dan baik-baik saja.Â
3. Krisis Ekonomi
 Indonesia dilanda badai krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998. Demonstrasi mahasiswa, kerusuhan, hingga penjarahan di sejumlah daerah, khususnya DKI Jakarta. Krisis ekonomi di Asia telah terjadi sejak 1996. Rupiah anjllok, pada Maret 1997, nilai mata uang Rupiah melemah dari Rp2.600 menjadi Rp16 ribu per dolar AS. Padahal, sepanjang 1990-1996, nilai tukar Rupiah berada di angka Rp1.901-Rp2.383 per dolar AS. Tak hanya itu, ratusan perusahaan bangkrut dan harus memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya sehingga makin memperbanyak jumlah pengangguran di Indonesia. Harga-harga kebutuhan pokok melejit drastis. Para investor asing pun ramai-ramai menarik sahamnya dari Indonesia karena dinilai tak lagi aman. Kondisi ekonomi makin diperparah karena tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme oleh pemerintahan rezim Soeharto. Â
4. Pergerakan Mahasiswa
 Presiden Soeharto dinilai gagal dalam memimpin negara. Terlebih saat krisis makin parah pada tahun 1997. Di mata para mahasiswa, merekalah yang harus memulai pergerakan dan perubahan politik yang lebih baik. Menurut mereka, orang-orang dilingkaran Soeharto yang mewarisi kekuasaan tidak dapat dipercaya untuk memperkenalkan demokrasi yang sesungguhnya. Awalnya gelombang protes hanya dilakukan segelintir mahasiswa saja, namun api yang semula kecil itu kini mulai membara. Pergerakan mahasiswa yang terorganisir dimulai dan terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Mereka menuntut agar Presiden Soeharto segera mengundurkan diri.Â
 Gerakan yang terjadi pada tahun 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pendukung demokrasi pada akhir 1990-an di Indonesia. Gerakan ini menjadi monumental karena dianggap berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada tangal 21 Mei 1998, setelah sekitar 32 tahun menduduki jabatan tersebut.
5. Tragedi Trisakti
 Pada 12 Mei, mahasiswa dari berbagai kampus berkumpul di Universitas Trisakti, Jakarta. Jumlahnya tak kurang dari enam ribu orang melakukan demonstrasi berskala besar ke Gedung Nusantara yang dilatarbelakangi krisis moneter dan jatuhnya ekonomi nasional.Â
 Kerusuhan antara mahasiswa, rakyat sipil dan aparat militer tak dapat dibendung, pasukan militer tak segan memukul massa, memburu dan menembak. Peristiwa tersebut menewaskan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti dan puluhan lainnya luka-luka, keempat mahasiswa yang tewas dalam tragedi Trisakti tersebut yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di bagian vital seperti kepala, tenggorokan dan dada. Keadilan masih diperjuangkan sampai detik ini oleh para orang tua korban dan elemen sipil lain yang peduli. Korban tak hanya jatuh pada peristiwa berdarah tersebut, namun juga Tragedi Semanggi I dan II. Hingga kini pengusutan terhadap kasus tersebut belum juga tuntas, perkembangannya kian tak menentu dan masih menyisakan misteri.Â
6. Diskriminasi Etnis Tionghoa
 Kerusuhan pada bulan Mei 1998 menimbulkan banyak korban jiwa, termasuk diantaranya adalah etnis Tionghoa. Puluhan perempuan berdarah Tionghoa diperkosa dan ratusan toko serta rumah mereka dijarah. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tidak mengetahui pasti berapa jumlah wanita Tionghoa yang diperkosa. Namun yang jelas kesulitan hidup dan himpitan ekonomi lah yang menjadi salah satu faktornya.
 Di tahun yang sama banyak saksi mata, pensiunan perwira militer dan tim pencari fakta mengatakan bahwa militerlah yang mengoordinir, memimpin, dan mengatur kekacauan yang memicu rasisme besar-besaran terhadap orang Tionghoa-Indonesia. Diantara kebijakan rasial pemerintahan era Soeharto ialah melarang Perayaan Tahun Baru Imlek, budaya-budaya berbau Tionghoa, termasuk tulisan, pertunjukan barongsai, ritual tradisional, dan nama-nama yang terdengar Tionghoa. Hukum dan peraturan dikeluarkan untuk mendukung diskriminasi rasial ini. Orang Tionghoa-Indonesia diperlakukan seperti orang asing dan dianak tirikan. Mereka menghadapi diskriminasi di hampir semua lini. Bahkan etnis Tionghoa-Indonesia kembali harus menderita pada tahun 1998. Ini bukti bahwa sebagai minoritas, mereka tidak mendapat dukungan baik dari pemerintah maupun mayoritas di masa Orde Baru.
7. Tokoh-tokoh Yang Terlibat
 Komnas HAM dan Tim Pencari Fakta Mei 1998 masing-masing mengungkapkan temuan mereka pada tragedi 1965 dan 1998, bahwa ada pelanggaran HAM berat dan keterlibatan militer dalam kedua kasus tersebut. Namun, tidak ada hukuman bagi para pelakunya. Tidak ada keadilan bagi para korban, penyintas dan keluarganya. Yang paling mencolok ada laporan keterlibatan dua tokoh militer dalam tragedi yang terjadi di tahun 1998, yaitu Wiranto, yang saat itu menjabat sebagai panglima militer dan Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat sebagai seorang perwira militer. Namun keduanya membantah tuduhan bahwa mereka pernah terlibat.Â
 Selain itu, kerusuhan 1998 juga menjadi panggung bagi kekuatan oposisi. Salah satu tokoh yang paling lantang menyuarakan pengunduran diri Soeharto ialah Amien Rais. Ia yang saat itu merupakan tokoh Muhammadiyah bahkan mengancam akan membawa serta satu juta massa ke istana negara. Mendenga rencana tersebut militer pun bersiaga dan menyegel pusat kota Jakarta.Â
8. Berakhirnya Masa Orde Baru
 Tanggal 21 Mei 1998 riwayat kepemimpinan rezim Soeharto pun tamat. Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sehingga posisinya digantikan oleh Baharuddin Jusuf Habibie yang sebelumnya menjabat wakil presiden. Mundurnya Soeharto menandai terwujudnya salah satu agenda reformasi dan akhir dari dominasi Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.Â
9. Transisi Awal Menuju Reformasi
 Diawal kepemimpinan Presiden BJ. Habibie mahasiswa dan rakyat Indonesia mendapat angin segar. Ia menjanjikan sebuah awal yang baru, dan awal yang baru itu sangat menggembirakan. Tahanan politik Soeharto dibebaskan dan pasukan ditarik keluar dari wilayah yang bermasalah seperti Timor Timur.
 Namun Presiden Habibie masih gagal mengatasi krisis ekonomi yang membuat puluhan juta orang menjadi miskin. Dan gagal meyakinkan orang bahwa dia serius untuk memperkenalkan sistem politik yang benar-benar bersih dan demokratis.
 Habibie berkuasa kurang lebih selama 512 hari, sebuah jangka waktu pemerintahan yang pendek. Tetapi, dalam masa pemerintahan yang singkat ia mampu melakukan gebrakan-gebrakan reformis-dialektis dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan HAM serta kajian perempuan. Pada masa krisis itu ia berupaya melahirkan pemerintahan sipil yang demokratis-kritis sebuah angan-angan dalam tekanan rezim otoriter. Pada era pemerintahan Habibie pers memperoleh kebebasannya lewat UU No 40 tahun 1999 tentang pers. Ini menjadi tonggak kebebasan pers di Indonesia yang sebelumnya dibungkam, Habibie juga memberikan kebebasan kepada etnis Tionghoa untuk berbicara dan mengajarkan bahasa Mandarin.Â
 Selain itu, ia juga mengadakan referendum bagi Timor Timur di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memilih merdeka atau otonomi khusus di bawah pemerintah Republik Indonesia. Realitas berkata rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka dari Republik Indonesia dan pemerintahan Habibie menerimanya sebagai hasil dari dialog antara Republik Indonesia dengan Timor Timur. Sebuah keputusan politik yang membuat dirinya kurang populis dan dipandang sebelah mata oleh sebagian publik dan elite politik.Â
10. Epilog
 Sejarah pilu tahun 1998 dan kepemimpinan yang otoritarian memberi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Sebagai satu bangsa kita mesti menerima perbedaan yang ada tanpa memandang ras, budaya dan agama serta mencegah agar benih-benih diskrimasi dan intoleransi tidak tumbuh di negeri ini. Bukan hanya itu, suara kritis terhadap pemerintahan diperlukan sebagai suntikan agar kita mengetahui dimana letak kekurangan bangsa agar bisa lebih baik kedepannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H