Mohon tunggu...
Arif Alfi Syahri
Arif Alfi Syahri Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

"Hanya Mahasiswa biasa yang mencoba untuk berkarya." •Jurusan : PAI, STAI-PIQ Sumatera Barat •Instagram : @muhammadarifalfisyahri •Email : arifalfisyahri94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Wajah Orde Baru: Otoritarian, Kerusuhan 1998 dan Akhir Kekuasaan

1 Juni 2021   22:57 Diperbarui: 10 Juni 2021   11:25 1662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakarta Riots 1998 | Getty Image

1. Prolog 

 Pemerintahan Orde Baru dikenal sebagai pemerintahan yang otoriter. Diskrimasi, tindak korupsi, kolusi dan nepotisme serta kebijakan yang sarat kontroversi menjadi hal yang tak dapat dipisahkan dari rezim Soeharto. Tahun 1998 adalah tahun yang memilukan. Penjarahan besar-besaran, kerusuhan dan kericuhan terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Bukan hanya itu, peristiwa 1998 juga menandai berakhirnya masa Orde Baru setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Bagaimana wajah otoritarian Orde Baru? Mengapa peristiwa bersejarah ini bisa terjadi? Siapa dalangnya? dan apa yang melatarbelakanginya?

2. Pembungkaman Pers dan Manipulasi Media

 Sudah menjadi rahasia umum, di masa Orde Baru suara yang kritis terhadap pemerintahan dibungkam. Salah satu cara membungkam suara kritis tersebut adalah dengan pengekangan terhadap kebebasan pers. Tak ada kebebasan berbicara, sebab semua harus tunduk pada otoritarianisme rezim Soeharto. Pada 21 Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik. Keputusan pemerintah menutup majalah Tempo, Editor dan Detik diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. Pembredelan tersebut dilakukan dengan alasan pemberitaan Tempo mengenai indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur bisa membahayakan stabilitas nasional. Pada 1972, gelombang pembredelan dimulai lagi ketika pemerintah menutup tabloid mingguan Sendi yang dikelola mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pemicunya adalah liputan media itu yang dengan berani mengulas proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah dan peran istri Presiden, Tien Soeharto, di balik rencana itu. Setahun kemudian, giliran harian Sinar Harapan yang dilarang terbit karena media itu berani menganalisa rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang belum dibahas di DPR. Sejak itu, tabiat Orde Baru dalam menghadapi pers yang kritis dan independen, mulai mirip dengan pendahulunya. Ancaman penutupan, pembredelan dan kooptasi mulai jadi makanan sehari-hari wartawan. Pada 1974, setelah aksi demonstrasi yang berujung rusuh di Jakarta yang belakangan dikenal dengan sebutan peristiwa Malari, pemerintah menutup 12 media massa. Empat tahun kemudian, pada 1978, menyusul serangkaian aksi unjuk rasa di berbagai kampus yang menolak kebijakan normalisasi kehidupan kampus, lagi-lagi pemerintah menutup 14 koran dan pers mahasiswa.

 Bukan hanya pembungkaman terhadap media cetak, media elektronik seperti radio dan televisi dilarang menampilkan wajah garang rezim Orde Baru. RRI maupun TVRI pada saat itu dijadikan alat propaganda bagi pemerintah untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa Indonesia tidak ada masalah dan baik-baik saja. 

3. Krisis Ekonomi

 Indonesia dilanda badai krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998. Demonstrasi mahasiswa, kerusuhan, hingga penjarahan di sejumlah daerah, khususnya DKI Jakarta. Krisis ekonomi di Asia telah terjadi sejak 1996. Rupiah anjllok, pada Maret 1997, nilai mata uang Rupiah melemah dari Rp2.600 menjadi Rp16 ribu per dolar AS. Padahal, sepanjang 1990-1996, nilai tukar Rupiah berada di angka Rp1.901-Rp2.383 per dolar AS. Tak hanya itu, ratusan perusahaan bangkrut dan harus memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya sehingga makin memperbanyak jumlah pengangguran di Indonesia. Harga-harga kebutuhan pokok melejit drastis. Para investor asing pun ramai-ramai menarik sahamnya dari Indonesia karena dinilai tak lagi aman. Kondisi ekonomi makin diperparah karena tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme oleh pemerintahan rezim Soeharto.  

4. Pergerakan Mahasiswa

 Presiden Soeharto dinilai gagal dalam memimpin negara. Terlebih saat krisis makin parah pada tahun 1997. Di mata para mahasiswa, merekalah yang harus memulai pergerakan dan perubahan politik yang lebih baik. Menurut mereka, orang-orang dilingkaran Soeharto yang mewarisi kekuasaan tidak dapat dipercaya untuk memperkenalkan demokrasi yang sesungguhnya. Awalnya gelombang protes hanya dilakukan segelintir mahasiswa saja, namun api yang semula kecil itu kini mulai membara. Pergerakan mahasiswa yang terorganisir dimulai dan terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Mereka menuntut agar Presiden Soeharto segera mengundurkan diri. 

 Gerakan yang terjadi pada tahun 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pendukung demokrasi pada akhir 1990-an di Indonesia. Gerakan ini menjadi monumental karena dianggap berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada tangal 21 Mei 1998, setelah sekitar 32 tahun menduduki jabatan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun