9. Transisi Awal Menuju Reformasi
 Diawal kepemimpinan Presiden BJ. Habibie mahasiswa dan rakyat Indonesia mendapat angin segar. Ia menjanjikan sebuah awal yang baru, dan awal yang baru itu sangat menggembirakan. Tahanan politik Soeharto dibebaskan dan pasukan ditarik keluar dari wilayah yang bermasalah seperti Timor Timur.
 Namun Presiden Habibie masih gagal mengatasi krisis ekonomi yang membuat puluhan juta orang menjadi miskin. Dan gagal meyakinkan orang bahwa dia serius untuk memperkenalkan sistem politik yang benar-benar bersih dan demokratis.
 Habibie berkuasa kurang lebih selama 512 hari, sebuah jangka waktu pemerintahan yang pendek. Tetapi, dalam masa pemerintahan yang singkat ia mampu melakukan gebrakan-gebrakan reformis-dialektis dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan HAM serta kajian perempuan. Pada masa krisis itu ia berupaya melahirkan pemerintahan sipil yang demokratis-kritis sebuah angan-angan dalam tekanan rezim otoriter. Pada era pemerintahan Habibie pers memperoleh kebebasannya lewat UU No 40 tahun 1999 tentang pers. Ini menjadi tonggak kebebasan pers di Indonesia yang sebelumnya dibungkam, Habibie juga memberikan kebebasan kepada etnis Tionghoa untuk berbicara dan mengajarkan bahasa Mandarin.Â
 Selain itu, ia juga mengadakan referendum bagi Timor Timur di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memilih merdeka atau otonomi khusus di bawah pemerintah Republik Indonesia. Realitas berkata rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka dari Republik Indonesia dan pemerintahan Habibie menerimanya sebagai hasil dari dialog antara Republik Indonesia dengan Timor Timur. Sebuah keputusan politik yang membuat dirinya kurang populis dan dipandang sebelah mata oleh sebagian publik dan elite politik.Â
10. Epilog
 Sejarah pilu tahun 1998 dan kepemimpinan yang otoritarian memberi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Sebagai satu bangsa kita mesti menerima perbedaan yang ada tanpa memandang ras, budaya dan agama serta mencegah agar benih-benih diskrimasi dan intoleransi tidak tumbuh di negeri ini. Bukan hanya itu, suara kritis terhadap pemerintahan diperlukan sebagai suntikan agar kita mengetahui dimana letak kekurangan bangsa agar bisa lebih baik kedepannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H