Awalnya....
Manusia sudah ditakdirkan berkuasa. Sejak masih bayi, lihatlah tangan kecilnya yang erat menggenggam. Tangannya seolah-olah ingin menguasai segala yang ada disekitarnya. Bila membandingkan dengan anak binatang yang setelah lahir langsung bisa merangkak, manusia tentu saja kalah. Namun setelah manusia menjadi dewasa, dialah yang menjadi penguasa atas binatang tersebut. Kepandaian dan kecerdasan manusia berada di atas binatang.
Melalui gambaran di atas, saya ingin menunjukkan bahwa manusia sejak dari kecilnya memiliki mekanisme untuk membela dirinya, bertahan terhadap situasi sekitarnya dan akhirnya menguasainya. Inilah kira-kira gambaran yang pas dengan teori Darwin tentang Survival of the Fittest,siapa yang terkuat dialah yang bertahan.
Di manapun dan kapanpun manusia selalu ingin berusaha, bertahan dan menguasai. Tanpa mekanisme ini, manusia akan kalah, musnah dan takkan pernah diingat-ingat lagi. Justru karena manusia memiliki kemampuan ini, dia bertahan di muka bumi dan menguasai dunia.
di manapun manusia berada, di situlah dia bertahan dan membela diri. Dia bahkan harus bertarung untuk menguasai, tidak terkecuali di Jakarta.
Jakarta, Medan Pertarungan
Siapa yang memungkiri bahwa sekarang hampir seluruh mata warga Indonesia memandang ke Jakarta. Perhatian dan perasaan terkuras habis untuk memastikan siapa yang akan menguasai Jakarta untuk beberapa tahun ke depan. Tidak hanya itu, bermilyar-milyar uang pun digelontorkan demi meraih kemenangan pilgub Jakarta. Sebab, memang Jakarta menyimpan pesona yang menarik nafsu siapapun orang yang ingin berkuasa di sana.
Jakarta adalah medan pertarungan. Banyak orang bertarung, entah dengan cara halus, entah dengan terang-terangan, entah dengan kecurangan ataupun dengan cara-cara yang tak pernah disangka-sangka. Saling sindir, olok-olokan dan bahkan mengumbar kebencian menjadi makanan sehari-hari. Siapapun yang tidak punya nyali dan tidak berdaya tahan tinggi sudah pasti akan ditendang ke sana kemari oleh media dan masyarakat. Sebab, orang itu “tidak duduk dahulu mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang, dia mampu mengalahkan musuh yang datang dengan dua puluh ribu orang.”
Jakarta tidak ramah bagi mereka yang anti terhadap kebhinekaan. Jakarta itu gudangnya orang dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. Saking banyaknya orang, di manapun kita berada, kita selalu ketemu dengan orang-orang. Mulai dari orang suci sampai pada penjahat tingkat sadis. Dari orang jenius sampai orang yang bodoh.
Jakarta juga tempat mengadu nasib. Tidak peduli kulitnya coklat, hitam, ataupun putih. Semua sama-sama mengadu nasih. Nasib siapa yang sedang baik dan siapa yang buruk, tergantung usaha dan doanya. Nasib baik tentu saja dihasilkan dari usaha yang tidak pernah putus asa. Karena itu, bukanlah hal yang mustahil. Di mana-mana ada gesekan.
Berikut dapat kita simak beberapa kasus yang baru-baru menimpa Ibu Kota tercinta kita, Jakarta:
Kasus Videotron
Siapa yang bisa menyangka, siang bolong saat orang sedang sibuk bekerja dan menyetir mobil, tiba-tiba terdengar desahan di tepi jalan raya. Kasus seperti ini baru kali ini terjadi dan beritanya sudah menyebar hingga ke Manca negara. Dan ini terjadi di Jakarta. Syukurlah, pelaku sudah diciduk. Entah apa dalam pikiran si Hacker Videotron itu? Mungkin bikin sensasi biar jadi terkenal. (sumber di sini)
Kasus Pungli
Kemenhub mendadak menjadi santer sejak diberitakan adanya operasi tangkap tangan atas adanya kasus pungli yang melibatkan beberapa anggotanya. Demikian saya kutip, “uang hasil pungli tersebut ditemukan di lantai enam dan lantai 12. Uang yang ditemukan total sebanyak Rp 60 juta dan dalam rekening penampungan ada Rp 1,2 miliar.” (baca di sini).
Lagi-lagi ini terjadi di jakarta, ibu kota tercinta kita. Kota yang menjadi pusat acuan dan pemberitaan ini lagi-lagi diterpa masalah berat.
Benarkah Jakarta perlu pemimpin santun?
Pak Anies berkata, “hal yang kasar seharusnya juga diperbaiki dengan cara yang santun. Dia menyebut hal itu sebagai rumus yang sederhana. "Jadinya, kalau kita ingin memperbaiki, justru harus didatangkan yang sebaliknya, dan ini rumus sederhana yang saya rasa harus dikembalikan," kata dia. Pak Anies mengatakan, banyak contoh pemimpin yang tegas tetapi selalu berucap dengan kata-kata yang sopan. (baca di sini).
Benar yang dikatakan pak Anies bahwa Jakarta memang butuh orang yang bisa memimpin dengan sopan. Dan tentu saja, pak Anies ingin menunjuk kepada pemimpin Jakarta sekarang ini, yaitu pak Ahok. Masalahnya ialah selama ini pemimpin yang sopan justru kurang menunjukkan taringnya. Karena terlalu sopan, pemimpin mudah untuk “nurut” dengan mereka yang berkuasa untuk menjalankan kepentingannya. Dan lagi-lagi, masyarakat tidak punya tempat untuk mengadu. Masyarakat hanya bisa pasrah kena banjir tahunan yang terjadi di Jakarta.
Lihatlah beberapa tahun yang sudah lewat. Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat menunjukkan tren positif terhadap kebijakan yang diterapkan oleh pemprov DKI. (lihat di sini).
Jakarta tentu saja sedang membangun dirinya. Kembali lagi ke soal di atas bahwa jakarta dipenuhi dengan beragam orang dari berbagai karakter yang tidak sama. Karena itu, butuh orang yang mampu bertahan dengan kerja keras dan kerja cerdas.
Survival of the Fittest: Bukan soal alim dan sopan, tapi cerdas
Siapapun yang menjadi pemimpin Jakarta ke depannya, dia memiliki kemampuan untuk menjalankan roda pemerintahan. Kecerdasan dalam membangun visi misi yang membangun dan kepekaan terhadap rakyat kecil haruslah menjadi kunci dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang diambil.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H