Untuk itu sebaiknya dalam rumah tangga ada pembagian peran yang seimbang. Seperti misalnya istri saya bekerja di kantoran. Sudah otomatis banyak waktu yang teralokasi di sana. Dan itu yang membuat saya mengambil pilihan untuk lebih banyak mengambil peran di ranah domestik.Â
Meski begitu saya tetap bekerja dari rumah. Itu pun tidak banyak menyita waktu. Sebab sudah ada yang menggantikan posisi saya untuk mengurus ini dan itu.
Dalam pandangan patriarkis, mungkin orang seperti saya akan jadi obyek bisik-bisik tetangga. Sebab kalangan masyarakat patriarkis menilai bahwa pekerjaan dari nyeboki, mandiin, nyuapin anak, nyuci piring, baju ngepel dan seabrek pekerjaan domestik lainnya adalah urusan kaum perempuan.
Untung saja saya tidak mewarisi budaya berumah tangga begitu. Saya kira pembagian peran yang sehat itu jauh lebih baik.
***
Salah satu teori pengasuhan anak dalam membersamainya secara psikis adalah jangan sering menggunakan kata-kata larangan. Kalau apa-apa dilarang anak punya dua pilihan yaitu menurut atau melawan. Kalau anak menurut apa kata orangtua, ayah dan ibunya yang senang, meski belum tentu anak ikut senang. Dan kalau anak kerap melawan, orang tua lazim menganggapnya tidak patuh, ngeyel, membangkang dan cap negatif lainnya.
Selain itu problem yang nyaris terjadi pada anak adalah kerap dibanding-bandingkan. Disadari atau tidak bahwa banyak orangtua yang suka membandingkan anaknya dengan perbandingan anak-anak lain yang mempunyai kualifikasi lebih tinggi.Â
Anak orang lain yang seusianya sudah bisa begini begitu misalnya, sementara anaknya sendiri belum bisa. Dan umumnya niatan orangtua membandingkan begitu supaya anaknya termotivasi. Namun sayangnya yang terjadi justru sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H