Dulu waktu artikel saya perihal parenting dimuat di sebuah surat kabar lokal, seorang rekan kerja berujar secara spontan, memangnya sudah punya anak, kok menulis tentang parenting. Sekilas tentu Anda tahu pertanyaan itu arahnya ke mana.
Tetapi di benak saya yang muncul adalah pertanyaan apakah ilmu parenting boleh dipelajari lalu dipraktikkan jika sudah punya anak? Bicara soal anak, saya kira pemaknaanya sangat luas. Pengertian anak bisa berarti anak didik, anak asuh, anak angkat, anak jalanan, anak musalla, anak masjid dan anak-anak lainnya.
Jadi tidak ada dalil yang menghukumi melarangnya untuk mempelajari ilmu parenting. Justru jadi lebih utama mempelajarinya apalagi bagi yang sudah punya anak entah dalam arti secara biologis atau anak dalam pengertian yang lebih luas.
Dan penyebutan ayah dan ibu juga bukan sebatas karena punya hubungan satu darah. Tetapi sebuah peranan yang bisa dijalankan oleh siapa saja. Sebab kalau ada anak yatim atau piatu siapa yang akan menggantikan peran ayah atau ibunya? Tentu saja orang-orang terdekatnya. Atau kalau ayah dan ibu bekerja di luar rumah semua, siapa yang akan memenuhi hak-hak anak?
Yang lazim orangtua lakukan adalah mewakilkannya pada asisten rumah tangga atau bapak dan ibu guru di lembaga pendidikan. Masalah? Tidak. Akan jadi problem ketika anak diserahkan pengasuhan dan pendidikannya kepada orang yang tidak punya dasar pemahaman perihal ilmu parenting.
***
Jadi peranan ayah dan ibu cukup kompleks. Ia tidak cuma punya kewajiban menyediakan sandang, papan dan pangan. Kebutuhan psikologis berupa kasih sayang, rasa aman dan nyaman juga hak bagi anak yang tidak kalah penting untuk diberikan.
Sederhananya ilmu parenting adalah ilmu yang berbicara mengenai pola asuh orangtua terhadap anak. Orangtua mesti tahu tahap perkembangan fisik-psikisnya. Sebab di tiap-tiap tahap perkembangan anak butuh perlakuan yang sesuai hak-hak perkembangannya.
Kalau ini tidak dikenali yang terjadi adalah banyak orang yang mengaku-aku jadi ayah dan ibu tetapi realitanya tak mampu menjalankan peranan yang sesungguhnya. Orangtua malah menyatimkan perasaan, pikiran dan masa depannya. Adakah yang begitu?
Coba sesekali kita amati orang-orang di sekeliling kita. Bagaimana pola asuh orangtua terhadap anak? Atau kita yang hari ini sudah jadi orangtua dan punya anak. Sudah berapa banyak dan sering hak-hak anak secara fisik dan psikis kita berikan?
Sebetulnya pertanyaan ini ditujukan ke siapa saja, temasuk saya dan istri yang sehari-hari terus berusaha supaya jadi orangtua yang mampu memenuhi hak-hak anak.
Untuk itu sebaiknya dalam rumah tangga ada pembagian peran yang seimbang. Seperti misalnya istri saya bekerja di kantoran. Sudah otomatis banyak waktu yang teralokasi di sana. Dan itu yang membuat saya mengambil pilihan untuk lebih banyak mengambil peran di ranah domestik.Â
Meski begitu saya tetap bekerja dari rumah. Itu pun tidak banyak menyita waktu. Sebab sudah ada yang menggantikan posisi saya untuk mengurus ini dan itu.
Dalam pandangan patriarkis, mungkin orang seperti saya akan jadi obyek bisik-bisik tetangga. Sebab kalangan masyarakat patriarkis menilai bahwa pekerjaan dari nyeboki, mandiin, nyuapin anak, nyuci piring, baju ngepel dan seabrek pekerjaan domestik lainnya adalah urusan kaum perempuan.
Untung saja saya tidak mewarisi budaya berumah tangga begitu. Saya kira pembagian peran yang sehat itu jauh lebih baik.
***
Salah satu teori pengasuhan anak dalam membersamainya secara psikis adalah jangan sering menggunakan kata-kata larangan. Kalau apa-apa dilarang anak punya dua pilihan yaitu menurut atau melawan. Kalau anak menurut apa kata orangtua, ayah dan ibunya yang senang, meski belum tentu anak ikut senang. Dan kalau anak kerap melawan, orang tua lazim menganggapnya tidak patuh, ngeyel, membangkang dan cap negatif lainnya.
Selain itu problem yang nyaris terjadi pada anak adalah kerap dibanding-bandingkan. Disadari atau tidak bahwa banyak orangtua yang suka membandingkan anaknya dengan perbandingan anak-anak lain yang mempunyai kualifikasi lebih tinggi.Â
Anak orang lain yang seusianya sudah bisa begini begitu misalnya, sementara anaknya sendiri belum bisa. Dan umumnya niatan orangtua membandingkan begitu supaya anaknya termotivasi. Namun sayangnya yang terjadi justru sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H