Mohon tunggu...
Arif Rahman Hakim
Arif Rahman Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Biasa-biasa saja

Lelaki kelahiran Pati Jawa Tengah suka memancing, sesekali membaca buku dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepeda Seken

8 Agustus 2020   22:06 Diperbarui: 9 Agustus 2020   06:16 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada zaman kanak-kanak dahulu sepeda masih menjadi barang yang cukup mewah. Di kampung halamanku anak yang mempunyai sepeda saja jumlahnya bisa dihitung dengan jari. 

Aku termasuk anak yang belum memilikinya. Meski begitu keinginan untuk ikut bisa bersepeda tidak bisa aku elakkan. Aku belajar bersepeda biasanya di pelataran rumah tetangga yang agak jembar pas hari jumat, hari libur sekolah. Itu pun sepeda dari meminjam teman sepermainan.

Salah satu sepeda yang biasa aku pinjam untuk belajar adalah milik Faiz kentung, begitu teman-teman biasa memanggilnya, yang julukan kentung itu diberikan kepadanya karena ia memang mirip aktor kentung dalam film Jin dan Jun yang populer dikalangan anak-anak saat itu. 

Sebagai rasa terimakasih kepadanya terkadang aku beri imbalan buah jambu klutuk punya ibuku yang pohonya berbuah merental sampai mendoyong di atas genting juga talang. Dia senang, akupun merasa semakin karib dengannya.

Pada suatu kesempatan aku belajar mengayuh pedal sepeda di jalanan yang baru saja selesai diaspal. Meski pada mulanya berasa kikuk, aku bisa mengayuh pedal secara lancar. 

Gara-gara terlalu bersemangat aku kehilangan kendali saat melintasi jalanan yang agak menggunduk membuat sepeda mengetril kemudian menjungkal keselokan yang penuh lumpur. 

Tentu saja muka dan sekujur badanku bak kerbau berkubang lumpur. Dari kejauhan teman-teman melihatnya lalu tertawa terpingkal-pingkal. Meski pada akhirnya diantara mereka menolongku. Nasib sepeda yang nampak menjengkang di pinggir selokan secara perlahan ditarik kepermukaan jalan oleh teman-teman.

Sambil menghela nafas aku perhatikan sepeda itu tidak ada bagian-bagiannya yang rusak. Setang, sedel,  pelek ban juga tidak ada masalah. Hanya saja catnya tampak lecet sedikit pada bagian pinggang kerangka sepeda.

Aku minta maaf kepada nya sambari menatap ekspresi wajah kentung yang menunjukkan rasa menyesal akan kekonyolanku pada kejadian yang baru saja aku alami, meski begitu  ia menganggukan kepalanya.

Sepeda itu aku gelandang menuju ke sebuah sumur umum. Tampak di sana seorang ibu-ibu sedang membanting-banting baju yang dicucinya dan sesekali memerasnya.

Salah satu ibu yang aku kenal sebagai tukang masak pada suatu hajatan di kampung bersimpangan denganku. 

"Kamu kenapa le badanmu kok gabul lumpur selokan kayak gitu " Tanyanya dengan lugat jawa medok. 

"Anu aku tadi njrungup nang kalen,mbok" Jawabku.

"Walah makanya hati-hati kalau sepedaan itu" nasihatnya.

Kemudian sepada itu udah tampak bersih, sebersih badanku yang baru saja usai mandi.  Dan sepeda itu aku kembalikan kepada pemiliknya.

***

Saat aku menginjak kelas tiga sekolah dasar, sebelum jam pelajaran dimulai, kepala sekolah masuk ke ruangan kelasku untuk mengumumkan sunatan massal secara gratis yang diselengarakan oleh panitia maulid Nabi di masjid depan rumahku. Tanpa pikir panjang aku ikut mendaftar sebagai peserta sunat massal.

Sepulang sekolah aku memberi tahu bapak akan keinginanku untuk ikut sunat massal dan minta dihadiahi sepeda.

 " Memang kamu sudah berani sunat? " Tanya bapak.

"Berani pak" Jawabku menyakinkan.

"Tapi aku dibelikan sepeda ya" Rayuku pada bapak sembari menarik-narik sarungnya.

Bapakku mengiyakan. Meski aku tahu bapak tidak cukup uang untuk membeli sepeda. Kata bapak nanti kalau ujung saluran pembuangan air kencingku sudah pulih mau dicarikan sepeda, meski hanya seken. Aku pun bersemangat agar tidak memakan-makanan yang berpantang.  

Namun apa dikata, dua temanku yang juga ikut sunatan massal kabarnya sudah bisa berlari kesana-kemari. Sementara aku yang sudah dua minggu masih mengenakan sarung alias jalannya tampak mekeh-mekeh. Itulah sebabnya aku dibully teman-teman sebaya juga tidak ketinggalan tetangga sebelah ikut menggosip perihal hal yang sama.  

Dokter muda yang menyunat aku kebetulan tetangga dan masih ada pertalian saudara, setiap seminggu sekali mengontrol nasib barang keramat satu-satunya milikku yang berhari-hari tak kunjung mengering. Saran untuk membersihkannya pada pagi dan sore dengan cairan PK dan revanol tidak pernah aku abaikan. Meski begitu tidak juga sembuh-sembuh.

Minggu berikutnya obat yang aku minum sesuai anjuran dokter disarankan oleh nya agar tidak diminum dulu, benar saja, pelirku mulai mengering dan menunjukkan tanda-tanda akan sembuh yang belakangan diketahui ternyata aku alergi anti biotik berjenis amoxcilin.

Tidak lama aku menyadari kenapa beberapa peristiwa secara terpisah seakan-akan seumur hidupku merasakan sensasi seperti sunat tiga kali. Yang kedua saat aku di Batam. Pada mulanya ujung alisku robek mengucur darah akibat main futsal. Kemudian aku dibawa ke apotik untuk dijahit dan diberi obat anti biotik amoxilin. Kali ketiga waktu di Banjarnegara sakit gigiku kambuh dan meminum obat pereda nyeri, ponstan. Gara-gara minum obat berkandungan amoxilin berimbas pada ketiak melempuh, saluran pembuangan air kecil dan besar juga melempuh kemudian mengelupas kulitnya. Tentu saja semua itu sangat meresahkan kepriaanku. 

Tempo hari aku bercerita, spontan teman-teman tertawa ngakak. Bahkan ketika aku meminta untuk diresepkan obat akan keluhan pada rasa sakitku, juga pernah dituduh oleh apoteker sebagai orang yang suka berganti-ganti pasangan. Sialan, jaran tenan. Umpatku.

***

Sekali waktu bapak ditawari sepeda oleh saudara dari jalur mbah buyut laki-laki, persisnya kakaknya dokter muda yang menyunatku itu, kemudian bapak menanyakan harga sepedanya. Namun pihaknya maunya meminjamkan sepeda masa kecilnya untuk dilungsurkan pada aku. Syaratnya hanya cukup dirawat dan tidak boleh dijual, sebab sepeda itu bakal diwariskan lagi kepada anaknya kelak.

Sepeda mungil bergaya klasik yang rangkaian rangkanya mirip motor metik itu akan bisa dipakai setelah diperbaiki. Maklum sepeda itu sudah lama menghuni di gudang. Sebagian kerangka sepeda dan beberapa onderdil lainnya berkarat. Pedal sebelah kiri dan rantainya saja macet. Roda depan dan belakang bannya juga tampak rapuh.

"Kalau bengkelin sepeda ini perkiraan habis biaya berapa? Tanya bapak kepada tukang bengkel.

Tukang bengkel itu kemudian meraih sepeda yang baru saja aku standarkan. Ia memeriksanya sembari menggerakkan stang ke kanan-kiri, juga pedal yang macet itu.

"Ditaksir ongkosnya dua puluh lima ribu," kata tukang bengkel yang baru saja berdiri dari posisi jongkoknya.

Sepeda itu sudah siap aku kayuh untuk dibawa pulang. Bersama perasaan yang gembira aku mengontel sepeda di sepanjang tepi jalan yang dibuntuti oleh bapak beberapa meter.

Esok harinya pas akan liburan sekolah, aku berencana mengajak teman-teman yang mempunyai sepeda untuk menyusuri jalan seperti yang sudah aku rencanakan. Aku sudah membayangkan akan ada banyak view indah yang bakal kami nikmati bersama.

Tempat pertama yang ingin aku tuju adalah sepanjang jalan di bantaran sungai yang menghubungkan sampai ke tepi laut. Jarak rumahku menuju ke pantai kisaran satu kilometer. Jika ingin berpergian ke sana akan melewati sawah dan tambak yang membentang luas. 

Saluran air sungai yang biasa disebut sungon oleh para petambak, menghampar sepanjang jalan menuju ke tepi laut. Saluran air sungai yang berfungsi untuk mengairi tambak atau untuk pembuangan air saat akan panen ikan, setiap hari minggu banyak orang memancing di sana. 

Ikan didalam air yang terkadang payau dan asin itu bermacam jenisnya antara lain ikan mujaer, udang, belanak,  keting, lundu adalah ikan yang biasa dikail dengan menggunakan umpan tertentu. 

Kata bapak,  orang-orang yang memancing di sana rata-rata dari desa seberang yang biasanya pagi-pagi mereka sudah mencari cacing di pinggir galeng sawah untuk umpan ikan.

Kami yang akan berangkat pagi-pagi untuk melihat merekahnya matahari kemungkinan juga akan berbarengan para petani yang pagi-pagi memanggul cangkul, para petambak dan mungkin juga mereka yang berniat memacing ikan-ikan di sungai atau laut. Atau para pencari rumput untuk pakan ternaknya.

Aku dan mereka sangat berantusias akan agenda yang akan dilalui bersama. Namun pada akhirnya mereka tidak menyanggupi akan ajakanku, karena orang tua mereka tidak membolehkannya. Alasannya pada musim hujan jalan di bantaran sungai yang belum beraspal itu banyak jalan yang berlubang dan becek. Sangat beresiko tergelincir, ujar orang tua mereka.

Meski keinginanku tak tersampaikan, kami tetap bersepeda meriah di tepi jalan yang biasa dilalui banyak orang dengan tetap memerhatikan keselamatan dan kenyaman pengguna jalan lainnya. 

Selain itu kami juga menyusuri jalan kampung-kampung yang masih memiliki pepohonan merimbun. Di sana kami berhenti sejenak berteduh dibawah pohon yang rindang sembari menikmati angin sepoi-sepoi dan burung-burung berkicau disiang hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun