Mohon tunggu...
Arif Budiman
Arif Budiman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Manifestasi pikiran yang selalu gelisah.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Surat untuk sang profesor

3 Februari 2025   18:35 Diperbarui: 3 Februari 2025   18:35 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Teriknya matahari yang menyelinap melalui lubang atap bangunan tak menghalangi panas yang menyengat di dalam ruangan, sore itu pukul tiga, seorang yang mengaku dirinya profesor disebuah perumahan akademisi mengonggongkan kembali diktat-diktat usang yang dimakan rayap kepada mahasiswanya, di ikuti dengan cara mengajarnya yang mirip diklat militer, tentu gaya mengajar itu membuat mahasiswa diam dan menganggukan kepala tentang segala hal yang dikatakan oleh seorang profesor itu dengan ketakutan para mahasiswa menyelinapi jiwa akan di beri nilai C- jika menolak argumennya. 

Di ruangan yang bagaikan hutan belantara yang berisi calon-calon sarjana, seorang profesor itu terus mendoktrin mahasiswanya tentang keyakinan yang ia yakini dan mengesampingkan bahkan menganggap sesuatu yang berada diluar keyakinannya adalah salah, sembari mengutarakan dalil-dalil yang menguatkan pendapatnya. 

Premis pertama

Pada awalnya kelas dimulai dengan sebuah argumen bahwa "Kebenaran atau keyakinan bersifat relatif, tidak ada kebenaran atau keyakinan yang mutlak." Sang profesor mengibaratkan dengan Si A di mata si B duduk di belakangnya, sedangkan menurut si Y si A duduk di sampingnya, semuanya benar namun karena banyaknya perspektif maka tidak memungkinkan untuk membuat suatu definisi yang membenarkan salah satu pihak di mana sebenarnya si A duduk. 

Premis kedua

Logical Fallacy atau kesesatan berpikir mulai terjadi tatkala sang profesor mengatakan "keyakinan saya yang paling benar, selain keyakinan saya maka masuk neraka." apakah sudah menemukan dimana titik Logical Fallacy nya? Mari mulai dengan sebuah teori yang di kemukakan oleh seorang Filsuf Amerika di abad ke-19 yang bernama John Herman Randall tentang apa yang di maksud dengan sebuah kebenaran yang ia tulis dalam Introduction to Philosophy. Randall mengatakan bahwa benar pada dasarnya adanya persesuaian atau tidak adanya pertentangan. Sebagai contoh

Premis 1 : Semua Kebenaran/ keyakinan bersifat relatif

premis 2 : Islam adalah Keyakinan

Konklusi : Islam adalah keyakinan yang paling benar.

Kembali kepada apa yang di katakan Randall bahwa Argumen dapat dianggap benar jika ada persesuaian, dan tidak memiliki pertentangan antar premis. Berdasarkan contoh diatas terjadi pertentangan antara premis 1 dengan premis 2 hingga pada akhirnya sampai pada konklusi. Jika dari awal kita menganggap kebenaran/keyakinan sebagai sesuatu yang relatif, maka tak sepatutnya kita mengatakan bahwa keyakinan/kepercayaan kita lah yang paling benar. Dalam ilmu logika kesesatan berpikir ini dinamakan Fallacy of Inconsistency atau kekeliruan berpikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui sebelumnya. 

 

Dalam hal ini pendapat atau argumen apapun yang saya sampaikan kepada sang profesor sudah tentu ia tolak, karena ia mendasarkan pada kekuasaan nya sebagai seorang pengajar yang bergelar Profesor, hal ini juga tidak dapat di benarkan, Tan Malaka seorang pemikir yang tidak memiliki gelar Professor mengatakan bahwa "tidak pula saya maksudkan bahwa tak ada yang ghaib di dunia, tidak semua hal sudah di ketahui. Pengetahuan tidak akan habis dan tidak boleh habis." Seorang profesor harusnya paham bahwa perbedaan keyakinan, kepercayaan maupun pendapat merupakan inti dari ilmu pengetahuan, semakin di perdebatkan suatu pokok persoalan maka ilmu akan semakin berkembang, hal-hal baru akan ditemukan. Sejarah Yunani mencatat bahwa Era Keemasan Yunani berawal dari Mythos menuju Logos. Jadi sudah sepatutnya kita menolak sebuah argumen "Anak SMA tidak layak berdebat dengan seorang Profesor." 

Singkatnya kekeliruan berpikir juga dapat terjadi ketika berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak pernyataan atau pendapat dari seseorang dengan mengatakan "Kau masih saja membantah pendapatku. Kau baru satu tahun duduk di bangku perguruan tinggi, aku sudah 20 tahun lebih." Kesesatan berpikir ini dinamakan Fallacy of Appealing to Force.

Kendati demikian, perdebatan di ruang perumahan akademisi sebetulnya menyehatkan cara berpikir kita, dengan batasan tidak menggunakan suatu kecacatan berpikir seperti menggunakan argumen Ad Hominem dengan menyerang pribadi seseorang atau Fallacy yang lainnya. Tentu masih ada saja yang menganggap bahwa saya "sok pinter" , dan ketika sang professor memenangkan argumen tentu ada saja seseorang yang mengatakan "mangkanya gausah sok tau, dibantah kan argumenmu" atau barangkali "jangan ngerasa paling pinter sendiri". Sebenarnya saya tak menganggap sebagai hal yang amat penting untuk memikirkan dugaan seseorang kepada saya yang dianggap "sok tahu, sok pinter dll" , saya justru senang jika kemudian seseorang yang menyerang saya dengan dalih "sok pinter" mampu membuktikan dimana letak kesalahan berpikir saya, akan tetapi mereka yang berargumen bahwa saya adalah orang yang "sok pinter" pada akhirnya mereka sendiri tidak tahu apa yang sedang saya perdebatkan dengan profesor itu. Barangkali mereka menganggukan kepala mereka tentang apa yang di katakan sang profesor padahal mereka sendiri tidak tahu apa isi nya, menganggukkan kepala dijadikan dalih untuk menghindari pertanyaan profesor. 

Kembali kepada pernyataan Tan malaka bahwa tidak semua hal sudah di ketahui, oleh karenanya perdebatan ataupun perbedaan pendapat sudah tentu menjadi inti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Terakhir sebagai sebuah penutup, istilah-istilah maupun kutipan yang saya tulis sudah tentu bukan berasal dari otak saya yang dangkal ini, melainkan hasil dari pikiran orang lain , maka sudah tentu pembaca dapat memahami bahwa tulisan ini kombinasi sebuah Diary yang dilengkapi argumen orang yang berkompeten, sekiranya pembaca tidak perlu menanyakan dari mana saya mengerti istilah-istilah tersebut karena sudah tentu dari buku-buku, bukan dari diktat usang yang di makan rayap maupun dari hasil ngelamun. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun