Dalam hal ini pendapat atau argumen apapun yang saya sampaikan kepada sang profesor sudah tentu ia tolak, karena ia mendasarkan pada kekuasaan nya sebagai seorang pengajar yang bergelar Profesor, hal ini juga tidak dapat di benarkan, Tan Malaka seorang pemikir yang tidak memiliki gelar Professor mengatakan bahwa "tidak pula saya maksudkan bahwa tak ada yang ghaib di dunia, tidak semua hal sudah di ketahui. Pengetahuan tidak akan habis dan tidak boleh habis." Seorang profesor harusnya paham bahwa perbedaan keyakinan, kepercayaan maupun pendapat merupakan inti dari ilmu pengetahuan, semakin di perdebatkan suatu pokok persoalan maka ilmu akan semakin berkembang, hal-hal baru akan ditemukan. Sejarah Yunani mencatat bahwa Era Keemasan Yunani berawal dari Mythos menuju Logos. Jadi sudah sepatutnya kita menolak sebuah argumen "Anak SMA tidak layak berdebat dengan seorang Profesor."Â
Singkatnya kekeliruan berpikir juga dapat terjadi ketika berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak pernyataan atau pendapat dari seseorang dengan mengatakan "Kau masih saja membantah pendapatku. Kau baru satu tahun duduk di bangku perguruan tinggi, aku sudah 20 tahun lebih." Kesesatan berpikir ini dinamakan Fallacy of Appealing to Force.
Kendati demikian, perdebatan di ruang perumahan akademisi sebetulnya menyehatkan cara berpikir kita, dengan batasan tidak menggunakan suatu kecacatan berpikir seperti menggunakan argumen Ad Hominem dengan menyerang pribadi seseorang atau Fallacy yang lainnya. Tentu masih ada saja yang menganggap bahwa saya "sok pinter" , dan ketika sang professor memenangkan argumen tentu ada saja seseorang yang mengatakan "mangkanya gausah sok tau, dibantah kan argumenmu" atau barangkali "jangan ngerasa paling pinter sendiri". Sebenarnya saya tak menganggap sebagai hal yang amat penting untuk memikirkan dugaan seseorang kepada saya yang dianggap "sok tahu, sok pinter dll" , saya justru senang jika kemudian seseorang yang menyerang saya dengan dalih "sok pinter" mampu membuktikan dimana letak kesalahan berpikir saya, akan tetapi mereka yang berargumen bahwa saya adalah orang yang "sok pinter" pada akhirnya mereka sendiri tidak tahu apa yang sedang saya perdebatkan dengan profesor itu. Barangkali mereka menganggukan kepala mereka tentang apa yang di katakan sang profesor padahal mereka sendiri tidak tahu apa isi nya, menganggukkan kepala dijadikan dalih untuk menghindari pertanyaan profesor.Â
Kembali kepada pernyataan Tan malaka bahwa tidak semua hal sudah di ketahui, oleh karenanya perdebatan ataupun perbedaan pendapat sudah tentu menjadi inti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Terakhir sebagai sebuah penutup, istilah-istilah maupun kutipan yang saya tulis sudah tentu bukan berasal dari otak saya yang dangkal ini, melainkan hasil dari pikiran orang lain , maka sudah tentu pembaca dapat memahami bahwa tulisan ini kombinasi sebuah Diary yang dilengkapi argumen orang yang berkompeten, sekiranya pembaca tidak perlu menanyakan dari mana saya mengerti istilah-istilah tersebut karena sudah tentu dari buku-buku, bukan dari diktat usang yang di makan rayap maupun dari hasil ngelamun.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI