Penyebab 2: Karena Genangan Setempat
Genangan setempat terjadi karena hujan tidak bisa segera dialirkan. Penyebabnya adalah kapasitas atau sistem drainasenya yang tidak memadai. Solusinya adalah membuat sistem drainase dengan kapasitas yang memadai dari segi interkoneksi, sistem kontrol, sistem operasi dan pemeliharaannya. Untuk membangun sistem ini perlu waktu dan biaya yang super besar, dan yang lebih sulit lagi adalah kordinasi dengan instansi lain karena ini akan melibatkan banyak kepentingan. Jakarta tidak mempunyai sistem drainase air hujan dan air kotor yang tersendiri. Infrastruktur utilitas pun super ancur lebur. PLN, PDAM, Telkom, dll tidak punya sistem duct sendiri. Mereka simple saja, gali pinggir jalan, pasang kabel atau pasang pipa, lalu timbun lagi dan selesai. Kordinasi? jangan tanya. Suatu ruas jalan bulan kemarin diperbaiki oleh PU dan mulus, satu minggu setelahnya PDAM akan memasang pipa, lalu gali jalan ini sehingga berantakan lagi, PDAM memperbaiki lagi dengan seenak udel kontraktornya. Seminggu setelah itu diliran Telkom memasang kabel, dan menggali jalur jalan yang sama di bagian lain. Sungguh konyol dan primitif sistem utilitas di Jakarta.
Solusinya adalah: buat dedicated utility ducting system yang bisa juga difungsikan sebagai drainasi ketika banjir. Dedicated ducting system ini dikordinasikan oleh Pemda DKI dan share biaya antara pemakai: PLN, Telkom, PDAM dll.
Bangsa kita sangat terkenal dengan pintar membangun tak pintar memelihara. Karena itu sebaiknya sebagian besar sistem drainase harus dibuat terbuka sejauh memungkinkan, dengan pengawasan yang cukup dan mengubah perilaku orang Jakarta secara bertahap.
Strategi Banjir yang Egaliter
Sebetulnya Pak Jokowi sudah menerapkan sistem ini, tapi saya lihat pendekatannya yang kurang tepat. Strategi ini adalah sumur resapan. Pak Jokowi nampaknya menekankan dari segi jumlah sumur resapan, tetapi seharusnya dari kapasitas sumur resapan itu. Bagaimana menghitungnya?
Benar bahwa sumur resapan tergantung kepada koefisien konduktiviti tanah (pasir lebih besar, lempung lebih kecil), tetapi secara umum kapasitas sumur resapan yang harus disediakan oleh yang mempunyai lahan adalah sebagai berikut: Pemda DKI harus menentukan berapa ukuran kedalaman hujan yang bisa dikendalikan oleh sumur resapan ini, misalnya 300 mm (ini ditentukan berdasarkan PMF, tapi tidak terlalu memberatkan secara biaya). Asumsinya adalah seluruh lahan di Jakarta ada yang memiliki (kawasan pribadi dimiliki oleh perorangan atau perusahaan, kawasan umum dikendalikan oleh Pemda DKI), maka pemilik lahan harus menyediakan sumur resapan dengan kapasitas sebesar: Luas Lahan (m2) x 300 (m/100mm).
Jadi semakin besar lahan yang dimiliki seseorang, semakin besar juga kapasitas sumur resapan yang harus disediakan. Kalau ini yang terjadi, maka banjir di Jakarta murni karena kiriman dari Bodetabek, karena seluruh hujan yang turun di Jakarta, seluruhnya dimasukan ke dalam sumur resapan, secara teori. Keuntungan lainnya adalah recharge terhadap groundwater yang bisa menghalangi intrusi air laut dan penurunan muka tanah di Jakarta.
Ayo Pak Jokowi, kerjakan apa yang bisa Bapak kerjakan untuk mengendalikan banjir Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H