Banjir di Jakarta tidak bisa diselesaikan secara tuntas dan dalam waktu singkat. Tidak ada satu pun ahli sumber daya air yang mampu membebaskan banjir Jakarta, tidak! Jadi yang mengkritik Pak Jokowi untuk masalah banjir, semacam ruhut situmpul, adalah konyol dan asal jeplak. Kita pun sudah mafhum karena ruhut ahlinya hanya menjilat junjungan dan menggonggong lawan dari junjungannya, dan herannya orang tidak berguna macam ini masih ada yang menaungi.
Saya punya saran untuk Pak Jokowi, untuk mengendalikan banjir di Jakarta secara egaliter. Egaliter? ya egaliter, artinya semua ikut berpartisipasi mengendalikan banjir sesuai dengan kemampuan dan tanggungjawabnya.
Sebelumnya perlu diketahui dahulu penyebab banjir di Jakarta. Banjir di Jakarta disebabkan karena (1) sungai-sungai yang melalui Jakarta meluap (karena kapasitasnya terlampaui), (2) karena genangan setempat akibat hujan tidak bisa dengan cepat dialirkan (karena kapasitas drainase yang tidak memadai). Menanggulanginya tentu saja dengan menghilangkan penyebab-penyebabnya.
Penyebab 1: Luapan sungai-sungai di Jakarta
Luapan sungai-sungai di Jakarta tentu saja akibat dari terlampauinya kapasitas sungai yang ada. Hal ini terjadi karena dua kemungkinan (1) debit air terlalu besar (2) kapasitas sungai tidak mencukupi.Untuk menyelesaikan banjir di Jakarta ini perlu menyelesaikan dua penyebab ini. Pertama karena debit air yang terlalu besar. Tukang insinyur sumber daya air tahu bahwa aliran (debit) di sungai dapat direpresentasikan s dengan rumus Q=CIA (Q=debit air, C=koefisien aliran permukaan, I=intensitas hujan, A=luas daerah aliran sungai). Jadi aliran air tergantung kepada tiga variable CIA ini. Dari tiga variable ini, hanya C yang bisa dimodifikasi oleh manusia, seangkan untuk intensitas hujan, hanya sedikit saja bisa dimodifikasi oleh manusia. Sejauh ini ilmu memodifikasi cuaca yang bisa dilakukan oleh manusia hanya ada 3: (a) cloud seeding - penyemaian awan untuk mempercepat proses awan menjadi air hujan (b) storm prevention - untuk "sedapat mungkin" mencegah terjadinya angin ribut (ini pun tidak sepenuhnya dijamin berhasil) dan (c) hurricane modification - untuk "sedapat mungkin" mencegah atau memprovokasi terjadinya angin ribut. Jadi modifikasi cuaca untuk mencegah banjir di Jakarta rasanya sesuatu hil yang mustahal hingga saat ini. Kecuali bisa menghentikan proses kimia terbentuknya butiran air. Sejauh ini belum bisa. Luas daerah aliran sungai juga sama sekali tidak bisa dimodifikasi oleh manusia (ditambah atau dikurangi).
Sekali lagi, hanya C (koefisien aliran permukaan) yang bisa dimodifikasi. C ini tergantung kepada jenis permukaan lahan, kalau lahannya beton, insya Allah 96 persen hujan akan menjadi aliran permukaan alias banjir, tetapi kalau permukaan lahannya kawasan hijau, hanya sebagian kecil saja sekitar 20-30 persen yang akan menjadi aliran banjir. Inilah yang sedang dilakukan oleh Pak Jokowi dengan memperbanyak ruang terbuka hijau untuk memperbesar kawasan lahan yang bisa memperkecil aliran permukaan.
Usaha yang lebih revolusioner yang boleh dicoba oleh Pak Jokowi adalah "vertical living" untuk seluruh kawasan kumuh di Jakarta. Tentu saja ongkos sosialnya kemungkinan besar. Pak Jokowi tidak akan populer, karena akan diserang habis-habisan oleh politisi busuk, pengamat bayaran, Komnas HAM, pendukung capres yang sudah deklarasi, dll. Kalau saja kawasan kumuh di Jakarta ada 30% dari luas Jakarta, maka secara teoretis 20-25% ex-kawasan kumuh ini bisa menjadi kawasan hijau, dan banjir akan berkurang 15-20%.Dengan kemampuan finansial Pemda DKI dan tingginya kepercayaan masyarakat Jakarta kepada Pak Jokowi, insya Allah 5 tahun bisa selesai. Kalau ini yang terjadi dan sukses, Pak Jokowi tidak perlu kampanye untuk jadi presiden, yang lain lewat.
Usaha semacam itu sudah ada melalui pembangunan rumah-rumah susun. Saya menyarankan kepada Pak Jokowi, untuk sekalian merubah tata ruang daerah kumuh yang sekarang Pak Jokowi sedang benahi melalui rumah deret. Jadikan sekalian rumah susun Pak, dengan walk-up apartment 4 tingkat, sehingga bisa menghemat lahan 75% secara teoretis. Lahan yang dihemat bisa dijadikan ruang terbuka hijau. Karena sungai-sungai di Jakarta sebagian besar DAS-nya berada di Bogor/Depok/Tangerang/Bekasi, maka tidak bisa dihindarkan "pembangunan" fisik yang berada di kawasan Bodetabek juga mempunyai andil besar dalam kejadian banjir di Jakarta. Pembangunan kawasan puncak, misalnya, memperbesar nilai C sungai Ciliwung, sehingga debit air Ciliwung menjadi lebih besar untuk intensitas hujan yang sama.
Solusinya: Pak Jokowi beli lahan 500 hektar di hulu Ciliwung, jadikan lahan itu semacam detention basin (di Thailand disebut dengan Monkey Cheek) untuk menampung banjir sementara. Di Depok, jelas Walikotanya tidak mendukung pengendalian banjir di Jakarta, maklum saja dari partai pendukung the loser. Pak Jokowi juga bisa membuat monkey-cheek kecil-kecil tapi banyak sehingga bisa menahan debit Ciliwung sebesar mungkin (PS: disebut monkey-cheek karena kalau monyet makan dan makan yang harus dia makan cukup banyak sedangkan kapasitas yang bisa langsung masuk ke perut sedikit, maka makanan tersebut dikunyah dan disimpan dulu di mulut untuk kemudian ketika santai dicerna lagi pelan-pelan dan ditelan masuk ke dalam perut, mungkin tepatnya monkey-mouth).
Kalau usaha untuk "memperkecil" debit sungai sudah mentok. (PS: "memperkecil" maksudnya dengan intensitas hujan yang sama, debit sungai bisa diperkecil). Usaha lain yang mungkin bagi Jakarta adalah memperbesar kapasitas sungai. Usaha inilah yang saat ini sedang dilakukan oleh Pak Jokowi ("menormalisasi" sungai dan mengeruk waduk). "Menormalisasi" sungai adalah bahasa gampang para insinyur pengairan, sebetulnya seberapa "normal" sih yang dinginkan untuk membuat kapasitas sungai normal dengan cara "dinormalisasi"?, jawabannya tidak ada, silakan tanya pada para tukang insinyur pengairan, jawabannya pasti sumir, tidak jelas, dan orang awam pasti tidak mengerti.
Usaha "menormalisasi" sungai ini pun ada batasnya, misalnya keterbatasan lahan dan kemiringan lahan (teorinya kemiringan hidraulik atau hidraulic gradient). Jakarta tidak beruntung dengan keterbatasan dua faktor ini. Ini menyebabkan pengendalian banjir Jakarta semakin sulit. Adalah pernyataan tolol kalau banjir Jakarta bisa diselesaikan dalam waktu singkat dan paripurna.
Penyebab 2: Karena Genangan Setempat
Genangan setempat terjadi karena hujan tidak bisa segera dialirkan. Penyebabnya adalah kapasitas atau sistem drainasenya yang tidak memadai. Solusinya adalah membuat sistem drainase dengan kapasitas yang memadai dari segi interkoneksi, sistem kontrol, sistem operasi dan pemeliharaannya. Untuk membangun sistem ini perlu waktu dan biaya yang super besar, dan yang lebih sulit lagi adalah kordinasi dengan instansi lain karena ini akan melibatkan banyak kepentingan. Jakarta tidak mempunyai sistem drainase air hujan dan air kotor yang tersendiri. Infrastruktur utilitas pun super ancur lebur. PLN, PDAM, Telkom, dll tidak punya sistem duct sendiri. Mereka simple saja, gali pinggir jalan, pasang kabel atau pasang pipa, lalu timbun lagi dan selesai. Kordinasi? jangan tanya. Suatu ruas jalan bulan kemarin diperbaiki oleh PU dan mulus, satu minggu setelahnya PDAM akan memasang pipa, lalu gali jalan ini sehingga berantakan lagi, PDAM memperbaiki lagi dengan seenak udel kontraktornya. Seminggu setelah itu diliran Telkom memasang kabel, dan menggali jalur jalan yang sama di bagian lain. Sungguh konyol dan primitif sistem utilitas di Jakarta.
Solusinya adalah: buat dedicated utility ducting system yang bisa juga difungsikan sebagai drainasi ketika banjir. Dedicated ducting system ini dikordinasikan oleh Pemda DKI dan share biaya antara pemakai: PLN, Telkom, PDAM dll.
Bangsa kita sangat terkenal dengan pintar membangun tak pintar memelihara. Karena itu sebaiknya sebagian besar sistem drainase harus dibuat terbuka sejauh memungkinkan, dengan pengawasan yang cukup dan mengubah perilaku orang Jakarta secara bertahap.
Strategi Banjir yang Egaliter
Sebetulnya Pak Jokowi sudah menerapkan sistem ini, tapi saya lihat pendekatannya yang kurang tepat. Strategi ini adalah sumur resapan. Pak Jokowi nampaknya menekankan dari segi jumlah sumur resapan, tetapi seharusnya dari kapasitas sumur resapan itu. Bagaimana menghitungnya?
Benar bahwa sumur resapan tergantung kepada koefisien konduktiviti tanah (pasir lebih besar, lempung lebih kecil), tetapi secara umum kapasitas sumur resapan yang harus disediakan oleh yang mempunyai lahan adalah sebagai berikut: Pemda DKI harus menentukan berapa ukuran kedalaman hujan yang bisa dikendalikan oleh sumur resapan ini, misalnya 300 mm (ini ditentukan berdasarkan PMF, tapi tidak terlalu memberatkan secara biaya). Asumsinya adalah seluruh lahan di Jakarta ada yang memiliki (kawasan pribadi dimiliki oleh perorangan atau perusahaan, kawasan umum dikendalikan oleh Pemda DKI), maka pemilik lahan harus menyediakan sumur resapan dengan kapasitas sebesar: Luas Lahan (m2) x 300 (m/100mm).
Jadi semakin besar lahan yang dimiliki seseorang, semakin besar juga kapasitas sumur resapan yang harus disediakan. Kalau ini yang terjadi, maka banjir di Jakarta murni karena kiriman dari Bodetabek, karena seluruh hujan yang turun di Jakarta, seluruhnya dimasukan ke dalam sumur resapan, secara teori. Keuntungan lainnya adalah recharge terhadap groundwater yang bisa menghalangi intrusi air laut dan penurunan muka tanah di Jakarta.
Ayo Pak Jokowi, kerjakan apa yang bisa Bapak kerjakan untuk mengendalikan banjir Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H