MERAWAT LIMBUKÂ
di melinia ini hanya Limbuk yang layak memetaforsa menjadi Kartini. Ia kalem, ngalahan, ora ngeyelan, ngabekti, rosa ing gawe, menjadi perempuan sahaja dari awal dan akhirnya.
bodinya ginak-ginuk, sanggulnya nggambleh, dadanya gempal, kakinya melebar, senyumnya tulus sumringah. Ia tetep menjadi perempuan Djawa, yang menyetia pada hati dan buminya
begitulah diskusi buku Wanodya 2018 (21/4/18) disublimkan menjadi sebuah nilai. Nilai yang tidak ndakik-ndakik penuh teori-teori sastra, yang kerap justru hanya sebagai pembenar semata.
bila ada yang menyebut sastra Indonesia baru ada tahun 1920. Sastra Etnik Djawa sudah berabad silam melahir dan membumi, menjadi piwulangan budi pekerti, sekaligus tuntunan atas kehidupan : ini.
layaknya pawongan cilik yang hanya mampu grundhelan, diskusi Limbuk ini pun sarat dengan soal itu. Namun, apa guna mengkaitkan dengan soal-soal eksternal yang carut-kemarut tersebut ? Toh Konggres Bahasa dan Sastra Djawa yang ke 6 sudah di gelar berkali-kali pun, tak mampu mengurai dan menyemangati lebih jauh.
buku Wanodya 2018 ini buku langka, seperti juga 14 penulisnya. Menjadi sebuah catatan sejarahnya sendiri, menjadi sebutir klungsu (biji buah asam), yang menyangga tegaknya pilar kebudayaan atas muaranya kahanan.
mari merawat Limbuk di hari Kartini 2018. (Ayk)