PROLOG
Mari 'berpetualang' sejenak ke akhir tahun lalu untuk melihat kembali sebuah realita yang menyesakkan dada. Menteri Sosial, Juliari P. Batubara, menyerahkan diri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 6 Desember 2020 jam 02.50 WIB dini hari (FM Sidik, news.detik.com, 2020). Sebagaimana jamak diketahui bahwa penyerahan diri tersebut merupakan 'buah' dari pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap beberapa pejabat PPK Kementerian Sosial (Kemensos). Dalam operasi tangkap tangan KPK, diindikasikan ada gratifikasi senilai Rp17 miliar yang mengarah kepada Juliari P. Batubara (DM Purnamasari, kompas.com, 2020). Dalam modusnya, Sang Menteri mendapatkan fee sebesar Rp10.000/paket pengadaan bantuan sosial (bansos) yang diadakan oleh Kemensos untuk membantu meringankan beban masyarakat akibat dampak Covid-19 yang berlangsung sejak bulan Maret 2020 yang sampai sekarang belum tahu kapan akan berakhir.
Gratifikasi kepada Menteri Sosial tersebut diberikan oleh pihak swasta yang melaksanakan paket pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek senilai Rp5,4 triliun. Seandainya paket bansos rata-rata satu paket nilainya Rp300 ribu, dan terdapat pengadaan paket bansos se-Jabodetabek sejumlah 18 juta paket, maka kemungkinan uang bansos yang masuk ke dompet Sang Menteri hampir Rp180 miliar (Zaking, jawapos.com, 2020). Sebuah angka yang fantastis.
Terhadap peristiwa ini, banyak masyarakat yang merasa geram dan jengkel. Bayangkan, dampak yang dirasakan dari Covid-19 telah meluluhlantakkan semua sendi kehidupan bangsa. Fakta-fakta tersebut memang cukup menyesakkan dada, sekaligus membuka 'kotak pandora' yang memperlihatkan kepada rakyat Indonesia betapa bobroknya pengelolaan bansos di negara kita.
PENGELOLAAN BANSOS DAN SEGALA PERMASALAHANNYA
Merujuk pada berbagai literatur dan peraturan-peraturan yang berlaku, bansos secara sederhana adalah pemberian uang, barang atau jasa oleh pemerintah pusat atau daerah kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat guna melindungi mereka dari kemungkinan terjadinya risiko sosial (SL Rahayu, 2012).
Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi yang tergolong cukup banyak, untuk itu pemerintah melaksanakan berbagai program untuk menunjang peningkatan pembangunan dalam rangka menopang kesejahteraan penduduk. Menurut UU Nomor 11 Tahun 2009, negara bertanggung jawab untuk melaksanakan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan sosial secara terarah, terencana dan berkelanjutan. Untuk itu, Pemerintah terus berupaya menangani masalah ekonomi yang terjadi melalui berbagai pendekatan dan strategi dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada dan direalisasikan lewat pemberian dana bantuan sosial (Kantohe. et al., 2018).
Secara umum, mekanisme pengelolaan bansos dibagi dalam tiga tahap: penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan. Dalam tahap penganggaran, kementerian/lembaga atau pemda menetapkan daftar penerima bansos. Dalam konteks bansos Covid-19, Kemensos melakukan penetapan berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang berisikan data 40% penduduk termiskin di Indonesia (bdt.tnp2k.go.id, 2020)[1] . Penetapan penerima juga dapat dilakukan berdasarkan hasil seleksi atas usulan tertulis yang masuk dari calon penerima bansos. Ini umumnya berlaku di pemda untuk bansos yang berbentuk barang/jasa.
Walaupun bansos yang disalurkan berdasarkan data DTKS, bukan berarti bebas dari masalah. Â Masalah pertama terjadi pada akurasi data acuan penetapan penerima bansos. Kemensos sendiri mengakui bahwa DTKS terakhir diperbaharui secara masif pada 2015, sementara KPK menemukan berbagai permasalahan terkait DTKS seperti data tumpang tindih, tidak lengkap, dan duplikasi jutaan data (tempo.co, 2020).
Masalah kedua adalah bansos sangat rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Ketidakakuratan data ditambah kewenangan kepala daerah yang besar dalam penentuan penerima bansos mendorong kolusi terjadi dalam penyaluran bansos. Bansos dibagikan berdasarkan pertimbangan politik elektoral ketimbang kebutuhan nyata masyarakat.
Studi Ward Berenschot --peneliti politik asal Belanda-- mengenai politik klientelisme di Indonesia menunjukkan bansos dan hibah sebagai salah satu sumber daya yang rawan digunakan untuk kepentingan elektoral (Berenschot, 2018). Temuan ini diperkuat lewat temuan studi tentang Pilkada Banten 2011 ketika gubernur petahana mengalokasikan bansos dan hibah ke wilayah-wilayah yang menjadi kantong suaranya (Saragintan & Hidayat, 2016).
Pada tahap penyaluran, bansos dalam bentuk uang diberikan secara tunai maupun lewat transfer ke rekening bank penerima bansos atau bank penyalur. Â Adapun penyaluran bansos dalam bentuk barang didahului dengan proses pengadaan barang/jasa untuk kemudian diberikan secara langsung kepada penerima bansos. Metode inilah yang digunakan Kemensos untuk penyaluran bantuan bahan pokok bernilai puluhan triliun rupiah yang kemudian bermasalah.
Dengan demikian, masalah ketiga pelaksanaan bansos adalah korupsi pengadaan. Dalam korupsi bansos Covid-19, kontraktor pengadaan diduga memberikan "upah" kepada pejabat di Kemensos atas penunjukannya sebagai penyedia paket-paket bansos pandemi. Selain itu, proses penyaluran bansos juga menyimpan masalah lain. Misalnya, penyaluran kepada calon penerima fiktif, atau penyaluran kepada kroni-kroni pejabat publik dengan tujuan agar dana bansos masuk ke kantong pribadi atau kelompok tertentu.
Masalah politisasi dan korupsi bansos tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan prosedural. Akarnya ada pada dua hal yang saling berkaitan, yaitu pola hubungan patron-klien yang masih dominan dalam struktur masyarakat, dan politik berbiaya tinggi dalam sistem demokrasi Indonesia. Pola hubungan patron-klien adalah satu karakteristik masyarakat tradisional agraris. Dalam hubungan ini, seorang patron yang taraf sosio-ekonominya lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan atau manfaat kepada klien yang status sosio-ekonominya lebih rendah, dengan timbal balik berupa dukungan personal kepada sang patron.
Pola yang informal timbal balik ini mengakar dan tidak lenyap dengan datangnya era demokrasi elektoral. Ajang kompetisi demokrasi justru menjadi semacam sarana bagi hidupnya politik klientelistik. Patron-patron baru, yaitu para politikus yang berkompetisi dalam ajang pemilihan umum, berupaya untuk mendapatkan dukungan suara dari pemilih (klien) lewat pemberian materi baik itu berupa uang, barang, maupun jasa. Politikus yang memiliki akses ke sumber daya keuangan publik dapat menggunakan bansos untuk memperoleh dukungan suara dari pemilih.
Ada beberapa alasan mengapa klientelisme bertahan --bahkan berkembang-- di tengah perubahan sosial yang sangat masif. Salah satunya adalah kemiskinan. Masyarakat miskin lebih cenderung menerima materi yang tidak seberapa dari para politikus ketimbang menuntut kebijakan yang lebih komprehensif atas permasalahan hidup yang mereka hadapi.
Sementara itu, iklim politik berbiaya tinggi di Indonesia menuntut modal besar dari politikus untuk membiayai pencalonan dan kampanye politik. Korupsi anggaran publik --termasuk bansos-- menjadi suatu jalan untuk memenuhi tuntutan ini. Mahalnya biaya politik di Indonesia disebabkan antara lain oleh mahar tinggi yang diminta partai politik sebagai salah satu syarat pencalonan, biaya kampanye yang tinggi karena kandidat harus menggerakkan mesin politik pribadi, dan lemahnya pelembagaan pembiayaan politik.
POLITIK CITRA DALAM BANTUAN SOSIAL
Laporan Charity Aid Foundation 2019 menempatkan rakyat Indonesia sebagai negara paling dermawan. Laporan yang memuat The World Giving Index 2019 ini mengukur perilaku warga negara untuk membantu orang yang tidak dikenal, berdonasi uang, dan ikut berpartisipasi dalam gerakan kesetiakawanan sosial (liputan6.com, 2019)[2].
Ketika badai pandemi Covid-19 mulai menerjang Indonesia, kelompok masyarakat sipil pun ikut tergerak. Di sana tak ada kepentingan pencitraan. Sejumlah pengusaha, rakyat biasa, dan media menggalang dana untuk membantu sesama. Ikatan emosional sesama manusialah yang membuat gerakan voluntarisme itu bergerak leluasa, tanpa batas dan sekat partai.
Kekuatan masyarakat sipil yang luar biasa inilah yang harus terus dirawat dan dikembangkan. Itulah modal kekuatan utama yang bergerak atas dasar kemanusiaan dan kebangsaan. Kekuatan masyarakat sipil itulah modal sosial yang bisa memperkuat daya tahan sosial Indonesia sebagai sebuah bangsa. Tulisan The Diplomat oleh Shane Preuss (thediplomat.com, 2020), mendeskripsikan bagaimana kekuatan masyarakat sipil Indonesia yang luar biasa dan membuat bangsa ini berdaya tahan tinggi.
Namun demikian, kedermawanan masyarakat jangan sampai dirusak oleh politisi murahan yang memanfaatkan bansos korban pandemi untuk kepentingan elektoralnya. Sebenarnya, kultur politisasi bansos sudah terjadi sejak lama di dunia politik tanah air. Di Indonesia, praktik ini marak dilakukan setidaknya sejak era pemerintahan Presiden SBY meluncurkan bantuan langsung tunai (BLT). Politisasi bansos merupakan salah satu trik kampanye dalam dunia politik. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi. Trik ini masuk dalam kategori money politic yang serupa dengan serangan fajar jelang pencoblosan ketika pemilu. Perbedaannya, pork barrel selalu 'berbalut' kewenangan pemerintah dalam mengelola anggaran sosial.
Membaca laporan harian Kompas, Kamis 28 April 2020, Bupati Klaten Sri Mulyani cukup mendapat sorotan. Dia menempelkan foto dirinya dalam bantuan hand sanitizer kepada warganya. Bahkan, stiker itu ditempelkan menutupi stiker sebelumnya yang tertulis Kemensos. Sejumlah daerah lainnya juga memanfaatkan bantuan sosial untuk kepentingan elektoral di tengah pilkada. Itulah cermin ketidakjujuran seorang pejabat demi menuai simpati dari konstituen (kompas.com, 2020).
Lebih lanjut, sepanjang perhelatan Pilkada serentak 2020, cara ini lazim diterapkan kandidat petahana jelang pemilu. Namun tak tertutup kemungkinan cara ini dilakukan juga oleh kepala daerah atau pejabat negara yang sudah tidak akan berkompetisi lagi. Tujuannya adalah demi mempertahankan approval rate guna mempertahankan dukungan warga terhadap era kepemimpinannya.
Di sisi lain, politisasi bansos bertentangan dengan asas tata kelola good governance dan clean government karena mengabaikan transparansi. Pencitraan lewat bansos dilakukan karena pemerintah tidak transparan, sehingga seolah-olah bantuan itu diberikan langsung oleh sang kepala daerah. Politisasi bansos di tengah krisis pandemi tak akan membawa dampak positif bagi pemerintahan. Manuver tersebut justru lebih banyak berdampak buruk bagi pengambil kebijakan, karena kesan yang muncul jadi kontraproduktif yakni persepsi publik menjadi menurunkan citra, menandakan ketidakpekaan terhadap kondisi publik, dan pada akhirnya melukai hati publik.
Para elite politik layak mencontoh bagaimana voluntarisme masyarakat sipil bekerja. Para pejabat di pusat maupun di daerah jangan hanya berteriak melalui media sosial agar tampak bersimpati kepada rakyat yang menderita. Menjadi tugas pejabatlah menyelesaikan 'pekerjaan rumah' yang ada. Kekuasaan yang dimiliki saatnya didedikasikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pencitraan dirinya.
Pemanfaatan simbol politik dikhawatirkan bisa menggerus sentimen kebersamaan yang kini diperjuangkan. Padahal, pandemi Covid-19 tidak mengenal kasta, aliran politik, agama, suku dan profesi. Politisasi bansos akan menghancurkan semuanya. Daripada terus mengecam kegelapan, kita harus terus mendorong sesama warga negara untuk berbuat sekecil apa pun untuk kemanusiaan, tanpa sekat dan simbol apa pun.
MENCEGAH POLITISASI BANSOS ADALAH KENISCAYAAN
Bansos sebagai instrumen strategis yang menyasar empat elemen besar sektor terdampak sebagaimana diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan diimplementasikan ke desa-desa di seluruh Indonesia, diharapkan bersih dari kepentingan politik jangka pendek dan penyalahgunaan wewenang atau iktikad menguntungkan diri sendiri dan kelompok. Jika bansos ditarik-tarik ke ranah politik praktis, maka akan mengundang sengkarut pelaksanaan yang tidak menguntungkan banyak pihak, terutama masyarakat yang terdampak.
Penyalahgunaan bansos untuk memperoleh dukungan politik sangatlah berbahaya. Pertama, ini bukan hanya bansos, tetapi juga bantuan untuk mengatasi bencana kemanusiaan. Ini adalah ikhtiar suci dengan mengorbankan beberapa kepentingan pembangunan di sektor lain. Kedua, kebijakan strategis ini harus terhindar dari penyalahgunaan, salah kelola dan kepentingan politik apapun karena akan mendegradasi fungsi luhurnya. Ketiga, penyalurannya rawan penyalahgunaan. Politisasi bansos tak hanya dilakukan elite politik dan pemerintahan. Politisasi juga dilakukan aktor politik di luar pemerintahan. Keterlambatan pemerintah mengambil langkah di awal pandemi menjadi topik jamak di media arus utama maupun medsos.
Dalam kaitan beban pemerintah yang berat, penting dilakukan penguatan pengawasan terhadap proses dan mekanisme bantuan sampai ke sasarannya. Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan jajaran kabinet dan pimpinan lembaga negara selalu menekankan asas ketepatan, ketertiban, dan keamanan distribusi bantuan serta pencegahan agar bansos tak jadi alat politik kepala daerah atau calon untuk menarik simpati masyarakat.
Untuk tujuan itu, setelah dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam menangani Covid-19, sejumlah kementerian terkait, lembaga negara dan gubernur/bupati/wali kota menerbitkan peraturan pelaksanaannya.
Dalam rangka percepatan pelaksanaan dan jaminan hukum kepada pengambil keputusan, Pasal 27 Ayat 1, 2, dan 3 Perppu ini menjamin pejabat negara terkait pelaksanaan Perppu ini tak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas dengan iktikad baik karena alasan kondisi sekarang adalah kondisi kritis yang membutuhkan keputusan yang cepat. Pengertian iktikad baik adalah keadaan dimana mereka dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, apabila terdapat fakta sebaliknya lalu ditemukan iktikad tidak baik dan bukti formal kuat, hukuman diperberat dengan alasan dalam masa pandemi seperti ini obyektivitas dan kehati-hatian perlu dijaga bersama. Bansos bukan hanya dilihat sebagai komitmen pemerintah mengatasi Covid-19 dan dampaknya, melainkan juga peranti strategis keamanan negara dalam arti luas agar tak terjadi kepanikan massa dan gejolak sosial sekaligus menjawab persoalan pelik di bidang sosial ekonomi yang muncul di desa dan kota.
Para kritikus pemerintah mempertanyakan transparansi, keabsahan jumlah penerima bantuan, data yang belum terintegrasi, tumpang tindihnya penerima bantuan dan terlantarnya orang miskin terdampak yang belum tercatat dan keterlambatan pemerintah menangani pandemi. Di level daerah, untuk beberapa kasus di daerah, beberapa kelompok masyarakat juga menggunakan momentum penyaluran bantuan ini sebagai bahan serangan kepada lawan-lawan politiknya.
Instrumen hukum percepatan implementasi kebijakan dan jaminan keamanan dari ancaman jerat hukum dikeluarkan untuk memastikan distribusi bansos berjalan lancar, sekaligus melindungi pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah, dengan dikeluarkannya Surat Edaran KPK Nomor 8/2020 untuk mencegah penyalahgunaan wewenang penggunaan anggaran untuk pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Di kala kondisi ekonomi dan keuangan negara dalam kontraksi hebat dan pengaruh masyarakat terdampak kian terasa, maka langkah-langkah pengawasan berjenjang menjadi begitu menentukan.
EPILOG: PERBAIKI PENGELOLAAN BANTUAN SOSIAL!
Kuatnya aspek politik dalam pengelolaan bansos menegaskan pentingnya solusi yang tidak berkutat pada aspek teknis administratif dan prosedur semata. Selain penyempurnaan berkelanjutan atas DTKS sebagai salah satu dasar alokasi bansos dan pengadopsian penyaluran berbasis digital/transfer ketimbang tunai, terdapat dua hal yang penting untuk dilakukan.
Pertama adalah membangun pengetahuan masyarakat terkait dengan penganggaran publik (budget literacy) guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran. Pencerdasan ini tidak hanya untuk menyadarkan masyarakat akan hak-hak terkait anggaran, namun juga menumbuhkan sikap kritis mereka selaku pemilih sehingga menghindari pembelian dukungan suara lewat penyalahgunaan anggaran publik. Kedua, perlu ada upaya serius untuk menciptakan sistem pembiayaan politik yang efektif, transparan, dan akuntabel sehingga penyalahgunaan anggaran untuk membiayai kegiatan politik dapat diminimalisir.
Banyak hasil studi menunjukkan bahwa pengaturan pembiayaan politik di Indonesia saat ini tidak berfungsi karena partai politik mengabaikan peraturan-peraturan tersebut, dan maraknya donasi gelap dan perilaku korupsi untuk mendanai kegiatan politik. Ke depan, kerangka pembiayaan politik melalui donasi masyarakat atau pembiayaan negara perlu diterapkan secara lebih efektif dan menjunjung tinggi transparansi.
REFERENSI
Berenschot, Ward. 2018. The Political Economy of Clientelism: A Comparative Study of Indonesia's Patronage Democracy. SAGE Journals: Â Comparative Political Studies. Volume 51 Nomor 12. https://doi.org/10.1177/0010414018758756. Diakses 18 April 2021.
Bramasta, Dandy Bayu. 2020. Mengintip Jejak Bupati Klaten Sri Mulyani, dari Bagi-bagi Nmax hingga Heboh Hand Sanitizer. Diakses 13 April 2021.
Harsono, Fitri Haryanti . 2019. Indonesia Melesat Jadi Negara Paling Dermawan di Dunia. Diakses 21 April 2021.
Kantohe, Anastasia J., Gloria S. Lumingkewas., Grace B. Nangoi. 2018. Ipteks Pemberian Dana Bantuan Sosial Pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Ipteks Akuntansi bagi Masyarakat. Volume 02 Nomor 02. https://doi.org/10.32400/jiam.2.02.2018.21755
Preuss, Shane. 2020. Indonesia and COVID-19: What the World Is Missing.
Purnamasari, Deti Mega. 2020. Diduga Terima Suap Bansos Covid-19 Rp 17 Miliar, Ini Harta Kekayaan Mensos Juliari Batubara. Diakses 18 April 2021.
Putri, Budiarti Utami. 2020. Kisruh Dana Bansos, Kemensos Akui Perbarui Data Terakhir 2015. Diakses 20 April 2021.
Rahayu, Sri Lestari. 2020. Bantuan Sosial di Indonesia. Bandung: Fokus Media
Rantau, Muhammad Ibrahim., Ahmad Murodi., Amin Fendi Rahmelan., Irvan Arif Kurniawan. 2020. Politik Distributif Dalam Kebijakan Hibah Provinsi Banten Tahun 2019. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi. Volume 10 Nomor 2. https://doi.org/10.33592/jiia.v10i2.755 Â
Saragintan, Antonius., Syahrul Hidayat. 2016. Politik Pork Barrel di Indonesia: Kasus Hibah dan Bantuan Sosial di Provinsi Banten Tahun 2011. Jurnal Politik UI. Volume 2 Nomor 1. https://doi.org/10.7454/jp.v2i1.85
Sidik, Farih Maulana. 2020. Serahkan Diri, Menteri Sosial Juliari Batubara Masih Diperiksa KPK. Diakses 13 April 2021.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Sekretariat Wakil Presiden RI. Tanya/Jawab Umum Basis Data Terpadu. Diakses 17 April 2021.
Zaking, Saifan. 2020. Unboxing Bansos Covid-19 Jabodetabek, Apa Betul Nilainya Rp 300 Ribu? Diakses 17 April 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H