Mohon tunggu...
Ariestanengsih Hermanto
Ariestanengsih Hermanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - enthusiast of communication

life must go on

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena "Panic Buying" dan Peningkatan Penggunaan Media di Tengah Pandemi Covid-19

6 Juli 2021   13:30 Diperbarui: 6 Juli 2021   13:40 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Masa pandemi Covid-19 hingga saat ini belum berakhir. Bahkan situasi dan kondisi akhir-akhir ini semakin memburuk dengan terus bertambahnya kasus positif disetiap harinya. Pertambahan kasus tersebut tidak lagi diangka ratusan, atau bahkan ribuan, melainkan kenaikan kasus positif Covid-19 saat ini berada diangka puluhan ribu. 

Dilansir dari CNN Indonesia (cnnindonesia.com), kasus positif virus corona pada hari Senin 5 Juli 2021 tercatat sebanyak 29.745 kasus. Peningkatan kasus positif tersebut terus mengalami pelonjakan tinggi semenjak beberapa pekan terakhir dikarenakan sejumlah varian baru dari virus corona mulai melanda Indonesia. Dengan melonjaknya kasus positif tersebut, membuat pemerintah terus memberlakukan peraturan ketat mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukan baik itu di dalam maupun di luar ruangan.

Semenjak pandemi melanda, membuat masyarakat mengalami rasa khawatir yang berlebihan sehingga timbullah perubahan pola hidup serta perilaku masyarakat. Kebutuhan yang harus dipenuhi oleh masyarakat dalam menghadapi pandemi juga semakin banyak, sehingga memicu masyarakat untuk melakukan pembelian akan kebutuhan yang mereka perlukan. Rasa khawatir yang berlebihan menyebabkan masyarakat menjadi ketakutan dalam menghadapi pandemi, sehingga membuat masyarakat berlomba-lomba untuk memenuhi keperluan mereka demi menghadapi masa pandemi yang masih terus berlanjut.

Saat pertama kali diumumkan terdapat kasus virus corona di Indonesia, membuat masyarakat berbondong-bondong membeli keperluan mereka untuk disimpan sebagai stok persiapan dalam menghadapi virus corona. 

Akibatnya, pembelian barang yang berlebihan atau penimbunan barang oleh masyarakat tersebut membuat stok yang ada di pasar semakin menipis dan semakin langka bahkan semakin sulit untuk menemukan barang yang memang sangat diperlukan dalam situasi pandemi. 

Sebagai contoh pernyataan tersebut yaitu sulit ditemukannya masker medis, hand sanitizer, dan sabun cuci tangan. Hal tersebut dikarenakan, kepanikan dalam menyikapi pandemi yang berujung membeli barang atau produk yang berlebihan. Perilaku ini dikenal dengan sebutan panic buying yang melanda segenap masyarakat luas.

Panic buying merupakan perilaku di mana seorang individu mengalami ketakutan, kemudian timbul rasa panik dalam pembelian sehingga membuat individu tersebut melakukan pembelian barang dalam jumlah yang sangat banyak, bahkan melampaui batas. 

Hal tersebut dipicu akibat rasa takut tidak kebagian barang yang diperlukan, atau rasa takut akan harga barang yang diperlukan akan naik sewaktu-waktu nanti. Dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Veranita Indah dan Awal Muqsith (2021), panic buying adalah bentuk perilaku membeli secara panik barang-barang kebutuhan dan menjadi salah satu bentuk perilaku konsumerisme masyarakat Indonesia di tengah pandemi Covid-19.

Panic buying terjadi pertama kali pada saat diumumkannya virus corona telah mewabah di Indonesia dan diberlakukannya PSBB ketat. Hal tersebut membuat para masyarakat merasa khawatir dan tidak bisa mengontrol sifat konsumerisme mereka. 

Pemberitaan yang berlebih-lebihan yang ditampilkan oleh media juga menjadi salah satu alasan terdorongnya sifat konsumerisme yang meningkat dan berakhir menjadi panic buying. 

Pada permasalahan panic buying ini individu ingin menghilangkan perasaan ketakutan dan kecemasan dengan bersedia mengantri selama berjam-jam atau membeli barang dengan jumlah lebih banyak dari yang dibutuhkan. Kepanikan semakin tidak bisa terkontrol dengan adanya pemberitaan dari media massa terkait fenomena panic buying dan ketidakstabilan situasi di masa pandemi (Veranita Indah dan Awal Muqsith, 2021).

Baru-baru ini kembali terjadi lagi kasus panic buying ditengah masyarakat, dan saat ini pemberitaan tersebut tengah menjadi perbincangan dan menjadi viral di media sosial. 

Kasus tersebut terjadi karena terdapat suatu produk susu yang mengklaim bahwa produknya dapat mengatasi orang yang terkena virus corona bahkan disebut dapat mencegah terinfeksinya virus corona. Didalam unggahan video yang menjadi viral tersebut terdapat orang-orang yang terlihat sedang berebutan membeli produk susu dalam jumlah banyak. 

Unggahan video tersebut menjadi viral di media sosial dan mendapatkan beragam tanggapan dari netizen yang melihatnya. Media dalam menyebarkan berita saat ini sudah memiliki kekuatan yang mendominasi di masyarakat. Pasalnya, masyarakat dan media saat ini sudah tidak bisa dipisahkan dalam kehidupannya. Dengan viralnya video tersebut, kembali menimbulkan panic buying  didalam diri masyarakat yang melihat unggahan video tersebut.

Dilansir dari kompas.com, Dokter, Filsuf, sekaligus Ahli Gizi Komunitas, Dr dr Tan Shot Yen, M Hum mengatakan meski kondisi pandemi Covid-19 saat ini sedang melonjak tajam, tidak seharusnya masyarakat melakukan panic buying atau rebutan memborong suatu produk seperti produk susu yang telah disebutkan diatas. Berikut ini adalah pemicu panic buying menurut dr Tan, yang dilansir dari kompas.com yaitu :

  1. Publik salah asumsi : Setiap produk apa pun sudah jelas dan pasti akan mempromosikan keunggulan produknya dengan seefisien dan seefektif mungkin karena mereka memiliki target marketing. "Publik ini salah asumsi, karena tulisan di iklan yang bisa membuat orang menghubung-hubungkan nalar dengan literasi seadannya," ujar dr Tan.
  2. Overclaim produk : Overclaim manfaat dari produk susu tersebut terlalu berlebihan ditengah kasus positif yang melonjak. "Selama ini overclaim produk tidak pernah dibenahi pemerintah yang semestinya punya kendali buat negur, memarahi, bahkan memberikan sanksi," menurut nya.
  3. Literasi gizi minim : Bagian ini berhubungan dengan persoalan panic buying produk-produk yang belum terbukti berkhasiat atau efektif betul terhadap suatu penyakit ini adalah literasi gizi yang minim. "Dengan literasi gizi minim, akhirnya ada kepercayaan-kepercayaan yang dibentuk sebagai opini publik. Apa yang mestinya mitos, dijadikan seakan-akan kebenaran. Sebaliknya, yang fakta ilmiah sama sekali tidak digubris," ucap dr Tan.
  4. Tipe publik Indonesia : Faktor lainnya mengapa kerusuhan panic buying suatu produk ini terjadi, menurut dr Tan, adalah karena publik Indonesia tipe yang tidak mau berpikir dengan nalar, apalagi dianggap nalar itu ribet.

Terdapatnya faktor-faktor tersebut akibat dari pemberitaan di media dan masyarakat yang menanggapinya secara berlebihan. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Evita Santi, dkk (2020) media komunikasi mungkin tampak akurat dan efektif dalam menginformasikan kepada public perihal perkembangan pandemi, namun disisi lain media juga dapat memberikan informasi yang salah dan berkontribusi dengan adanya kepanikan publik yang tidak perlu dan berakibat pada munculnya respon yang tidak diinginkan (Jones, Waters, Holland, Bevins, & Iverson, 2010). 

Perkembangan teknologi terutama dibidang media, mengharuskan masyarakat untuk lebih meningkatkan kesadarannya atas informasi yang disebarkan oleh media dan mendorong masyarakat agar lebih pintar dan bijak dalam menggunakan media. Tak hanya itu juga, masyarakat dalam hal ini harus melakukan literasi yang benar atas informasi yang diterima agar dapat terhindar dari tindakan yang tidak diinginkan dan terhindar dari kepalsuan berita yang tengah merebak di masyarakat.

Akibat dampak dari pandemi juga mengharuskan pemerintah membatasi aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan dunia luar. Pembatasan kegiatan mulai dari bekerja hingga liburan mulai dibatasi oleh pemerintah. 

Dimasa pandemi pemberlakuan work from home (WFH) digerakkan oleh beberapa perusahaan, bahkan di dunia pendidikan sistem pembelajaran dirubah menjadi online karena tidak memungkinkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka secara langsung. Dampak dari pembatasan tersebut membuat penggunaan media semakin meningkat demi mendukungnya keberlangsungan kegiatan aktivitas sehari-hari.

Di era digitalisasi pada saat ini membuat masyarakat terus menerus mengakses informasi di media yang mereka miliki bahkan di media sosial. Hal ini berkaitan dengan, masyarakat yang saat ini sudah mulai aktif dalam penggunaan media dan memanfaatkan penggunaan media tersebut untuk mendukung aktivitas sehari-harinya. 

Dilansir dari kpi.go.id berdasarkan data We Are Social semester pertama di tahun 2020, adanya peningkatan akses pengguna internet hingga 6 jam 43 menit per hari. 

"Berita online menjadi pilihan utama masyarakat dimasa pandemi. Orang beraktivitas dan menggunakan internet menjadi salah satu cara menyalurkan waktu kosong. Alhasil, berita online juga menjadi pilihan masyarakat yang melakukan browsing di internet," kata Yuliandre sebagai Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat pada saat mengisi diskusi berbasis daring yang diselenggarakan oleh Universitas Sahid dengan tema "Tantangan Cyber Journalism di Masa Pandemi" di Jakarta.

Penggunaan media saat ini oleh masyarakat menjadi lebih intens akibat kegiatan yang kebanyakan hanya dirumah saja. Masyarakat yang lebih pintar dan lebih aktif dalam menggunakan media sesuai dengan teori Uses and Gratification. 

Dalam West dan H. Turner menyatakan bahwa para ahli teori dalam Uses and Gratification memandang orang-orang sebagai pihak yang aktif karena mereka mampu untuk meneliti dan mengevaluasi beragam tipe media untuk meraih tujuan komunikasi (Wang, Fink, & Cai, 2008). Dapat dikatakan secara keseluruhan bahwa teori Uses and Gratification meliputi orang-orang yang secara aktif memilih dan menggunakan media tertentu untuk memuaskan kebutuhan tertentu.

Teori ini menekankan posisi yang terbatas, artinya media memiliki efek terbatas karena pengguna mampu memilih dan mengontrol (West & H. Turner, 2010). Dalam teori Uses and Gratifications juga ditekankan bahwa pengguna aktif untuk menentukan media mana yang harus dipilih untuk memuaskan kebutuhannya. pengguna mempunyai kebebasan bagaimana mereka menggunakan media dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya. 

Teori tersebut relevan dengan keadaan masyarakat saat ini dalam penggunaan media saat ini. Di mana masyarakat dapat menentukan sendiri secara aktif terkait media apa yang ingin mereka gunakan dan hal-hal apa saja yang ingin mereka konsumsi di media.

Dilansir dari cnbcindonesia.com penggunaan teknologi meningkat pesat akibat dari pandemi Covid-19 yang merubah pola hidup banyak orang di mana salah satu bukti nyatanya terlihat pada meningkatnya penggunaan alat digital di antara para orang muda, sebagai mana disampaikan Santitarn Sathirathai, Group Chief Economist di perusahaan internet konsumen global yang didirikan di Singapura. 

Sementara itu, terkait digital tools yang digunakan, Sathirathai menjelaskan dalam laporannya bahwa ada berbagai macam aplikasi yang mereka gunakan dan ada empat yang paling populer, yaitu aplikasi Media Sosial, Pendidikan Online, Belanja Online dan Pertemuan Virtual.

Berdasarkan fakta dan konsep yang ada dapat dikatakan bahwa media pada saat ini telah berkembang pesat dengan adanya teknologi canggih yang mendukungnya. 

Penggunaan media di masa sekarang mempermudah orang-orang untuk melakukan kegiatan sehari-hari, baik itu untuk melakukan kegiatan berinteraksi, memperoleh dan membagikan informasi.

Berkaitan dengan kebutuhan akan informasi maka media menjadi konsumsi publik untuk memperoleh kabar terbaru dan faktual dari berbagai macam wilayah maupun dunia. Jika dahulu masyarakat menggunakan media cetak dan elektronik  sebagai sarana untuk mencari informasi, namun sekarang dengan hadirnya media baru yaitu internet yang dapat diakses dengan mudah kapanpun dan dimanapun, membuat masyarakat saat ini lebih memilih menggunakan media baru.

Hal tersebut sesuai dengan Teori Uses and Gratification yang memandang khalayak sangat aktif dalam memilih mau pun menggunakan media. Ditekankan juga dalam teori tersebut bahwa teori ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan oleh media pada diri seseorang, tetapi ia tertarik dengan apa yang dilakukan orang terhadap media. Sehingga fenomena yang terjadi saat ini dapat dengan cepat diketahui oleh masyarakat luas karena adanya penggunaan media yang meningkat dan akses teknologi yang mendukungnya.

Daftar Referensi :

Indah, A. V., & Muqsith, A. Panic Buying: Konsumerisme Masyarakat Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19 Perspektif Psikoanalisis Jacques Lacan. Jurnal Filsafat, 31(1), 24-48.

Santi, D. E., Pratitis, N. T., Audhra, E. S., & Anggraeni, N. K. (2020). Psikoedukasi Panic Buying untuk Menurunkan Kecenderungan Panic Buying pada Ibu Rumah Tangga. In SEMINAR NASIONAL KONSORSIUM UNTAG SE INDONESIA (Vol. 2, No. 1).

CNN Indonesia (Diakses pada 5 Juli 2021 pukul 17.00 WIB)

Kompas (Diakses pada 6 Juli 2021 pukul 10.15 WIB)

CNBC (Diakses pada 5 Juli 2021 pukul 19.45 WIB)

KPI (Diakses pada 5 Juli 2021 pukul 22.50 WIB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun