Mohon tunggu...
Ariesta Hana
Ariesta Hana Mohon Tunggu... Lainnya - "Welcome to my Blog"

Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus KDRT Meningkat di Sejumlah Negara Selama Pandemi Covid-19

10 April 2020   18:09 Diperbarui: 10 April 2020   18:10 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Demi memutus rantai penyebaran covid-19, pemerintah di sejumlah negara memberlakukan "social distancing" dan "dirumah saja". Disisi lain, kebijakan ini justru berdampak pada peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di sejumlah negara yang sangat drastis. Sayangnya, meski bertujuan baik  kebijakan ini justru membawa petaka bagi sebagian orang. Peningkatan yang signifikan ini memang telah diprediksi oleh berbagai lembaga dan aktivis.

Bagi banyak wanita dan anak perempuan, ancaman itu tampak paling besar dimana mereka seharusnya merasa paling aman, dirumah mereka sendiri. Tetapi memang kasus KDRT ini telah banyak terjadi jauh sebelum adanya pandemi covid-19. Ini adalah waktu yang sulit bagi semua orang untuk mendapatkan pertolongan, karena selama masa isolasi, kita diminta untuk tetap dirumah saja agar tetap aman. Tetapi bagi korban KDRT itu bahkan lebih sulit, karena rumah bukanlah tempat yang aman bagi mereka.

Sebagian dari mereka diminta untuk tetap tinggal dirumah dengan situasi yang terasa sangat mengasingkan dan menakutkan, itu artinya mereka menghabiskan lebih banyak waktu dengan orang yang melukainya.

Mencermati kasus KDRT di dunia yang semakin meningkat tersebut, memang hal utama yang menjadi penyebabnya adalah faktor ekonomi, karena memang selama pandemi covid-19, sebagian orang dituntut untuk melakukan aktivitasnya dirumah.

Selain itu banyaknya Pemutus Hubungan Kerja (PHK), sehingga ekonomi keluarga melonjak turun yang mengakibatkan tidak adanya dana untuk menyambung hidup mereka. Terutama kepada suami-suami yang merupakan kepala keluarga, ketika di PHK, maka sang istri tidak mendapatkan jatah uang bulanan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Karena memang sebagian dari mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan, sehingga mereka harus menggantungkan nasibnya kepada pekerjaan tetap mereka. Apalagi bagi seorang istri yang tidak bekerja, hal itu akan membuat si istri menagih uang bulanan kepada suami.

Tindakan itulah yang memicu emosi sang  suami ditambah stres akibat di PHK di masa pandemi covid-19 ini. Hingga akhirnya tanpa disadari sang suami akan menggunakan kekerasan fisik terhadap istrinya, akibat terus menerus ditagih biaya kebutuhan. Bahkan, lebih parahnya lagi, tak menutup kemungkinan akan terjadi pembunuhan.

Selain itu, seringkali akibat dari tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menimpa korban secara langsung, tetapi juga anggota lain dalam rumah tangga secara tidak langsung. Kasus KDRT ini dapat meninggalkan kesan negatif yang mendalam di hati mereka, anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Kesan negatif tersebut yang pada akhirnya dapat pula menimbulkan kebencian dan timbul adanya benih-benih dendam yang tak berkesudahan terhadap pelaku.

Bukan itu saja, rumah tangga yang dibangun untuk kepentingan bersama akan menjadi berantakan. KDRT jelas mendatangkan kerugian yang tidak terkira. Kekerasan terhadap korban dalam bentuk yang melampaui batas dapat mengakibatkan masa depannya hilang. Seorang anak korban tindak kekerasan dalam rumah tangga akan kehilangan kesempatan dan semangat  dalam hidupnya, termasuk kesempatan dalam melanjutkan pendidikan, karena trauma yang terus membayangi pikirannya.

Memang banyak sekali pemicu KDRT ini, tetapi masalah ekonomi lah yang sangat besar pengaruhnya dan sering kita jumpai dengan melihat tingkat kemiskinan juga sangat tinggi. Kebanyakan penghasilan tidak sebanding dengan pendapatan, sehingga mereka banyak berselisih soal itu. Akan tetapi jika terjadi cekcok atau masalah dalam keluarga, seharusnya bisa dicari solusinya bersama, harus tetap menggunakan pikiran yang dingin, dan tidak memakai kekerasan fisik.

Semuanya bisa diselesaikan dengan diskusi secara damai, dan dengan memakai kata-kata yang baik. Namun memang pada kenyataanya beginilah nasib getir keluarga dengan adanya pandemi covid-19. Ruang gerak dipersempit dan tidak bisa berbuat apa-apa. Semua negara sudah merasakan begitu banyaknya dampak buruk, mulai dari rasa bosan, menurunnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya konsumsi rumah tangga dan semakin mudahnya penularan virus covid-19 ke semua orang, baik dari anak-anak sampai ke orang yang sudah rentan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengungkap, satu dari tiga wanita diseluruh dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual. Ironisnya, jumlah pelaporan kasus KDRT paling sedikit dibandingkan pelanggaran HAM lainnya. Dengan semua perhatian lebih terfokus pada krisis kesehatan covid-19, masalah KDRT beresiko terabaikan oleh pihak yang berwenang.

Jika pemerintah gagal dalam mempersiapkan dan merencanakan masalah KDRT ini, maka akan semakin banyak korban yang meninggal. Ada banyak wanita dibunuh setiap pekan oleh pasangannya. Memang selama pandemi covid-19 akses ke lembaga  bantuan akan lebih sulit dan membuat pelaku merasa lebih aman dan nyaman dalam melakukan KDRT. Namun ada beberapa upaya yang bisa dilakukan korban untuk mengatasi kasus KDRT, yaitu :

  • Kelola stres dengan cara relaksasi, bernapas perlahan, lambatkan napas hingga 4-5 tarikan napas per 1 menit.
  • Kenali situasi yang dapat menambah agresivitas pelaku.
  • Usahakan untuk tetap mengontrol diri dan tidak terpancing oleh situasi.
  • Ajarkan anak untuk menghindari pertengkaran, dengan cara pergi ke bagian rumah yang dirasa lebih aman.
  • Jika memang dirasa sudah tidak kuat untuk mengatasinya sendiri, maka jangan ragu untuk mencari bantuan dari luar. Cari bantuan dan dukungan dari keluarga, teman maupun lembaga terkait, yang mungkin akan jauh memberikan ketenangan.

Untuk para pelaku sendiri, apabila beban selama pandemi covid-19 membuat tertekan dan mendorong anda (pelaku KDRT) untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga, ada beberapa upaya pencegahan yang bisa dilakukan, yaitu :

  • Tetap melakukan aktivitas walaupun dirumah saja. Dengan cara, rajin berolahraga, konsumsi makanan yang bergizi, dan istirahat yang cukup agar bisa mengelola stres yang baik.
  • Saat tertekan, maka lakukan relaksasi. Bernapas perlahan, lambatkan napas hingga 4-5 tarikan napas per 1 menit.
  • Renungkan apa yang sedang dirasakan. Lakukan me time dan tidak ada salahnya untuk jaga jarak terlebih dahulu dengan keluarga, apabila muncul keinginan untuk menyakiti.
  • Jangan memendam masalah seorang diri, ceritakan masalah yang sedang dialami kepada orang terdekat yang bisa dipercaya, misalnya : istri, orang tua atau teman dekat dan cari solusinya bersama.
  • Jika orang terdekat kurang memberikan solusi yang tepat, maka hubungi ahli seperti psikolog, psikiater dan lembaga terkait untuk mencari solusi yang lebih tepat.

Kasus KDRT merupakan masalah sosial yang bukan lagi urusan pribadi, atau rumah tangga namun sudah masuk ke dalam ranah hukum.

Sekertaris Jendral PBB Antonio Gutteres mendesak pemerintah diseluruh dunia untuk memasukkan perlindungan perempuan terhadap kekerasan selama lockdown dilaksanakan. Ia mendesak semua pemerintah di dunia untuk membuat berbagai pencegahan dan penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai bagian terpenting dari rencana respon nasional mereka untuk covid-19.

Gutteres juga menyerukan untuk mendirikan sistem peringatan darurat di apotek, pasar swalayan, dan cara-cara yang aman bagi korban KDRT untuk mencari dukungan, tanpa memperingatkan pelaku kekerasan. "Bersama-sama kita dapat dan harus mencegah kekerasan dimana-mana, dari zona perang hingga rumah orang, saat kita berusaha untuk mengalahkan covid-19", ujar Gutteres 

Di Indonesia kasus KDRT merupakan tanggung jawab semua pihak yang telah diatur dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004, tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Lemahnya koordinasi antara P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), dan PPA (Pola Pertolongan Allah) hingga penunjang fasilitas bagi korban kekerasan terhadap anak yang belum sepenuhnya terpenuhi.

Pemerintah perlu meningkatkan upaya sosialisasi, serta mengupayakan kerja sama secara terus menerus dan berkesinambungan dalam rangka penyamaan persepsi yang melibatkan aparat penegak hukum, dan pihak-pihak yang berkaitan dengan penanganan KDRT. Disamping itu, perlu juga dilakukan perbaikan pola koordinasi oleh beberapa instansi yang terkait penanganan KDRT, bertujuan agar para korban tidak takut lagi dan tidak ragu dalam menyampaikan laporan KDRT yang dialaminya, dan laporan tersebut lebih jelas penanganannya, sehingga ada jaminan kenyamanan serta keamanan bagi korban KDRT, khususnya wanita dan anak perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun